Globalisasi,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta pembangunan di berbagai bidang/aspek kehidupan membawa
perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Serentak
dengan pengaruh
globalisasi, kemajuan iptek, dan laju pembangunan, terjadi pula
dinamika masyarakat. Terjadi perubahan sikap terhadap nilai-nilai yang sudah
ada. Sehingga terjadi pula pergeseran sistem nilai yang membawa perubahan dalam
hubungan interaksi manusia dengan masyarakatnya. Dengan demikian, pengaruh
globalisasi, iptek, dan pembangunan tidak saja akan melahirkan
perubahan-perubahan yang menyangkut bidang material atau lahiriah, tetapi pada
hakekatnya akan membawa juga perubahan-perubahan yang menyangkut bidang mental
atau batin, yakni perubahan nilai-nilai hidup manusia.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dan membangun, tidak luput dari
perubahan-perubahan tersebut. Bahkan masalah-masalah sosial yang timbul sebagai
akibat dari semangkin luasnya pengaruh globalisasi, kemajuan iptek, dan meningkatnya
pembagunan akan bertambah banyak. Untuk membendung pengaruh negatif tersebut, peranan
lembaga pendidikan menjadi semakin penting. Lembaga pendidikan, sepeti
dikemukakan oleh Sapriya (2009), dapat membawa pencerahan bagi masyarakat
yang mengalami perubahan.
Oleh karena itu lembaga pendidikan melalui mata pelajaran yang
dibelajarkan pada peserta didik, harus dapat memberikan bekal tidak saja berupa
pengetahuan, tetapi lebih dari itu juga yang menyangkut tentang nilai-nilai
kemanusiaan (humanisme) sebagai bekal (modal) dalam menghadapi tantangan
global, pengaruh negatif dari kemajuan iptek dan pembangunan. Pada konteks ini, pembelajaran IPS di sekolah memiliki
tempat yang strategis dan penting. Hal ini mengingat, sebagaimana termuat dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006
Tentang Standar Isi, bahwa melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk
dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab,
serta warga dunia yang cinta damai.
Lebih
lanjut, dengan merujuk pada Permendiknas tersebut, mata
pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut.
1. Mengenal konsep-konsep yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
2. Memiliki kemampuan dasar untuk
berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah,
dan keterampilan dalam kehidupan sosial
3. Memiliki komitmen dan kesadaran
terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi,
bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat
lokal, nasional, dan global.
Untuk mencapai maksud dan tujuan pembelajaran IPS itu, bertolak
dari pendapat yang dikemukakan oleh Sapriya (2009), maka peserta didik perlu
dibekali dengan empat diminsi program pendidikan IPS yang komprehensif,
meliputi :
1. Dimensi pengetahuan (Knowledge),
2. Dimensi keterampilan (Skills),
3. Diminsi nilai dan sikap (Values and
Attitudes),
4. Dimensi tindakan (Action).
Melalui pembekalan peserta didik dengan empat diminsi pembelajaran
IPS itu, maka diharapkan mereka dapat hidup di masyarakat dengan baik, dan
dapat memecahkan masalah-masalah pribadi maupun masalah-masalah sosial. Untuk bisa mencapai kearah itu, maka dalam
pengembangan pembelajaran IPS di sekolah, seperti dikemukakan oleh Sapriya
(2009), harus didasarkan pada landasan pendidikan IPS (PIPS), yang meliputi :
landasan filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis,
psikologis, dan religius.
Dalam rangka
pengembangan pembelajaran IPS atau memahami masalah pendidikan IPS dengan
berpedoman pada landasan-landasan itu, maka seperti dikemukakan oleh Sapriya
(2009), seseorang hendaknya memiliki pemahaman yang baik tentang disiplin
ilmu-ilmu sosial yang meliputi struktur, ide fundamental, pertanyaan pokok (mode
of inquiry), metode yang digunakan dan konsep-konsep setiap disiplin ilmu,
disamping pemahamannya tentang prinsip-prinsip kependidikan dan psikologis
serta permasalahan sosial. Dengan kata lain, setiap orang, terutama guru IPS,
dengan merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh I Nengah Bawa Atmadja
(1992), dituntut tidak saja perlu menguasai keterampilan atau kiat untuk
mendidik dan mengajar, tetapi juga memiliki wawasan vertikal – wawasan yang
mendalam dan reflektif tentang bidang studi yang diajarkannya, dan wawasan
horizontal – wawasan yang melebar yakni ramah terhadap konsep-konsep,
proposisi-proposisi, dan teori-teori ilmu sosial ataupun ilmu-ilmu budaya,
bahkan juga ekologi.
Tuntutan ini
menjadi sangat logis mengingat masih ditemukakannya kenyataan di lapangan
(sekolah), seperti dikatakan oleh M. Ismail, dkk (2009), bahwa fakta
semakin kuatnya gejala erosi sikap dan perilaku berdemokrasi di kalangan
masyarakat (siswa), seperti sikap yang mau menang sendiri, suka memaksakan
kehendak, kurang mengakui pihak lain, sikap toleran yang semakin melemah,
kurangnya empati dan lain-lainya. Sementara itu, pembelajaran demokrasi melalui
Pendidikan IPS kurang memberikan kontribusi terhadap pengembangan sikap dan
perilaku demokratis, yang ditandai penyebabnya oleh dua hal, yaitu sisi
substantif yang melupakan unsur lokal dan sisi pembelajaran yang monolitik dan
undemokratis.
Berdasarkan fakta yang terungkap di atas, maka sesunggunya yang
perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran IPS adalah menyangkut pembaharuan
pembelajarannya di sekolah yang dilakukan oleh para guru. Sementara ini paraktik pembelajaran yang dilakukan
oleh para guru IPS masih berkutat pada cara-cara (model) pembelajaran
konvensional (tradisional), yang kurang mendukung bagi perkembangan semua
potensi yang dimiliki peserta didik. Pola lama ini harus diganti dengan pola
baru, apabila kita mengharapkan pembelajaran IPS memiliki fungsi dalam
pembagunan nasional dewasa ini atau di masa datang. Untuk menuju kearah pembaharuan sistem pembelajaran IPS di sekolah, maka
langkah pertama yang harus ditempuh adalah perbaikan kualitas (mutu) tenaga
pendidiknya.
Peningkatan
kualitas tenaga pendidik IPS untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi
peserta didik di sekolah, merupakan prioritas yang harus diperhatikan secara
serius. Sehingga pembelajaran IPS dengan menggunakan cara konvensional atau
tradisional dapat ditinggalkan oleh para guru. Mereka perlu dibekali tentang
pola pembelajaran IPS terpadu dengan mantap, dan dilatih tentang
model-model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Dengan demikian
pembelajaran IPS yang diterima oleh peserta didik menjadi bermakna, baik untuk
kehidupan pribadinya maupun untuk kehidupannya dalam lingkungan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Harus disadari
secara mendalam oleh guru-guru IPS bahwa penerapan terpadu dalam pembelajaran
IPS mengandung arti yang strategis untuk kepentingan peserta didik maupun untuk
pembangunan nasional atau kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam buku
Depdiknas (2006), diungkapkan bahwa model pembelajaran terpadu pada hakikatnya
merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik
secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep
serta prinsip secara holistik dan otentik.
Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman
langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan
memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian,
peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang
dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Cara pengemasan
pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan
pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan
unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan
konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan
membentuk skema (konsep), sehingga peserta didik akan memperoleh keutuhan dan
kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, serta kebulatan
pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui
pembelajaran terpadu.
Dalam
pembelajaran IPS dengan pola terpadu, penting untuk dikembangkan di dalamnya
tentang nilai-nilai atau unsur-unsur lokal yang terdapat wilayah Indonesia.
Masing-masing daerah memiliki kearifan lokal, yang akan sangat berguna dalam
pembelajaran IPS. Oleh karena itu, nilai-nilai kearifan lokal tidak diabaikan
dalam pembelajaran IPS, dan dijadikan sebagai pendukung materi pembelajaran
yang menjadi tuntutan kurikulum. Dengan kata lain, dalam pembelajaran guru-guru
IPS tidak semata-mata terpaku pada tuntutan kurikuler, tetapi juga memberi
ruang masuknya unsur-unsur kelokalan dalam materi-materi yang dituntut oleh
kurikulum tersebut. Dengan adanya nilai-nilai kearifan lokal dalam
pembelajaran, akan memudahkan peserta didik untuk memahami materi yang menjadi tuntutan kurikulum. Artinya
materi-materi pembelajaran yang digariskan oleh kurikulum lebih mudah
dimengerti apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat setempat (lokal) dimana
peserta didik itu berada. Begitu pula peserta didik akan lebih memahami dan
mengerti tentang materi-materi pembelajaran IPS yang bersangkut paut dengan
dunia internasional, apabila substansinya dibelajarkan dengan memperhatikan
atau memasukan unsur-unsur keindonesiaan yang telah dikenal oleh peserta didik.
Untuk bisa
mencapai kearah itu, maka perlu dikembangkan model-model pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik, bukan lagi cara-cara konvensional. Selama ini,
seperti yang dikemukakan oleh A. Sanusi (1998), pembelajaran
IPS di sekolah melahirkan output instrumental yang tidak kuat
(not powerfully instrumental out-put). Atau pembelajaran IPS, dengan merujuk dari pendapat
Sukardi (2004), tidak mampu memberikan peluang
kepada siswa untuk memberdayakan dirinya. Hal ini disebabkan karena pembelajaran IPS
lebih banyak didasarkan atas kebutuhan formal daripada kebutuhan real
siswa. Sehingga
mata pelajaran IPS sangat menjemukan dan menbosankan dalam pembelajarannya. Sesungguhnya ada banyak
pendekatan pembelajaran IPS yang berpusat pada peserta didik, dapat
dikembangkan oleh para guru. Merujuk pada pendapat Sapriya (2009),
pendekatan-pendekatan pembelajaran IPS itu meliputi : a) pendekatan inkuiri (inquiry
approach) atau model inkuiri sosial; b) keterampilan berpikir (thinking
skills) : kecakapan berpikir kreatif (creative thinking) atau
keterampilan berpikir kreatif (creative thinking skill), dan
keterampilan berpikir kritis (critikal thinking) atau keterampilan
berpikir kritis (critical thinking skill); c) keterampilan memecahkan
masalah (problem solving); dan d) proses pengambilan keputusan (decision
making process).
Model-model
pembelajaran tesebut sangat cocok dikembangkan dalam pembelajaran IPS dewasa
ini. Untuk kebermaknaan bagi peserta didik, model-model pembelajaran itu
dikembangkan dengan memperhatikan substansi kearifan lokal setempat atau
unsur-unsur keindonesiaan. Sedangkan dalam konteks pembelajaran materi IPS yang
ruang lingkup bahasannya sangat luas dan meliputi dunia internasional (global),
model-model pembelajaran tersebut bisa dikembangkan atau dikemas dalam bentuk
(kerangka) pendidikan global. Menurut Sapriya (2009), pendidikan global
merupakan upaya untuk menanamkan suatu pandangan (perspective) tentang
dunia pada siswa dengan memfokuskan bahwa terdapat saling keterkaitan antar
budaya, umat manusia dan kondisi planet bumi. Tujuan pendidikan global adalah
untuk mengembangkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills),
dan sikap (attitudes) yang diperlukan untuk hidup secara efektif dalam
dunia yang sumber daya alamnya semakin menipis dan ditandai oleh keragaman
etnis, pluralisme budaya dan semakin saling ketergantungan.
Dengan
demikian pada hakekatnya pendidikan global mengharapkan terjadinya peningkatan
wawasan internasional pada diri peserta didik dalam rangka pemberdayaan sumber
daya alam yang efektif, dan bisa menghargai (menghormati) perbedaan yang ada di
dunia, serta memiliki pandangan positif terhadap kebutuhan masyarakat dunia
yang saling tergantung antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Oleh
karena itu, dengan merujuk pada pendapat Sapriya (2009), era globalisasi
mengharuskan adanya perubahan dalam strategi dan metode mengajar, antara lain
dengan lebih memperhatikan keragaman dan nilai-nilai manusia universal, sistem
dan isu-isu global serta keterkaitan dengan masyarakat dunia dan sejarah
global.
Peningkatan
wawasan internasional peserta didik, harus diimbangi juga dengan peningkatan
wawasan tentang keindonesiaannya sebagai dasar berpikir mereka tentang wawasan
internasional itu. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis,
dan pluralisme budaya yang unik di dunia, serta memiliki tingkat kerusakan
sumber daya alam yang besar di antara negara-negara lainnya. Oleh karena itu,
dalam kerangka pendidikan global, penanaman pemahaman tentang keindonesiaan
dengan memasukan kearifan atau unsur kelokalan dalam pembelajaran IPS akan
membantu peserta didik dalam meningkatkan dan mengembangkan wawasan
internasionalnya. Dengan tertanamnya rasa cinta tanah air, rasa saling menghormati
(menghargai) antar sesama, rasa bertanggung jawab, dan rasa saling membutuhkan
antar daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Indonesia, menjadi modal
bagi peserta didik untuk dapat mengembangkan rasa cinta damai, saling
menghargai, rasa bertanggung jawab, dan rasa saling ketergantungan dalam
kehidupan internasional (dunia).
Berangkat
dari kerangka berpikir itulah, maka model-model pembelajaran yang berpusat pada
peserta didik menjadi sangat penting untuk diterapkan, karena peserta didik
tidak semata-mata dicekoki dengan pengetahuan (knowledge), tetapi
juga dibekali dengan keterampilan (skills), nilai dan sikap (values
and attitudes), dan cara melakukan tindakan (action). Aspek-aspek
pembelajaran inilah yang dibutuhkan oleh peserta didik dalam rangka mereka
mampu menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab,
serta warga dunia yang cinta damai. Dengan kata lain, melalui pola pembelajaran
IPS terpadu yang dilaksnakan dengan menggunakan model-model pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik, akan mampu mengembangkan pengetahuan yang dapat
dimanfaatkan bagi kepentingan diri peserta didik itu sendiri, dan untuk
kepentingan masyarakatnya, baik dalam hubungannya dengan pembangunan nasional,
kehidupan bermasyarakat di negaranya maupun yang bertalian dengan pergaulan
hidup dengan masyarakat dunia.
BAHAN BACAAN :
A. Sanusi, 1998. Pendidikan Alternatif.
Bandung: Grafindo Media Pratama.
Depdiknas RI, 2006. Panduan Pengembangan
Pembelajaran IPS Terpadu, Jakarta : Depdiknas.
M. Ismail, Sukardi, dan Su’ud
Surachman, 2009, Pengembangan Model Pembelajaran IPS Berbasis
Kearifan Lokal Masyarakat Sasak : Kearah Sikap dan Berprilaku Berdemokrasi
Siswa SMP/MTs, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 42, Nomor 2,
Juli 2009, halaman 136 – 144, Singaraja : Undiksha.
Negah Bawa Atmadja, 1992. “Sejarah dan
Ilmu-ilmu Sosial Implikasinya dalam Pendidikan Sejarah”, Artikel
dalam Aneka Widya, Singaraja : FKIP Unud.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun
2006 Tentang Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sapriya, 2009 Pendidikan IPS Konsep dan
Pembelajaran, Bandung : PT Rosdakarya.
Sukardi, 2004. Kajian Kearifan Lokal
Sasak Dalam Perspektif Kajian Pendidikan IPS. Mataram: FKIP Unram.
Jerowaru Lombok Timur, 6 Nopember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar