PEMBENTUKAN BERBAGAI MACAM ALAT
PERLENGKAPAN PADA MASA SESUDAH DEKRIT PRESIDEN
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia
yang dibina oleh Bapak Dewa Agung Gede Agung
Oleh :
1) Dita Ratna Pratiwi (120741404074)
2) M. Syahrul Mubarok (120741421199)
3) Nadiyya Qurrotu A.Z (120741421230)
4) Siska Astarina (120741404159)
5) Yuvi Yuni Riswanti (120741421226)
UNIVERSITAS NEGERI
MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
Oktober 2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
“Jangan pernah melupakan sejarah”, sepenggal kalimat yang pernah diucapkan
oleh Ir. Soekarno ini merupakan sebuah petuah bagi segenap bangsa Indonesia
agar jangan sesekalipun melupakan sejarah bangsanya, karena akan sangat fatal
akibatnya bila sebuah bangsa melupakan sejarahnya.
Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia merupakan sebuah ilmu yang
menjelaskan mengenai Sejarah politik pascakemerdekaan Indonesia yang dibagi ke
dalam periodisasi, yakni: Periode awal kemerdekaan atau lebih dikenal dengan
istilah masa revolusi kemerdekaan dengan konstitusi yang digunakan UUD 1945,
Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949, Periode UUDS 1950, Perdebatan
Konstituante dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai kembali berlakunya
UUD 1945.
Dalam bahsan kali ini penulis memfokuskan pada Pembentukan berbagai macam
alat perlengkapan negara pada masa sesudah dekrit.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan berikut :
“ Bagaimanakah pembentukan berbagai macam alat perlengkapan negara pada
masa sesudah dekrit? “
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui pembentukan berbagai macam alat perlengkapan negara pada
masa sesudah dekrit.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBENTUKAN BERBAGAI MACAM ALAT PERLENGKAPAN NEGARA PADA MASA SESUDAH
DEKRIT PRESIDEN
Sistem
Demokrasi Liberal ternyata membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi
stabilitas politik. Berbagai konflik muncul ke permukaan. Misalnya konflik
ideologis, konflik antar kelompok dan daerah, konflik kepentingan antarpartai
politik. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959, ternyata diterima baik oleh rakyat Indonesia, bahkan DPR secara aklamasi
menyatakan diri bersedia untuk bekerja atas dasar UUD 1945. Dengan demikian,
maka dimulailah babak baru ketatanegaraan RI di bawah payung Demokrasi
Terpimpin. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, berarti Kabinet Parlementer yang
sebelumnya memerintah di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda dinyatakan
demisioner dan diganti oleh Kabinet Presidensial yang langsung dipimpin oleh Presiden
Soekarno.
Hal ini mendorong Presiden Soekarno
untuk mengemukakan Konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957. Berikut ini
isi Konsepsi Presiden:
a. Penerapan sistem Demokrasi Parlementer secara
Barat tidak cocok dengan kepribadian Indonesia, sehingga sistem demokrasi
parlementer harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
b. Membentuk Kabinet Gotong
Royong yang anggotanya semua partai politik.
c. Segera dibentuk Dewan Nasional.
Berdasarkan
konsepsi presiden tersebut maka sistem pemerintahan kembali diberlakukan
menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan begitupun pembentukan alat-alat
perlengkapan negara dibentuk menurut Undang-Undang Dasar 1945. Disini akan
dibahas mengenai pembentukan alat-alat perlengkapan negara yang dianggap pokok,
sepert presiden dan menteri-menteri, DPR-GR, MPRS, dan DPAS.
A. Presiden dan Menteri-Menteri
Semenjak
dikeluarkannya dekrit presiden 1959 oleh presiden Ir. Soekarno, terjadi
perubahan fungsi Presiden, Presiden kini tidak hanya berfungsi sebagai kepala
negara, namun juga berfungsi sebagai Kepala Pemerintahan, yang berarti fungsi
eksekutif kini juga diemban oleh seorang Presiden dan kini Presiden sebagai
pemegang pemerintahan negara tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dikarenakan
diberlakukannya kembali sistem pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945, maka pada tanggal 10 Juli 1959 Presiden Soekarno disumpah kembali sebagai
Presiden. Bersamaan itu, Presiden Soekarno juga mengumumkan susunan dan
nama-nama Menteri dari Kabinet baru yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Menteri-menteri adalah para pembantu
Presiden. Sebagai pembantu Presiden, Menteri-menteri tidak bertanggung jawab
kepada Dewan perwakilan rakyat, melainkan langsung mempertanggung jawabkan
tugasnya pada Presiden, sedangkan Presiden sendiri yang merupakan Mandataris dari Majelis Permusyawaratan Rakyat harus
mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya kepada Majelis.
B. Dewan Pertimbangan Rakyat Gotong
Royong
Penerapan Demokrasi Terpimpin semakin memperlebar masalah
di antara golongan-golongan yang pro dan kontra terhadap Demokrasi Terpimpin.
Hal ini semakin diperparah ketika Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil
Pemilu 1955 pada tanggal 20 Maret 1960. Presiden kemudian membentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Alasan pembubaran DPR ini ialah
karena badan legislatif pilihan rakyat ini berani menolak RAPBN yang diajukan
pemerintah Soekarno. Keanggotaan DPRGR ditunjuk langsung oleh presiden dan
ditetapkan pada tanggal 14 Juni 1960. Anggota DPRGR seluruhnya berjumlah 283
orang. Pengangkatan anggota DPRGR ini tidak mencerminkan partai politik saja,
tetapi juga mewakili golongan-golongan.
Adapun tugas DPRGR ini adalah:
a. Melaksanakan Demokrasi
Terpimpin.
b. Melaksanakan pembaharuan.
c. Saling membantu antara DPRGR dan pemerintah.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ditindak
lanjuti dengan penataan bidang politik, social ekonomi, dan pertahanan
keamanan. Sebagai realisasinya, pada 20 Agustus 1959 Presiden Soekarno
menyampaikan surat No. 2262/ HK/59 kepada DPR yang isinya menekankan kepada
kewenangan presiden untuk memberlakukan “peraturan negara baru” selain membuat
peraturan negara menurut UUD 1945. Atas dasar peraturan negara barn tersebut,
presiden membentuk lembaga-lembaga negara, seperti MPRS, DPAS, DPR-GR, dan
Front Nasional.
Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan
umum berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1953, sementara Dewan Perwakilan
Rakyat berdasarkan undang-undang dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 belum terbentuk , berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1959 yang berisi:
Pasal
1 :
“Sementara
Dewan Perwakilan Rakyat belum tersusun menurut Undang-Undang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar, maka Dewan Perwakilan
Rakyat yang dibentuk berdaarkan Undang-Undang No.7 tahun 1953 menjalankan tugas
Dewan Perwakilan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945.”
Pasal
2 ayat 1:
“
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang belum mengangkat sumpah (janji) Dewan
Perwakilan Rakyat sekarang, tidak menjadi Dewan Perwakilan Rakyat itu.”
Pasal
2 ayat 2 :
“
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya senantiasa membantu memelihara
Undang-Undang Dasar 1945 dan segala peraturan yang berlaku bagi Republik
Indonesia”
Maka
Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum untuk sementara supaya menjalankan
tugas-tugas Dewan Perwakilan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945. Tapi,
dikemudian hari dalam menjalankan tugas Dewan Perwakilan Rakyat berdasar
Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1959 ternyaa tidak memenuhi harapan, karena
tidak bekerja sama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang sesuai dengan
semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga akhirnya dikeluarkan
Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960, yaitu :
1) Penghentian Pelaksanaan Tugas dan pekerjaan
anggota Dewan Perakilan Rakyat Sekarang.
2) Pembaharuan
Susunan Dewan Perwakilan Rakyat berdasar Undang-Undng Dasar 1945 pada waktu
yang sngkat.
3) Penetapan
Presiden ini mulai berlaku pada tanggal 5 Maret 1960.
Untuk
melaksanakan pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat maka, Melalui Penpres
No.4 Tahun 1960 pasal 1, pasal 2, dan Pasal 3 pemerintah membentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) yang mulai diberlakukan pada tanggal
24 Juni 1960. Parlemen ini dibentuk menggantikan DPR hasil pemilu 1955 yang
dibubarkan sejak 5 Maret 1960 karena berselisih dengan pemerintah mengenai:
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 1961. Pada
saat itu, DPR menolak mengesahkan RAPBN tersebut. Komposisi keanggotaan DPR-GR
tidak didasarkan atas perimbangan kekuatan parta: yang dihasilkan pemilu,
tetapi diatur sedemikian rupa oleh presiden. Semua anggott DPR-GR diangkat oleh
presiden sebanyak 283 orang yang terdiri atas 153 anggota mewakili partai
politik dan 130 anggota mewakili golongan-golongan.
C.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
MPRS dibentuk atas dasar
melaksanakan perintah Dekrit 5 Juli 1959 yang beranggotakan Dewan Perwakilan
rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
Hal ini berdasarkan oleh dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959, tentang
“Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.” yang mulai berlaku pada tanggal 22
Juli 1959. Dalam pasal 1 Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 menetukan:
(1) Sebelum tersusun Majelis Permusyawaratan Rakyat
menurut Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Dasar, maka dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri dari
anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam Penetapan Presiden
No. 1 tahun 1959 ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan menurut aturan-aturan seperti berikut:
(2) Jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
ditetapkan Presiden.
Sebagai peraturan lebih lanjut
dikeluarkan Peraturan Presiden No. 12 tahun 1960, tentang “Sususan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara”. Dan mulai berlaku pada tanggal 31 Desember
1959.
Berhubung pada waktu pembentukan
MPRS ini ternyata DPRS ini ternyata DPR berdasarkan Penetapan Presiden No. 1
tahun 1959 telah diperbaharui dengan DPR-Gotong Royong menurut Penetapan No. 4
tahun 1960, maka kalimat pada pasal 1 menjadi:
“.....
terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dimaksud dalam
penetapan Presiden No. 1 tahun 1959 dan seterusnya.....” dibaca saja: “.....
Dewan Perwakilan Rakyat yang ada dan seterusnya.....”
Menurut pasal 2 Penetapan Presiden
No. 2 tahun 1959, yang dimaksud dengan “daerah” adalah “Daerah Swatantra
Tingkat 1” (Daswati 1) atau sekarang disebut “Daerah Tingkat 1” (Dati 1) atau
“Propinsi”. Sedang yang dimaksud dengan “golongan” adalah “golongan karya”.
D. Dewan Pertimbangan Agung
Sementara
Menindak lanjuti Dekrit Presiden 5
Juli 1959 maka dibentuklah Dewan Pertimbangan Agung Sementara, dengan
dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959, yang berdasarkan pasal 2
Penetapan tersebut berisi :
Pasal
2
(1) Anggota-anggota Dewan Pertimbangan Agung
Sementara diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden.
(2) Jumlah anggota Dewan Pertimbangan Agung
Sementara ditetapkan oleh Presiden.
(3) Anggota-anggota Dewan Pertimbangan Agung
Sementara diangkat dari :
a. golongan-golongan politik;
b. golongan-golongan karya;
c. orang-orang yang dapat mengemukakan
persoalan-persoalan daerah;
d. tokoh-tokoh nasional;
Namun
kini sudah dikeluarkan Undang-Undang yang mengatur tentang Dewan Pertimbangan
Agung dalam pasal Undang-Undang Dasar 1945. Pada masa Orde Baru dikeluarkan
Undang-Uudang No.3 Tahun 1967 yang kemudian diikuti dikeluarkannya
Undang-Undang No 4 Tahun 1978 penyempurnaan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1967.
Berdasarkan
Undang-Undang No 3 Tahun 1967 setelah disempurnakan, menentukan:
Pasal
2 :
Tugas
Dewan Pertimbangan Agung ialah :
a. Berkewajiban
memberi jawab atas pertanyaan presiden.
b. Berhak
mengajukan usul dan berkewajiban mengajukan pertimbangan kepada Presiden.
Pasal
3 :
1. Susunan
Anggota Dewan Pertimbangan Agung meliputi unsur-unsur dari kehidupan masyarakat
dan terdiri dari:
2. Jumlah
Anggota Dewan Pertimbangan Agung ditetapkn sebanyak-banyaknyab 45 (empat puluh
lima ) orang termasuk Pimpinan Dewan Pertimbangan Agung.
Pasal
5 :
“Pengangkatan Anggota-anggota Dewan
Pertimbangan Agung dilakukan dengan Keputusan Presiden”.
Pasal
6 :
“Masa jabatan Anggota
Dewan Pertimbangan Agung adalah 5 (lima) tahun. Anggota Dewan Pertimbangan
Agung berhenti bersama-sama”.
E. Pemilihan Umum
Pembentukan alat-alat perlengkapan
negara sebagai wadah aspirasi rakyat dalam sistem Demokrasi seperti pembentukan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
yang penyusunanya masih belum berdasarkan kepada Pemilihan Umum, namun masih
berdasarkan petunjuk Presiden karena masih bersifat sementara sebelum dapat
diwujudkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
berdasarkan atas UUD 1945 dalam pasal 2 ayat (1), pasal 19 ayat (1).
Pembentukan alat perlengkapan negara sewajarnya harus berdasarkan atas hasil
pemilihan umum agar asas kedaulatan rakyat dan demokrasi dapat terlaksana
secara maksimal.
Akibat
dari belum terbentuknya lembaga-lembaga tersebut berdasarkan dengan Pimilihan
Umum maka pelaksanaan Demokrasi di Indonesia belum berjalan secara wajar.
Sehingga pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945
belum terlaksana secara murni dan konsekuensi. Dalam sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang ke-IV sebagai tuntutan rakyat agar pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilaksanakan secara Konsekuensi. Sidang Mejelis Permusyawaratan
Rakyat yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1966 tersebut
menghasilkan Ketetapan MPRS No.
XI/MPRS/1966 yang terdiri dari empat buah pasal, dan selengkapnya adalah
sebagai berikut:
Pasal
1 :
“Pemilihan
Umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia diselenggarakan dengan
pungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1966.”
Pasal
2 :
“
Undang-Undang Pemiliha Umum dan Undang-Undang susunan MPR, DPR, dan DPRD sudah
harus selesai diundangkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak tanggal penentuan ketetapan ini.”
Pasal
3 :
“Susunan
DPR dan DPRD terdiri dari golongan Politik dan Karya.”
Pasal
4 :
“Menugaskan
kepada Pemerintah untuk melaksanakan ketetapan ini,”
Pemilihan
umum sudah harus segera dilaksanakan untuk penyusunan lembaga-lembaga negara
seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum
yang pernah ada, tidak dapat dipergunakan lagi dan digantikan dengan
KetetapanMPRS No. XI/MPRS/1966.
Rakyat
menunggu ketetapan tersebut segera dilaksanakan agar pemilihan umum dapat
terselenggara sesuai dengan asas pokok
Konstitusional di dalam Ketatanegaraan Republik Indonesia. Dengan terlaksananya pemilihan
umum ini diharapkan akan tercapainya kestabilan politik, yang mana merupakan
salah satu syarat dalam Pembangunan Nasional Semesta untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
BAB III
KESIMPULAN :
Berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5
Juli 1959, ternyata diterima baik oleh rakyat Indonesia, bahkan DPR secara
aklamasi menyatakan diri bersedia untuk bekerja atas dasar UUD 1945. Dengan
demikian, maka dimulailah babak baru ketatanegaraan RI di bawah payung
Demokrasi Terpimpin. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, berarti Kabinet Parlementer
yang sebelumnya memerintah di bawah pimpinan Perdana Menteri Djuanda dinyatakan
demisioner dan diganti oleh Kabinet Presidensial yang langsung dipimpin oleh Presiden
Soekarno. Dan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959, maka berakhirlah Demokrasi Liberal dan digantikan dengan Demokrasi
Terpimpin. Demikian pula mulai saat itu sistem Kabinet Parlementer ditinggalkan
dan diganti menjadi Kabinet Presidensial. Sistem pemerintahan diselenggarakan
menurut UUD 1945 dan alat-alat perlengkapannya seperti pembentukan
menteri-menteri, pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara, dan Pemilihan Umum juga disusun menurut UUD 1945. Dengan babak baru
ini rakyat Indonesia berharap agar pemerintahan dapat sesuai dengan cita-cita
dan harapan rakyat Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN:
Joeniarto.
(1990). Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia . Jakarta: BumiAksara.
httpstaff.uny.ac.idsitesdefaultfilespenelitianZulkarnain,%20S.Pd.,%20M.Pd.B.3.JURNAL.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar