DAMPAK
AKULTURASI BUDAYA ISLAM
TERHADAP
PERGESERAN NILAI BUDAYA
HINDU-BUDDHA DI
INDONESIA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Bahasa Indonesia Keilmuan
yang dibina oleh Bapak Drs. Roekhan,
M.Pd
Oleh
Nadiyya Qurrotu Aini Zummi
120741421230
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
April
2013
DAMPAK
AKULTURASI BUDAYA ISLAM
TERHADAP
PERGESERAN NILAI BUDAYA HINDU-BUDHA
DI
INDONESIA
Oleh
Nadiyya Qurrotu
Aini Zummi
1.
Pendahuluan
Prasejarah merupakan masa sebelum
adanya pengaruh kebudayaan dari luar, dan pada masa itu berbagai suku bangsa di
Nusantara telah mempunyai unsur kebudayaan yang relatif tinggi. Perubahan dan
penambahan budaya Indonesia dalam beberapa aspek kehidupan mulai terjadi setelah
masuknya agama serta unsur kebudayaan Hindu-Buddha dari India ke Indonesia. Pengaruh
kebudayaan Hindu-Buddha bersifat melengkapi kebudayaan yang ada di Indonesia, bukan
hanya mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, tetapi juga membawa
perubahan dalam susunan masyarakat, yaitu timbulnya kedudukan raja, bentuk
pemerintahan kerajaan dan adanya bentuk keagamaan yang baru (Soekamto,1997:1).
Setelah agama Hindu-Buddha masuk terjadilah
perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia yang nampak dengan
dikenalnya sistem kasta. Sistem pemerintahan sebelumnya dipegang oleh kepala
suku yang dipilih karena memiliki kelebihan tertentu dibandingkan anggota
kelompok lainnya. Perkembangan selanjutnya berdirilah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja
yang berkuasa secara turun-temurun. Pengaruh Hindu Budha nampak pula pada
berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan ajaran agama yang menekankan kasih sayang, kedamaian dan sikap saling menghargai sesama
manusia. Selain hal itu masuknya Hindu-Budha juga mempengaruhi kehidupan
masyarakat Indonesia dalam bidang pendidikan, sebab sebelumnya masyarakat Indonesia belum
mengenal tulisan, namun dengan masuknya Hindu-Budha, sebagian
masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis.
Setelah agama Hindu-Buddha terdapat
agama lain yang masuk ke Indonesia dan membawa pengaruh besar pula terhadap
kehidupan masyarakat. Agama tersebut adalah Islam, yang muncul dengan bentuk
yang luwes ketika menghadapi masyarakat yang dijumpai dengan beraneka ragam
budaya dan tradisi. Agama Islam berkembang di seluruh penjuru masyarakat Indonesia,
terutama di masyarakat Jawa yang tradisi budayanya sangat kental dan juga
mendominasi tradisi budaya nasional di Indonesia. Masyarakat Jawa memiliki
tradisi dan budaya yang banyak dipengaruhi ajaran serta kepercayaan Hindu-Budha
yang terus bertahan hingga sekarang meskipun hal tersebut sebagian bertentangan
dengan ajaran Islam. Sikap bijak agama Islam yaitu mengubah tradisi atau
kepercayaan yang bertentangan tersebut digabungkan dengan ajaran Islam yang
bersifat fleksibel tanpa menghilangkan budaya yang sudah sangat melekat
tersebut.
Menggabungkan suatu budaya atau
tradisi seringkali disebut dengan istilah akulturasi. Akulturasi atau acculturation
atau culture contact ialah proses
terjadinya suatu unsur kebudayaan tertentu (penerima) dari masyarakat, yang berhadapan
dengan unsur kebudayaan lain (asing) dan terserap ke dalam kebudayaan penerima
tanpa harus menghilangkan ciri khas kebudayaan sendiri (Dewabrata,2009:9).
Proses tersebut adalah proses percampuran antara dua budaya yang berbeda tetapi
tidak perlu menghilangkan budaya yang asli.
Agama dan kebudayaan sebagai sebuah
kenyataan sejarah dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan
simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan
sedang kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup
didalamnya. Substansi (isi) utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari
segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat dan
memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk maupun sistem
pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan
(Setiadi,2008:30).
Suatu kebudayaan
mempunyai nilai yang baik dan selalu diinginkan, dicita-citakan dan dianggap
penting oleh seluruh anggota masyarakat, sebab kebudayaan memiliki nilai
kebenaran, keindahan, kebaikan, dan religius. Nilai-nilai tersebut dapat
bergeser dalam hal perilaku masyarakat dan tradisi masyarakat apabila terjadi
suatu akulturasi budaya. Sebagai bentuk contoh akulturasi antara budaya
Islam yang terdapat pergeseran nilai tradisi Hindu-Buddha dalam perilaku
masyarakat yaitu, upacara
selamatan atau bisa disebut syukuran. Pemberian nama selamat dengan tujuan
untuk memberi keselamatan bagi penyelenggara atau pemakai nama tersebut.
Upacara dalam bentuk kenduri dilakukan masyarakat Jawa pada waktu tertentu
misalnya pada tanggal 10 Muharram, Maulud Nabi, bersih desa. Selamatan
dilakukan oleh beberapa anggota masyarakat yang berkumpul sambil mengitari
berbagai jenis makanan dan saji-sajian. Pada waktu itu dibacakan do’a oleh
seorang yang dihormati masyarakat setempat menurut ajaran Islam serta sajian kenduri
dan perlengkapan yang menyertainya bukan merupakan budaya Islam.
Berdasarkan uraian
tersebut, masalah umum dalam makalah ini dapat dirumuskan yaitu, bagaimana
dampak akulturasi budaya Islam terhadap pergeseran nilai budaya Hindu-Buddha di
Indonesia? Sebaliknya masalah khusus dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut.
1)
Bagaimana
dampak akulturasi budaya Islam terhadap pergeseran nilai religi Hindu-Buddha di
Indonesia?
2)
Bagaimana
dampak akulturasi budaya Islam terhadap pergeseran nilai tradisi Hindu-Buddha
di Indonesia?
3)
Bagaimana
dampak akulturasi budaya Islam terhadap pergeseran nilai keindahan Hindu-Buddha
di Indonesia?
2.
Pembahasan
2.1 Dampak Akulturasi Budaya Islam terhadap
Pergeseran Nilai Religi Hindu-Buddha di Indonesia
Religion magis merupakan sebutan sejarawan barat terhadap kepercayaan asli
masyarakat Indonesia, mengenai nilai budaya yang sangat mengakar dalam unsur
religi. Kebudayaan masyarakat
Indonesia yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Budha,
prosesnya bukan sekedar akulturasi saja, akan tetapi terjadi
kebangkitan kebudayaan-kebudayaan di nusantara khususnya di Jawa, dengan
memanfaatkan unsur agama dan kebudayaan India. Berdasarkan
hal yang memengaruhi pergeseran nilai religi, dampak-dampak yang dihasilkan dari akulturasi
agama Islam dan Hindu-Buddha yakni munculnya kebudayaan yang tidak ada di
ajaran Islam namun muncul di Indonesia, kebudayaan tersebut seperti kegiatan
sekaten dan grebeg maulid, ruwat, dan labuhan.
Sekaten
berasal dari kata “sekati” dan juga berasal dari kata bahasa arab “syahadatain”
yang berarti dua kalimat syahadat. Menurut sejarah, perayaan sekaten bermula
sejak kerajaan Islam Demak, namun berlangsung ketika jaman pemerintahan Raja
Hayam Wurk di Majapahit yang disebut
“srada agung”. Perayaan yang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa
persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mentra-mantra, dan
sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur. Setelah Majapahit runtuh,
kemudian berdiri kerajaan Demak oleh Raden Patah dengan disertai dukungan para
wali, kemudian perayaan tersebut dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat
Islami. Upacara sekatenan dikembangkan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari
Maulud Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Upacara
sekatenan dapat disimpulkan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan
Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media
dakwah dengan lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam.
Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah
sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari
raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil tumpahruah di jalan
guna berebutan berkah yang berupa nasi dan lauk-pauk berikut sayur mayurnya
untuk disantap.
Selanjutnya selain sekaten, terdapat
kegiatan ruwatan yang merupakan upacara adat dengan tujuan untuk membebaskan
seseorang, komunitas, atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti dari ruwatan
adalah do’a memohon perlindungan dari ancaman bahaya seperti bencana alam,
pengampunan dosa-dosa dan kesalahan yang telah dilakukan yang dapat menyebabkan
terjadinya bencana. Ruwatan berasal dari budaya Hindu-Buddha yang bermakna
sebagai tolak balak. Lebih lanjut dalam ruwatan harus dilengkapi dengan
berbagai sesaji yang terdiri dari berbagai macam makanan, lauk pauk kemasan
hasil bumi dalam bentuk kecil yang diikat dan digantungkan sepanjang bambu
melintang untuk dipersembahkan kepada leluhur untuk memohon perlindungan dari
segala marabahaya. Sekarang ruwat dan sesajinya merupakan sebuah perlambangan
antara harapan dan syukur bukan hanya untuk tolak balak saja.
Labuhan bersal dari kata labuh
Iyang artinya sama dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air
(sungai atau laut). Labuhan dalam hal ini berarti memberi sesaji kepada roh
halus yang berkuasa di suatu tempat. Upacara Labuhan yaitu upacara melempar
sesaji dan benda-benda keraton ke laut, untuk dipersembahkan kepada Penguasa
Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, dengan maksud sebagai wujud rasa syukur
kepada Sang Pencipta atas segala kemurahan yang telah diberikan kepada seluruh
pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta berharap semoga Keraton Mataran
Yogyakarta tetap lestari dan rakyatnya selalu dapat hidup dengan damai
sejahtera. Sekarang labuhan lebih bersifat sebagai bentuk rasya syukur kepada
Tuhan, bahwa telah di beri rizki melalui hasil laut, dan juga bersyukur
dijauhkan dari marabahaya.
2.2
Dampak Akulturasi Budaya Islam terhadap Pergeseran Nilai Tradisi
Hindu-Buddha di Indonesia
Indonesia merupakan
negara dengan daerah-daerah yang secara relatif lebih terbuka terhadap
perubahan-perubahan, terutama disebabkan oleh faktor komunikasi yang
memungkinkan lebih cepatnya pembukaan isolasi daerah. Demikian pula terjadinya
pengaruh Hindu-Buddha yang terutama pada awal perkembangannya yang terjadi di
daerah-daerah yang ada pada jalur-jalur perdagangan seperti daerah yang dekat
ke pantai, biasanya lebih dahulu menerima pengaruh Hindu-Buddha tersebut
(Rochym,1983:109). Dampak dari
akulturasi yang terlihat dalam hal pergeseran nilai tradisi Hindu-Buddha yakni,
pernikahan, kelahiran, dan kematian.
Pernikahan
merupakan salah satu contoh institusi social yang terdapat dalam masyarakat.
Secara garis besar perniakahan diberbagai daerah di Indonesia sama, yaitu
adanya akad nikah dan walimahan (pesta). Perniakahan juga telah berakulturasi
dengan kebudayaan Hindu-Buddha. Pernikahan dalam ajaran Islam selalu
dipanjatkan doa-doa yang menggunakan bahasa Arab. Walaupun demikian, atar
daerah mempunyai tradisi yang berbeda-beda dalam prosesi pernikahan. Misalnya
saja di Sumatra, tradisi tersebut diantaranya diadakan selamatan dengan
berbagai macam sajian makanan sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Pesta ini
melibatkan dua kelompok, yaitu pembaca doa dan pembaca Al-Quran sebagai nilai
akulturasi budaya Islam.
Tradisi pernikahan
juga memadukan unsur-unsur adat, seperti perlambang dan kiasan dalam makanan
yang disajikan. Selain itu ada pula tradisi yang mengharuskan seorang wanita
memegang daun berisi beras dalam pernikanan yang merupakan perlambang unsur
alam, hal ini merupakan tradisi dari ajaran Hindu-Buddha. Tujuannya meruapkan
persiapan dari proses kelahiran seorang anak. Pernikahan juga terakulturasikan
dalam budaya Jawa terlihat dari pelengkap prosesi pernikahan adat Jawa diadakan
siraman, selamatan, sesaji dan benda-benda perlambang yang harus diikutkan
dalam prosesi upacara perniakahan. Sebenarnya selamatan dan sesaji merupakan
warisan tradisi Hindu-Buddha yang masih berkembang dalam masyarakat sampai saat
ini, sedang prose akad nikah dan walimah merupakan akulturasi agama Islam.
Setelah
prosesi pernikahan terdapat pula suatu keadaan yang disebut kelahiran. Dengan
masuknya budaya Islam ternyata juga berpengaruh pada proses kelahiran seorang
bayi. Sebagai contohnya kelahiran di Aceh terutama di daerah Gayo. Tradisi
menuju proses kelahiran dimulai sejak pernikahan, berawal dari seorang wanita
harus memegang daun berisi beras. Maksud dari tradisi tersebut yaitu, ketika
seorang ibu nantinya mengandung dan melahirkan anak, maka secara tidak langsung
telah memperkenalkan anak terhadap dunia luar dan memohon keselamatan dari
berbagai bahaya yang mungkin datang. Sedangkan di Jawa, prosesi kelahiran
dimulai dengan upacara mitoni. Upacara ini dilakukan pada saat usia kandungan 7
bulan, dalam upacara tersebut calon ibu melakukan siraman untuk melindungi bayi
dan ibunya dari bahaya. Sedangkan dalam Islam, roh kehidupan masuk kedalam
janin pada saat usia kandungan sekitar 4 bulan. Akulturasi diantara keduanya
terlihat dalam doa-doa yang dibacakan.
Setelah
bayi lahir, masyarakat jawa baiasanya melakukan sepasaran dan selapanan, upacara
ini dilakukan ketika bayi berumur sepasar 5 hari dan selapanan 35 hari. Sebagai
ungkapan syukur atas kelahiran bayi, maka diadakan selamatan dengan melakukan
pembagian sedekah berupa nasi tumpeng dengan urapan sayur. Selain itu dikenal
pula tradisi aqiqoh. Tradisi ini bersumber pada ajaran Nabi Muhammad SAW untuk
menyembelih domba bagi anak yang baru lahir. Aqiqoh dilaksanakan ketika bayi
berusia 7 hari, akan tetapi dengan adanya akulturasi tardisi aqiqoh dalam
pelaksanaannya dilakukan bersaman dengan sepasaran dan selapanan. Pada acara
aqiqoh dilanjutkan dengan upacara pemotongan rambut.
Seperti
halnya dengan pernikahan dan aqiqoh, pada peristiwa kematian juga terdapat
acara penghormatan kepada orang yang meninggal. Kematian adalah sesuatu yang
tidak mungkin terlepas dari setiap manusia yang hidup. Kematin pada masa
Hindu-Budhha merupakan suatu yang sangat menyedihkan namun tidak perlu
berlarut-larut. Prosesi kematian dalam Islam hanya wajib untuk
mensucikan jenazah, mengkafani, dan menguburkannya. Akan tetapi karena adanya
akulturasi, misal setelah hari kematian adanya hari-hari pringatan selamatan
atau acara tahlilan yang berisi pembacaan zikir dan tahlil. Pemberian nisan
pada makam merupakan warisan kebudayaan Hindu-Buddha.
Proses
pemakaman
yang dalam Islam tidak serumit tata upacara pemakaman Hindu-Budda. Pada masa
Hindu-Buddha setelah jenazah dikuburkan maka akan diadakan selamatan, selamatan
dalam hal ini sering disebut dengan tahlilan. Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga
orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga,
dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan pada dasarnya pengucapan ”La
ilahaillallah”, yang berarti “Tiada Tuhan selain Allah”. Tahlilan dimulai
pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari
setelah salat magrib atau isya. Terlihat bahwa acara tahlilan tidak sepenuhnya
ajaran murni Islam, Nabi Muhammad tidak pernah mengadakan acara tahlilan bila
ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut
diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya. Tahlilan dimulai dengan
hitungan hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000. Selamatan
hari ke-1000 (3 tahun) dinggap sebagai selamatan penutupan dan bebaslah
keluarga yang ditinggalkan. Tradisi ini sesungguhnya dari Hindu, yang masih
dipegang teguh dan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Selamatan di hari
ke-1000 sama dengan upacara srada dalam agama Hindu. Akulturasi yang lain
adalah kebiasaan memasukkan jenasah dalam peti. Kebiasaan ini merupakan warisan
zaman megalitikum, yaitu kubur batui dan sarkofagus yang masih hidup sampai
saat ini.
2.3
Dampak
Akulturasi Budaya Islam terhadap Pergeseran Nilai Keindahan Hindu-Buddha di
Indonesia
Sebelum unsur-unsur Hindu-Buddha masuk, masyarakat Indonesia telah
mengenal teknologi membuat bangunan dari batu pada masa Megalitikum. masyarakat
telah pandai membangun menhir, sarkofagus, peti (kuburan) kubur, patung
sederhana, dan benda benda dari batu lainnya. Setelah berkenalan dengan seni
arsitektur Hindu-Buddha kemudian mengadopsi teknologinya dan terdapat candi,
stupa, keraton, makara yang memiliki seni hias (relief) dan arsitekturnya yang
lebih beraneka. Setelah Islam masuk maka seni arsitektur berkembang dan banyak
diterapkan dalam pembangunan-pembangunan masjid. Dampak Akulturasi dalam hal
keindahan dapat terlihat pada bangunan-bangunan masjid, dan kesenian.
Bentuk bangunan masjid-masjid di
Indonesia terutama di Jawa kebanyakan berbentuk seperti pendopo yang berbentuk
bujur sangkar dan atap masjid berbentuk tumpang. Bentuk atap tumpang merupakan
perpaduan dengan Hindu yakni tumpang dalam agama Hindu berarti menghiasi pura.
Atap masjid di Jawa sangat berbeda dengan atap-atap masjid di Timur Tengah sebagai
asal Islam. Akan tetapi tidak ada aturan khusus dalam masalah atap masjid, yang
terpenting dapat dijadikan sebagai tempat sholat, atap juga selalu berjumlah ganjil,
yaitu 3 atau 5. Menara berfungsi sebagai tempat untuk menyerukan azan dan
merupakan salah satu kelengkapan masjid. Akan tetapi di Indonesia hanya masjid
Kudus dan Banten saja yang memiliki menara. Menara masjid Kudus terbuat dari
terakota yang tersusun seperti candi sedangkan di Banten bentuk menara yang
lebih menyerupai mercusuar Eropa.
Masjid juga memiliki keunikan dalam
penempatannya di Indonesia terutama masjid jami’ letaknya sesuai dengan tata
letak macapat, yaitu masjid diletakkan disebelah barat alun-alun dekat dengan
istana atau keraton yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan
rajanya. Sebenarnya penempatan majid dalam Islam tidak diatur secara khusus.
Selain itu penempatan masjid diletakkan dekat dengan makam terutama untuk makam
raja-raja. Contoh masjid kuno lain Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon),
Masjid Kudus dan sebagainya.
Selain majid nilai keindahan lain
yang berakulturasi antara Islam dan Hindu-Buddha yakni seni. Seni ukir dalam agama
Islam terdapat larangan yakni, untuk melukiskan makhluk hidup terutama manusia.
Seni pahat di Indonesia sangat berkembang pesat pada zaman purba, akan tetapi
masuk zaman madya (Islam), seni ini tidak berkembang lagi. Maka dari itu, pada
zaman ini kepandaian memahat hanya terbatas pada seni ukir saja. Seni ukir pun
sudah disamarkan sehingga tidak lagi menyerupai makhluk hidup. Banyak pola-pola
yang diambil dari zaman purba, yaitu pola daun-daunan, bunga-bungaan, bukit
karang, pemandangan dan garis-garis geometri. Pola-pola ini sering sekali
digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup. Ukiran-ukiran biasannya
menghiasi makam-makam, sedangkan pada masjid hanya tedapat di mimbarnya saja.
Ukir-ukiran di makam dapat ditemui pada jirat, gapura dan cungkup.
Wayang
merupakan salah satu warisan bangsa Indonesia yang sudah berkembang selama
berabad-abad. Wayang dibuat dari kulit kerbau dan mulai dibuat oleh Sunan Kalijaga pada zaman Raden Patah.
Sebelumnya lukisan wayang menyerupai bentuk manusia sebagaimana yang terdapat
pada relief Candi Penataran di daerah Blitar yang bernuansa kerajaan dengan
kiblat agama Hindu-Buddha. Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama
dinilai bertentangan dengan syara sehingga Sunan Kalijaga mengubah lukisan
dengan menghadap “methok” menjadi miring. Masuknya Islam wayang beserta alat musiknya tidaklah
musnah begitu saja, justru tetap dilestarikan. Banyak cerita-cerita yang
digubah dan dimainkan menggunakan gamelan, untuk memudahkan penyebarannya
cerita-cerita Hindu-Buddha dirubah dalam cerita Islam.
Simpulan
Dampak
akulturasi budaya Islam terhadap pergeseran nilai budaya Hindu-Buddha
melahirkan banyak kebudayaan yang lebih beragam lagi. Indonesia merupakan
negara yang banyak menampung kebudayaan dari luar meski kebudayaan sendiri
sudah banyak. Masuknya Islam di Indonesia menambah keragaman budaya, selain hal
tersebut Islam juga membenahi budaya yang bertentangan dengan keagamaan menjadi
selaras dengan agama, tanpa menghapus kebudayaan tersebut.
Nilai religi, tradisi, dan keindahan
agama Hindu-Buddha yang awalnya membuat masyarakat Indonesia melakukan
perbuatan syirik dan bertentangan dengan Islam dibenahi dengan menambah
unsur-unsur Islam salah satunya do’a berdasarakan ajaran Islam, dan merubah
pandangan masyarakat yang awalnya melakukan kegiatan atas dasar untuk leluhur
dan meminta sesuatu kepada leluhur, menjadi kegiatan atas dasar untuk
mengungkapkan rasa bersyukur atas segala hal yang dikaruniakan oleh Tuhan.
Daftar Rujukan
Madjid, N.
2008. Tradisi Islam: Peran dan Fugsinya dalam Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina.
Koentjaraningrat.
2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Rochym, A. 1983.
Masjid Dalam Karya Arsitektur Nasional
Indonesia. Bandung: Angkasa.
Dewabrata, E.P.
2009. Tatanan Baru Rangkaian Janur Gaya
Indonesia. Jakarta: Grahamedia Pustaka Utama.
Setiadi,
E.M. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Wahyudi.
2011. Islam dan Nilai-nilai Budaya Lokal di Jawa, (Online), (https://docs.google.com/document/d/1oMTgTXtPrHQAky6XC9CgJxYtaF589lApJv5vGakqxDw/edit), diakses 17 Februari 2013.
Adisukma,
W. 2012. Akulturasi Budaya Islam di Indonesia, (Online), (http://wisnu.dosen.isi-ska.ac.id/2012/11/06/akulturasi-budaya-masa-islam-di-indonesia/), diakses 17 Februari 2013.
http://amerthaganesha.blogspot.com/2012/10/akulturasi-budaya-hindu-budha-yang.html), diakses 17 Februari 2013.
Umam,
C.H. 2012. Akulturasi Hindu-Buddha dengan Islam, (Online), (http://chochoirulumam666.blogspot.com/2012/11/sejarah-akulturasi-budaya-hindu-budha.html), diakses 17 Februari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar