DISKUSI KASUS-KASUS
PERKEMBANGAN HUBUNGAN INTERPERSONAL,
TINGKAH LAKU PROSOSIAL PESERTA DIDIK, DAN
PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Perkembangan
Peserta Didik
yang dibina oleh Ibu Dra. Siti Malikhah Towaf,
Ph. D
Oleh:
Ary Kusumawati
Setyagama
Finda Eka
Yulfiana
Risqotul Ula
Firdaus
Nadiyya Qurrotu
Aini Zummi
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
April 2013
KATA PENGANTAR
Syukur
alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik,
serta hidayahnya, sehingga penulisan makalah yang berjudul “Diskusi Kasus-Kasus
Perkembangan Hubungan Interpersonal, Tingkah Laku Prososial Peserta Didik, dan Perkembangan
Moral dan Spiritual Peserta Didik” dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Perkembangan Peserta Didik yang dibina
oleh Ibu Dra. Siti Malikhah Towaf, Ph. D selaku dosen matakuliah Perkembangan
Peserta Didik Pogram Studi S1 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas
Negeri Malang (UM).
Segala upaya telah dilakukan untuk
menyempurnakan makalah ini. Namun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini
masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis
sangat menghargai apabila terdapat saran maupun kritik yang membangun dari
semua pihak. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan
bagi para pembacanya untuk memperluas khasanah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
yang terus berkembang mengikuti kemajuan zaman, khususnya bagi khasanah Ilmu Perkembangan
Peserta Didik. Amin.
Malang, April
2013
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Siswa sebagai seorang individu yang
sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu
berkembang ke arah kematangan atau kemandirian mereka selalu melakukan
interaksi sosial. Untuk mencapai kematangan tersebut, siswa memerlukan
bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang
dirinya dan lingkungan sosialnya, juga pengalaman dalam menentukan arah
kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses
perkembangan siswa tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari
masalah, tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan
potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Pada usia remaja, keadaan jiwa remaja yang masih labil
rentan mengalami kegoncangan daya pemikiran abstrak, logik, dan kritis ketika
menghadapi kehidupan. Permasalahan yang dihadapi remaja tidak bisa diselesaikan
dengan mempergunakan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional
namun kecerdasan spiritual penting untuk dimiliki siswa sebagai usaha untuk
mengendalikan dorongan-dorongan negatif (pergaulan bebas yang bersifat
patologis) yang dapat mempengaruhi perkembangan mental remaja. Diperlukan sebuah
kegiatan positif yang bersifat mengarahkan, menyadarkan, meningkatkan dan menjaga
kondisi mentalnya sehingga berada pada tahap yang lebih baik. Sebab, mental
yang sehat merupakan cita-cita dari setiap manusia yang berada di dunia. Maka,
sebagai sebuah disiplin ilmu, psikoterapi yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam
dapat dijasikan sebagai medium bagi terwujudnya kesehatan mental remaja.
Untuk menghadapi berbagai
permasalahan yang rentan dihadapi oleh remaja saat ini, bahkan telah mulai
menjurus kepada kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang, diperlukan
kemampuan untuk dapat melihat permasalahan yang ada secara holistik, dimana
kita dapat melihat dengan lengkap seluruh keterkaitan permasalahan dan mampu
untuk bersikap secara luwes. Hal ini dimungkinkan apabila seseorang itu
memiliki Kecerdasan Spiritual yang tinggi.
Kecerdasan spiritual merupakan suatu
kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan
kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih
bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong
berfungsinya secara lebih efektif, baik Intelligence Quotient (IQ) maupun
Emotional Intelligence (EI).
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka topik bahasan dapat dirumuskan:
1.
Bagaimana pengaruh orang tua dalam tingkah laku prososial
anak?
2.
Bagaiman pemecahan konflik interpersonal dalam remaja?
3.
Bagaiman penerapan hubungan moral dengan ilmu pengetahuan?
4.
Bagaimana hubungan spiritual dan religi?
1.3
Tujuan
Bersarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana pengaruh orang tua dalam tingkah laku prososial anak, bagaimana
pemecahan konflik interpersonal dalam remaja, bagaimana penerapan hubungan
moral dengan ilmu pengetahuan, dan bagaimana hubungan spiritual dan religi.
1.4
Batasan Masalah
Makalah ini
dalam pembahasannya hanya mengenai perkembangan hubungan interpersonal, tingkah
laku prososial peserta didik, dan perkembang moral dan spiritual peserta didik.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengaruh Orang Tua dalam Tingkah Laku Prososial Anak
Manusia sebagai makhluk sosial opasti membutuhkan pertolongan orang
lain dalam menjalani hidupnya. Setiap orang pasti pernah mengalami perilaku
prososial selama hidupnya, baik disadari maupun tidak disadari. Tidak hanya
orang dewasa, anak-anak pun dapat dididik agar mempunyai perilaku prososial
yang tinggi. Dalam hal ini peran keluarga, sangat penting dalam keberhasilan
anak untuk berperilaku prososial karena keluarga khususnya orang tua merupakan
kelompok primer dalam pembentukan perilaku seorang anak. Menurut Staub, perilaku
prososial adalah perilaku yang menguntungkan bagi penerima, tetapi tidak
memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya.
Sebagai contoh, ada sebuah keluarga yang memiliki seorang anak yang
masih berumur 8 tahun. Anak tersebut memiliki sikap antisosial kepada sesama,
tidak suka bermain dengan teman-temannya yang kurang mampu, ia hanya senang
bermain dengan orang yang memiliki derajat sosial yang sama dengannya. bahkan
jika ada pengemis yang menghampirinya, ia suka mengejek pengemis tersebut.
Mengetahui ini orang tua anak tersebut memberitahu bahwa itu adalah perbuatan
yang tercela. Sikap anak ini terbentuk karena orang tuanya tidak pernah
mencontohkan tindakan prososial kepada anaknya, sehingga anaknya pun tidak
memiliki sikap prososial tersebut. Kemudian orang tuanya mulai mengajari
anaknya untuk mengubah sikap antisosialnya tersebut dengan berbagai cara,
misalnya dengan memberikan uang kepada pengemis. Akibat dari sikap yang
dilakukan orang tuanya, akhirnya anak tersebut mencontoh perilaku prososial dari
orang tuanya. sekarang, jika ada pengemis yang menghampirinya, ia tidak lagi
mengejek, melainkan ia memiliki empati terhadap pengemis tersebut sehingga ia
memberikan uangnya karena ia sadar pengemis itu membutuhkan bantuan.
Kasus di atas dapat kita kaitkan dengan perspektif belajar, yaitu
seseorang menolong karena ada proses belajar melalui observasi terhadap model
prososial. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak cenderung merespons
secara prososial setelah melihat model di media melakukan tingkah laku
menolong. Jadi, seseorang dapat menjadi altruis karena lingkungan memberi
contoh-contoh yang dapat di observasi untuk bertindak menolong.
Strategi untuk meningkatkan prososial anak dapat dilakukan dengan
cara berikut:
1)
Menjadi
contoh perilaku prososial
2)
Mengidentifikasi
perilaku prososial
3)
Bantu
anak memahami perasaan orang lain
4)
Memotivasi
anak untuk melakukan prososial
5)
Meningkatkan
altruisme pada anak
Faktor yang mendasari anak
tersebut berperilaku prososial adalah sikap empati. Empati tersebut ditanamkan
oleh orang tuanya sehingga anaknya dapat berperilaku prososial. Faktor
situasional yang menyebabkan anak tersebut berperilaku prososial adalah
kejelasan stimulus. Anak itu melihat bahwa pengemis yang menghampirinya
tersebut layak diberikan bantuan. Anak tersebut mengasumsikan bahwa pengemis
itu membutuhkan bantuannya sehingga ia pun memberikannya uang. Selain itu, juga
terdapat faktor personal, yaitu anak itu merasa bahwa pengemis tersebut
memang pantas untuk ditolong. Motivasi anak tersebut untuk berperilaku
prososial adalah emphaty-altruism hypothesis, yaitu perasaan empati muncul
ketika melihat penderitaan orang lain. Dengan kata lain, sikap empati yang
dirasakan tersebut akan memunculkan motivasi untuk mengurangi penderitaan orang
lain.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial anak tersebut
dibentuk karena adanya pengaruh dari orang tua yang memberikan contoh prososial
kepada anaknya. Anak-anak akan lebih mudah mempelajari suatu hal apabila
diberikan pembelajaran langsung. Karena pengaruh ornagtuanya tersebut, akhirnya
perilaku antisosial anak dapat diubah menjadi perilaku prososial.
2.2
Pemecahan Konflik Interpersonal dalam Remaja
Kehidupan
masa remaja senantiasa menarik, dikarenakan kompleksnya
permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Ibarat sebuah rumah, jika
kehidupan masa anak adalah pondasi yang menentukan masa depan selanjutnya, maka
pada masa remaja individu bagai rumah yang sudah terbentuk dan pada masa dewasa,
rumah tidak lagi mengalami perubahan yang mendasar. Masa transisi antara masa
anak dan masa dewasa ini seringkali menimbulkan kegelisahan. Tidak heran
G.Stanley Hall dalam Mappiare (1982), seorang yang disebut sebagai Bapak
Psikologi Remaja ilmiah menyebut masa ini sebagai "storm dan stress".
Masa peralihan ini banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan
karena remaja bukan kanak-kanak lagi tetapi juga belum dewasa dan remaja ingin
diperlakukan sebagai orang dewasa, sedangkan lingkungan menganggap bahwa remaja
belum waktunya untuk diperlakukan sebagai orang dewasa.
Masa remaja ditandai dengan adanya
perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis, dan sosialnya.
Berkaitan dengan hubungan sosial pada remaja, hampir seluruh waktu yang
digunakan remaja adalah berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, baik dengan
orangtua, saudara, guru, teman, dan sebagainya. Remaja cenderung bergabung dan
berinteraksi dengan kelompok sosialnya untuk mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan sosialnya. Kondisi tersebut sejalan dengan salah satu
tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja yaitu memperluas hubungan
interpersonal dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya baik
pria maupun wanita. Berdasarkan laporan penelitian Afiatin (1996) disebutkan
bahwa hampir semua responden yang terdiri dari para remaja memiliki masalah
yang berkaitan dengan prestasi khususnya prestasi akademik. Selain hal tersebut
tidak sedikit juga yang kita temui seorang remaja yang memiliki konflik dengan
teman sebayanya yang akhirnya tidak hanya mengakibatkan keributan antar
keduanya namun merembet sampai pada tawuran antar kelompok.
Sebagai contoh suatu kasus dimana
gara-gara dipelototi dua pelajar Sekola Menengah Seni Rupa (SMSR) berkelahi
yang berbuntut pengeroyokan sehingga salah seorang tertusuk (Radar Yogya, 30
Januari 2001). Kemudian dilaporkan adanya tawuran antar pelajar di Semarang
yang menyebabkan empat orang luka-luka (Radar Yogya, 17 Februari 2001). Pada
surat kabar yang sama dua hari sebelumnya juga dilaporkan adanya tawuran
pelajar antar SMK yang dimulai dengan adanya konflik pada pertandingan
sepakbola (Radar Yogya, 15 Februari 2001). Menurut Suhartono, anggota komisi E
Dewan Kota dari Fraksi Partai Golkar bahwa frekuensi perkelahian antar pelajar
di Yogya akan meningkat seiring situasi negara yang kini sedang tidak menentu
yang diindikasikan dari seringnya terjadi perkelahian pelajar antar sekolah
(Radar Yogya, 30 januari 2001). Tampaklah bahwa konflik yang dialami para
remaja sudah menghawatirkan yang sebenarnya dapat dicegah jika sejak awal
ketika konflik interpersonal muncul dapat diatasi dengan baik. Begitu juga
remaja yang memiliki konflik dengan orang tuanya memilih untuk meninggalkan
rumah karena merasa tidak puas dan tidak bisa menyelesaikan konflik tersebut,
akibatnya jumlah anak jalanan kian meningkat.
Disimpulkan
dari pendapat beberapa ahli Psikologi dalam Shantz dan Hartup (1992) bahwa masa
remaja memang rentan terhadap munculnya berbagai konflik. Terdapat berbagai
alasan antara lain, pengaruh gelombang
hormon pada masa remaja, remaja mulai mengantisipasi tuntutan peran masa dewasa, perkembangan
kemampuan kognitif remaja yang mulai memahami ketidak konsistenan dan ketidak sempurnaan
orang lain dan mulai melihat persoalan-persoalan yang terjadi sebagai persoalan
pribadi dari pada memberikannya pada otoritas orang tua. Remaja mengalami
transisi tahapan perkembangan dan perubahan-perubahan menuju kematangan yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik.
Permasalahan
sosial yang dihadapi remaja selanjutnya secara lebih khusus merupakan konflik
interpersonal karena secara spesifik menyangkut interaksi antara individu
(remaja) dengan orang lain. Tidak lain hal tersebut menuntut remaja meresponnya
secara tepat dalam hal ini sesuai dengan harapan sosial dan tidak menimbulkan
efek negatif baik untuk remaja itu sendiri dan orang lain. Hal tersebut tidak
lepas dari upaya penyesuaiannya untuk dapat diterima sosial, khususnya kelompok
teman sebaya. Remaja yang memiliki kemampuan pemecahan konflik interpersonal
yang baik akan memberi efek yang baik pula pada hubungan sosialnya. Sementara jika ia gagal melakukan pemecahan
konflik interpersonal dengan baik bertentangan dengan harapan sosial akibatnya
timbul penolakan dari sosial karena ia dianggap melakukan perilaku yang negatif
dan tidak sewajarnya.
Konflik
bisa menyakitkan ketika konflik dihadapi dengan defensif keras kepala dan
menarik diri dari interaksi (Gottman & Krokof, 1989) dalam Taylor, Peplau
dan Sears (1994). Oleh sebab itu dipaparkan mengenai strategi-strategi
memanajemen konflik oleh Devito (1995)
sebagai berikut:
a.
Penghindaran dan melawan secara
aktif. Penghindaran berkaitan dengan menghindar secara fisik yang nyata, misal
meninggalkan ruangan dari pada menghindar dari pokok persoalan. Berperan aktif
pada konflik interpersonal yang dihadapi. Menjadi pembicara dan pendengar yang
aktif dan bertanggungjawab terhadap setiap pemikiran dan perasaanmu.
b.
Memaksa dan berbicara. Kebanyakan
orang tidak menghadapi pada pokok persoalan melainkan memaksakan posisinya pada
orang lain baik secara fisik maupun emosional. Alternatif yang nyata adalah
berbicara dan mendengar, keterbukaan, empati, dan sikap positif merupakan awal
yang tepat.
c.
Menyalahkan dan empati. Ketika kita
menyalahkan seseorang ada niat tertentu pada orang tersebut. Bukan perilakunya
yang dipermasalahkan tapi menyalahkan orangnya. Hal ini tidak akan
menyelesaikan masalah, cobalah berempati dengan merasakan apa yang dirasakan
orang lain dan berusaha melihat situsai seperti orang tersebut. Pahamilah
mengapa orang lain menilai situsai tersebut secara berbeda.
d.
Mendiamkan dan memfasilitasi
ekspresi secara terbuka. Mendiamkan di sini merupakan teknik dalam menghadapi
konflik dengan mendiamkan orang lain terkadang sambil menangis. Cara ini tidak
akan menjelaskan dan menyelesaikan konflik. Pastikan bahwa setiap orang
diijinkan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dan terbuka, tanpa ada
yang merasa lebih rendah ataupun lebih tinggi.
e.
Gunnysucking dan fokus pada masa
sekarang. Gunnysucking merupakan istilah
yang berarti menyimpan keluhan-keluhan yang ada sehingga bisa muncul pada saat
lainnya. Jika hal ini dilakukan, masalah tidak dapat dituntaskan, akan muncul
dendam dan perasaan bermusuhan. Fokuskan konflik di sini dan sekarang dan
fokuskan konflik pada orang yang dimaksud, bukan pada ibunya atau temannya.
f.
Manipulasi dan spontan. Manipulasi
berarti individu menghindari konflik terbuka dan berusaha menyembunyikan
konflik dengan tetap berperilaku menyenangkan. Sebaliknya, ekspresikan perasaan
secara spontan, terhadap konflik interpersonal bukan mencari siapa yang menang
dan yang kalah, namun pemahaman dari kedua belah pihak.
g.
Penolakan dan penerimaan pribadi.
Pada penolakan pribadi digunakan cinta dan afeksi. Seseorang kan berperilaku
dingin dan tidak perduli sehingga pihak lain akan merasa bersalah. Sebaliknya,
ekspresikan perasaan positif pada orang lain. Konflik apapun dihadapi bukan
untuk disesali dengan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan karena kita
mencintai orang tersebut.
h.
Melawan "di bawah dan di atas
ikat pinggang". Melawan dari bawah (atau dari belakang) hanya akan
mennambah masalah. Bawalah konflik pada area dimana lawan bisa memahami dan
mengatasinya. Ingatlah, konflik interpersonal bukan mencari siapa yang menang
dan yang kalah, tapi untuk
mengatasi masalah dan memperkuat
hubungan.
i.
Argumentatif dan agresif verbal.
Agresif verbal adalah suatu cara untuk memenangkan argumen dengan memberikan
rasa kesakitan secara psikologis dengan menyerang konsep diri orang lain, misal
latar belakangnya, penampilan fisik, dan lain-lain. Argumentatif adalah
kesediaan untuk berdebat mengenai suatu sudut pandang, mengatakan pemikiran
dari suatu sudut pandang.
Tujuan
dari pemecahan masalah adalah untuk merangsang perilaku yang kemungkinan
menghasilkan akibat positif dan menghindari akibat negatif (D'Zurilla dan
Goldfried, 1971). Individu belajar tentang perilaku-perilaku yang kemungkinan
menimbulkan akibat positif dan negatif. Individu belajar untuk mengontrol
perilakunya, sehingga segala perilaku yang muncul akan berdampak positif baik
bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dengan demikian pemecahan masalah
menunjuk pada proses belajar yang melibatkan strategi kognitif dan ketrampilan
kontrol diri yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kompetensi yang
dimiliki (D'Zurilla dan Goldfried, 1971).
2.3
Peran Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya
dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral ti
dak memiliki
nilai positif di mata manusia lainnya s
ehingga
moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit
adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu.
Moral
itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah
dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral merupakan nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat
secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat
setempat, apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan
nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral
yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem
nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Ilmu
merupakan pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah
tersebut tidak lagi merupakan misteri. Ilmu pengetahuan lahir dan
berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia baik untuk memahami
realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk menyelesaikan permasalahan
hidup yang dihadapi, serta mengembangkan dan melestarikan hasil-hasil yang
dicapai manusia sebelumnya. Dikatakan oleh Einstein, “bahwa ilmu dimulai
dengan fakta dan diakhiri dengan fakta apapun juga teori yang disusun diantara
mereka”. Menurut S. Hornby mengartikan ilmu sebagai “Science is organized
knowledge obtained by observation and testing of fact. Hal ini menujukkan jelas
bahwa ilmu adalah pengetahuan yang terorganisir yang didasarkan pada observasi
dan hasil pengujian. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki dua
pengertian yaitu,
Pertama Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan
untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut,
seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
Jujun S.
Suriasumatri menjelaskan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang digali sejak
sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Alan H. Goldman
lebih melihat bahwa ilmu sesuatu yang diperoleh pada rujukan-rujukan tertentu
yang diyakini kebenarannya, “knowledge is belief that is best explained by
reference to its truth”. Dengan
demikian, maka ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan
ilmiah dan telah teruji kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang sahih yang
berlaku universal.
Hakikat Hubungan Moral dengan Ilmu
Pengetahuan berawal dari ilmu yang
merupakan hasil karya perseorangan, dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka
oleh masyarakat. (Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 237).
Jikalau hasil penemuan perseorangan tersebut memenuhi syarat-syarat keilmuan
maka ia akan diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan dapat
digunakan dalam masyarakat. Moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka
masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. (Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 234 - 235).
Sejak dalam tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan
perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk mengusai alam melainkan juga untuk
memerangi sesama manusia dan mengusai mereka. Teknologi tidak lagi berfungsi
sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia
berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah
terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif. Ketika Copernicus
(1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa
“bumi yang mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan
oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang
bersumber pada ajaran agama). Dari hal tersebut timbullah konflik yang
bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan
inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama
kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berfikir di
Eropa, pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang terbebas dari
nilai-nilai diluar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan
yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang
berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: “Ilmu yang
Bebas Nilai!” Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka
para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi
dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Masalah teknologi telah mengakibatkan proses dehumanisasi dari
perkembangan ilmu dan teknologi dihadapkan dengan moral, para ilmuwan terbagi
ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi
kenetralan ilmu secara total seperti pada era Galileo sedangkan golongan kedua
mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan
ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal
yakni: (1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh
manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan
teknologi-teknologi keilmuan; (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin
esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengatahui tentang ekses-ekses yang
mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan; dan (3) Ilmu telah berkembang
sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia
dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan
teknik perubahan sosial (sosial engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka
golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk
kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Penerapan Hubungan Moral dengan Ilmu
Pengetahuan dimulai dari manusia sebagai
manipulator dan articulator dalam mengambil manfaat ilmu pengetahuan. Moral
manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja
hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat
pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam
pertarungan antara in dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak
berfungsi optimal, maka tentu-atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan
tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan- amatlah
tidak mungkin kebaikan diperoleh manusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah
dua perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalh pilihan
id dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “supr-ego”-nya.
Moral adalah pemahasan mengenai baik (good), buruk (bad),
semestinya(ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol
adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation).
Keduanya bertalian dengan hati nurani.
Bernaung di bawah filsafat moral, moral merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiabn itu, dengan argument bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan
berarti akan mendatangkan bencana atau keburukanbagi manusia. Oleh kerena itu,
moral pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan
(good) yang pelaksananya tidak ditunjuk. Executornya menjadi jelas moral sang
subyek berhadap opsi baik atau buruk, yang baik itulah materi kewajiban
executor dalam situasi ini.
2.4
Hubungan Spiritual dan Religi
Selama ini orang menganggap konsep spiritual dan religius adalah
konsep yang sama maknanya. Padahal dua kata ini memiliki makna dan konsep yang
berbeda. Konsep spiritual mengacu pada konsep diri seseorang akan ketuhanan,
sedangkan religius merupakan konsep seseorang akan agamanya. Meskipun orang
religius atau taat dalam beragama tetap tidak bisa dijamin akan memiliki konsep
ketuhanan yang baik, namun konsep ketuhanan seseorang sejatinya juga berangkat
dari agamannya. Berdasarkan prespektif agama Islam, antara agama dan spiritual
memiliki korelasi positif yakni, semakin tinggi kualitas agama seseorang maka
semakin cerdas spiritualnya sebaliknya, semakin tinggi tingkat kecerdasan
spiritual seseorang maka semakin baik pula sikap keberagamaannya. Dalam istilah
John Renard, aspek spiritualitas yang sesungguhnya mengembangkan dan juga
meninggikan sikap keberagamaan.
Menurut Glock dan Stark
(dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas (keagamaan) yaitu:
1)
Dimensi praktik agama/peribadatan. Mencakup
perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, kataatan dan hal-hal
yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
Praktik-praktik agama ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:
a.
Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus,
tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para
pemeluk melaksanakannya.
b.
Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen
sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai
seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan,
informal dan khas pribadi.
2)
Dimensi Pengalaman. Berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau
didefenisikan oleh suatu kelompok keagaman (atau masyarakat) yang melihat
komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan,
kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
3)
Dimensi pengetahuan agama. Mengacu pada harapan
bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal
pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan
tradisi-tradisi.
4)
Dimensi Konsekuensi. Mengacu pada identifikasi
akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan
seseorang dari hari ke hari, dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran
agama mempengaruhi perilakunya.
Kesadaran
beragama seseorang sendiri, muncul karena berbagai faktor termasuk juga
kesadaran beragama remaja. Sehubungan
dengan jiwa remaja yang berada dalam transisi dari masa anak-anak menuju
kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa remaja berada dalam keadaan
peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama.
Disamping jiwanya yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pikir yang
abstrak, dan logika yang kritis mulai berkembang. Emosinya semakin berkembang,
motivasinya mulai otonom dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata.
Dengan adanya gejolak batin tersebut akan tampak dalam kehidupan agama yang
mudah goyah, timbul kebimbangan, dan kerisauan. Disamping itu remaja mulai
menemukan penngalaman dan penghayatan ke-Tuhanan yang bersifat individual dan
sukar digambarkan kepada orang lain seperti dalam pertobatan. Keimanan mulai
otonom, hubungan dengan Tuhan makin disrtai dengan kesadaran dan kegiatannya
dalam masyarakat makin diwarnai oleh rasa keagamaan.
Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap
perkembangan agama selama masa remaja ini. Terdapat empat sikap remaja dalam beragama,
yaitu:
1)
Percaya ikut-ikutan. Biasanya dihasilkan oleh
didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya.
Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16
tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar
sesuai dengan perkembangan psikisnya.
2)
Percaya dengan kesadaran. Semangat keagamaan
dimulai dengan melihat kembali tentang masalah-masalah keagamaan yang mereka
miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang
baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut-
ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau
18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a.
Dalam bentuk positif. Semangat agama yang
positif, yaitu berusahamelihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi
menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan
membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b.
Dalam bentuk negative. Semangat keagamaan dalam
bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu
kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar ke dalam
masalah-masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan-
kepercayaan lainnya.
3)
Percaya, tetapi agak ragu-ragu. Keraguan
kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a.
Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan
terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b.
Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas
kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang
dimiliki.
4)
Tidak percaya atau cenderung ateis.
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau
sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan
atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap
kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan
Tuhan.
Ada beberapa ciri-ciri kesadaran beragama yang
menonjol pada masa remaja diantaranya adalah:
1)
Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat
individual
2)
Keimanannya semakin menuju realitas sebenarnya
3)
Peribadatan mulai disertai penghayatan yang
tulus
Meskipun remaja
mengalami transisi menuju kedewasaan dalam berpikir dan beragama, namun tidak
dapat dihindari adanya konflik dan keraguan yang dialami remaja dalam beragama.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh W. Sturbuck, dari 142 remaja yang berusia 11-26 tahun, terdapat 53% yang
mengalami keraguan tentang:
1)
Ajaran agama yang mereka terima.
2)
Cara penerapan ajaran agama.
3)
Keadaan lembaga-lembaga keagamaan.
4)
Para pemuka agama
Menurut analisis yang dilakukan
W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh factor:
1)
Kepribadian
Tipe
kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan salah tafsir
terhadap ajaran agama.
·
Bagi individu yang memiliki kepribadian yang
introvert, ketika mereka mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan
Tuhan, maka akan menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih
dan Maha Penyayangnya Tuhan. Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul, maka
mereka akan menjadi ragu akan kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan
Pnyayang Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang
introvert walau sebelumnya dia taat beragama.
·
Untuk jenis kelamin. Wanita yang cepat matang
akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama dibandingkan pada laki-laki
cepat matang.
2)
Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Kesalahan ini
dipicu oleh “dalam kenyataannya, terdapat banyak organisasi dan
aliran-aliran keagamaan”. Dalam pandangan remaja hal itu mengesankan adanya
pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga melihat kenyataan “Tidak
tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan
agama”.
3)
Pernyataan Kebutuhan Agama
Pada dasarnya
manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada), namun disisi
lain, manusia juga memiliki dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Kedua
sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yag normal. Apa
yang menyebabkan pernyataan kebutuhan manusia itu berkaitan dengan munculnya
keraguan pada ajaran agama. Dengan dorongan Curiosity, maka remaja akan
terdorong untuk mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu
terdapat perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang
telah dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.
4)
Kebiasaan
Remaja yang
sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu untuk
menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya.
5)
Pendidikan
Kondisi ini
terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis
terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat
dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama
yang dianutnya secara lebih rasional.
6)
Percampuran Antara Agama dengan Mistik
Dalam kenyataan
yang ada ditengah-tengah masyarakat, kadang-kadang tanpa disadari ada tindak
keagamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan.
Penyatuan unsur ini menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara
unsur agama dengan mistik. Penyebab keraguan remaja dalam bidang agama yang
dikemukakan oleh Starbuck diatas, adalah penyebab keraguan yang bersifat umum
bukan yang bersifat individual.
Keraguan remaja pada agama bisa juga terjadi
secara individual. Keraguan yang bersifat individual ini disebabkan oleh:
1)
Kepercayaan, Yaitu: Keraguan yang
menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya. Keraguan seperti berpeluang
pada remaja agama Kristen, yaitu: tentang ke-Tuhanan yang Trinitas.
2)
Tempat Suci. Yaitu: keraguan yang menyangkut
masalah pemuliaan dan pengaguman tempat-tempat suci.
3)
Alat Perlengkapan Agama. Misalnya: Fungsi salib
pada ajaran agama kristen
4)
Fungsi dan Tugas dalam Lembaga Keagamaan’. Misalnya:
Fungsi pendeta sebagai penghapus dosa
5)
Pemuka agama, biarawan dan biarawati
6)
Perbedaan aliran dalam keagamaan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Perilaku prososial anak dibentuk karena adanya pengaruh dari orang
tua yang memberikan contoh prososial kepada anaknya. Anak-anak akan lebih mudah
mempelajari suatu hal apabila diberikan pembelajaran langsung. Karena pengaruh
ornag tuanya tersebut, akhirnya perilaku antisosial anak dapat diubah menjadi
perilaku prososial.
Masa
peralihan anak-anak banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan
karena remaja bukan kanak-kanak lagi tetapi juga belum dewasa dan remaja ingin
diperlakukan sebagai orang dewasa, sedangkan lingkungan menganggap bahwa remaja
belum waktunya untuk diperlakukan sebagai orang dewasa.
Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan
berawal dari ilmu yang merupakan hasil karya
perseorangan, dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penerapan Hubungan Moral dengan Ilmu
Pengetahuan dimulai dari manusia sebagai manipulator dan articulator
dalam mengambil manfaat ilmu pengetahuan. Konsep spiritual mengacu pada konsep
diri seseorang akan ketuhanan, sedangkan religius merupakan konsep seseorang
akan agamanya.
3.2
Saran
Perilaku prososial harus lebih digiatkan lagi untuk mengajari anak
berperilaku yang baik, bukan berlaku antisosial. Sedang hal tersebut berawal
dari peran orang tua dalam membari pelajaran yang baik terhadap anaknya.
Masa ketika anak mengalami masa transisi sebaiknya, lebih diberi
perhtian agar pertumbuhan anak tidak mengacu kepada hal-hal yang negatif.
Dikarenakan masa-masa tersebut hubungan interpersoanal anak akan lebih berperan
dan hal tersebut membutuhkan pengertian yang lebih. Hal lain menamankan moral
dan spiritual dalam kehidupan seoranga anak akan membantu kehidupannyayang
berhubungan dengan orang lain, dan juga dengan agamanya.
Daftar
Rujukan
kerguan-dan-konflik-dalam-bergama.html
motivasi-bergama-pada-remaja.html