PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS
TUGAS
TERSTRUKTUR KELOMPOK
UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATAKULIAH
Sosiologi
Pendidikan
yang dibinaoleh
bapak Dr. Sukamto, M.Pd., M.Si.
Oleh
kelompok 3
Diah Ayu Kusuma Ratri (120741404165)
Finda Eka Yulviana (120741421179)
Haikal Jadid (120741421209)
Nadiyya Qurrotu Aini Zummi (120741421230)
Shofi Maulina Haji (120741404088)
Yonita Yuli Amanda (120741421177)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
Februari 2014
I.
PENDAHULUAN
Sejarah sosiologi pendidikan tidak terlepas dari
situasi sosiologi dari zaman ke zaman. Adalah August Comte yang dianggap
sebagai bapak sosiologi yang telah menanamkan dasar-dasar sosiologi yang sangat
kuat. Beberapa buku tentang sosiologi telah ditulisnya, dan yang termasyur
adalah buku Positive Psychologi. Dalam beberapa bukunya Auguste Comte telah
menulis tentang pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat.
Selanjutnya, sosiologi berhasil mencuri hati para ilmuan, diantaranya. Herbert
Spencer dari inggris yang telah banyak menulis buku, diantaranya Principle of
Sosilogy. Setengah abad kemudian, sosilogi berkembang dengan cepat dalam abad
20, terutama di Perancis, Jerman dan Amerika.
Perkembangan
sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan dimulai sejak awal abad ke 20
yang merupakan bagian dari sosiologi. Tetapi sebenarnya sosiologi pendidikan
lahir bersamaan munculnya persoalan-persoalan pendidikan yang tidak teratasi
dan kemudian pendidikan tersebut diatasi dengan menggunakan pendekatan
sosiologis.
Pada bagian ini pembaca diajak memahami
perspektif kontruksionisme, nantinya pembaca dapat membedakan fokus kajian
perspektif, yaitu perspektif struktural fungsional dan konflik yang menekankan
faktor stuktural.
II. PEMBAHASAN
2.1 AKAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN PERSPEKTIFKONSTRUKSIONIS
Pendidikan
dikembangkan berdasarkan perspektif konstruksionis tidak lepas dari pemikiran
sosiologi oleh teoritisi Jerman terakhir abad 19 dan awal abad 20, terutama
dari karya Simmel dan Webber. Perspektif ini beranggapan bahwa perilaku manusia
secara fundamental berbeda dengan perilaku objek malam. Manusia bertindak
sebagai agen realitas kehidupan sosial. Oleh karena itu tugas sosialogi adalah
memahami cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadar realitas. Makna
itu adalah makna partisipasi yakni agen yang melakukan konstruk melalui satu
proses dalam kehidupan dimana ia hidup.
Mahasiswa
yang mempelajari sosiologi pendidikan, harus mempelajari pemikiran sosilog
America, seperti Simmel, yang berpengaruh pada awal abad 20 dan juga George
Harbed Mead dari Universitas Chicago. Mereka mempelopori tradisi
konstruksionisme ini. Intraksionisme simbolik, sebuah pendekatan yang
memanfaatkan jasa psikologi sosial. Kominikasi merupakan medium yang dipakai
masyarakat untuk memahani aktor. Aktor memahami realitas melaui simbol-simbol
yang mereka gunakan dalam berinteraksi. Bahasa adalah simbol yang paling banyak
dipakai dalam interaksi individu dengan individu lain.
Di
Eropa tradisi konstriksionisme ini memunculkan sosiologi fenomenologis. Di
pengaruhi oleh karya Webber melalui Alfred Schutz. Schutz membaca karya webber dari sudut pandang
filsafat Eropa, yang dikenal dengan filsafat fenomenologi. Sosiologi fenomenologi
memfokuskan kajiannya kepada cara-cara yang dilakukan aktor dalam memahami dan
menafsirkan dunia sosial dengan memperhatikan penyerapan data ke dalam
tipifikasi atau penggambaran secara mental. Schutz membahas individu melakukan
tipifikasi secara intersubyektif.
Sementara
itu tradisi konstruksionis berakar dani fenomenologi Amerika yang tumbuh
berkembang tahun1970an dalam bentuk tradisi perspektif etnometodelogi yang
beranggapan bahwa penggambaran dunia sosial secara ilmiah. Cara melakukan
penggambaran diakukan sesuai yang dilakukan aktor.
Argumen lain mereka yang ingin
keluar dari motive, tradisi konstruksionis ini memicu munculnya
teoristrukturasi sosiologi dari Inggris.
Teori
strukturasi memperlihatkan dalam kehidupan sosial terdapat hubungan pemahaman
atau penafsiran dengan munculnya sistem sosial yang berkembang di luar individu
skala yang luas. Menurut Giddens sesuatau yang ada diluar konsekuensi cara
aktor tindakan yang mereka lakukan. Setiap tindakan individu tersebut adalah
mewujudkan tujuan keinginan personal. Pandangan konstruksionis yang dipelopori
Weber, Husserl, Mead, Schutz. Sosiologi pendidikan mendasarkan pada
konstruktivisme memfokuskan ‘pemahaman
siswa’. Pendidikan dimulai dari pemahaman siswa. Kalau ingin memahami
siswa dapat memonitor.
Tugas
praktisi pendidikan adalah memahami faktor-faktor instriksik ada dalam diri
siswa. Pendidikan harus dimulai self concept siswa. Menciptakan situasi
pembelajaran yang menarik dan kondusif, bukan semata tugas guru, pada paradigma
behavioristik menciptakan lingkungan yang kondusif adalah tugas guru. Jika perspektiof
behavioristik guru harus bisa menciptakan alat reinforcement yang bagus, dalam
paradigma konstruktivistik, siswa dinilai memiliki potensi intrinsik dalam
menciptakan lingkungan belajara yang kondusif.
Dalam
pendidikan konstruktivistik, pembelajaran sebagai proses yang dikendalikan
sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan oleh siswa dilakukan
ditemapat mana siswa sebagai partisipasi. Perspektif ini menekankan proses
kolaboratif. Siswa diberi fasilitas untuk berinteraksi dengan lingkunagnnya
disertai dengan proses refleksi diri. Pendidikan konstruktivistik menegaskan
bahwa sumber belajar buakn hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari kawan
sepergaulan orang-orang di sekitarnya.
Paradigma
konstruktivistik mengembangkan inisiatif dan kreatifitas. Paradigma
behavioristik, memberikan kesempatan sedikit saja bagi inisiatif dan munculnya
kreatifitas secara individu. Inisiative dan kreatifitas siswa dalam paradigma
paradigma behavioristik dikunci oleh program pembelajaran yang terkontrol
secara ketat.
Pendidikan
konstruktivistik siswa belajar dengan mengembangkan struktur kognitifnya,
mengembangkan skema-skema berfikir, terutama menggunakan informasi dan
penegtahuan baru untuk meraih kemajuan. Siswa belajar berinteraksi dengan
lingkungannya. Paradigma behavioristik, fokus pembelajaran terletak pada guru
dan materi pembelajaran menjadikan siswa cenderung pasif. Paradigma
konstruktifisik siswa memperoleh kesempatan mengembangkan pemahaman atau
konstruknya subjek pembelajaran yang sedang dihadapi.
Dengan
demikian paradikma konstruktifisik menjadikan siswa aktif dan menentukan apa
yang harus difikirkan dan dipelajari. Fokusnya diarahkan bagaimana siswa
mengkontruk makna tentang kehidupan dan dunianya. Mereka adalah
individu-individu yang aktif membentuk makna yang dijadikan dasar mencipta
struktur tentang dunianya, lahirlah konsep prinsip-prinsip dan model atau skema mental siswa. Ilmu
pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya sebagai sesuatu yang penting. Ia
menentukan kemampuan mereka dalam mempelajari bahan-bahan pembelajaran baru.
Paradigma kontruktivisik menekankan pada understending menghapus
missunderstending. Proses strategi yang dilakukan dimulai dari cara pikir
deduktif dan digabungkan dengan pemikiran induktif. Dengan demikian siswa
mengetahui prinsip-prinsip mendasari fakta data lapangan yang dijumpai. Fakta
diolah melalui proses induktif.
Dalam
pmikiran kontruktifisme muncul dua aliran yaitu (1) kontruktifisme psikologis,
dan (2) konstruktivisme sosial. Dalam kontruktivisme psikologis, pendidikan
difokuskan kepada siswa sebagai individu dan bagaimana mereka mengkontruk
lingkungan itu sendiri. Sementara dalam kontruktivisme sosial difokuskan peran
aktor sosial dan budaya dalam pengembangan. Vygotsky menolak anggapan yang
menyatakan bahwa fokus dan fokus pengetahuan ada pada individu, sedangkan locus
dan fokus terletak pada interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci
dalam proes pembelajaran. Oleh karena itu perspektif ini menganjurkan
penggunaan secara lebih kreatif pembelajaran kooperatif.
TOKOH
PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS
1. Max Weber
Sosiologi
pendidikan menggunakan perspektif konstruksionis perlu membaca pemikiran weber
ini. Hal ini terjadi karena Max Waber justru mengambil tempat yang
“bersebrangan” dengan perspektif ini karya-karya Emile Durkheim itu. Dia
merupakan ilmuan yang cukup dikenal dan sangat berpengaruh lahir di jerman 21
april 1864 dari keluarga klas menengah, anak dari seorang pejabat penting yang
menjadi bagian dan menikmati sistem yang mapan.
Ibunya
seorang Calvinst dengan sikap yang asketik. Pada mulanya ia mengikuti gaya
hidup ayahnya, tumbuh antipati gaya hidup ayah sehingga iya memilih gaya hidup
asketik. Dia sempat kuliah di Heidelberg kemudian menyelesaikan doktornya di
Universitas Berlin menjadi seorang lawyer, selanjutnya ia tertarik dibidang
ekonomi,sejarah dan sosiologi. Ia sebagai pendiri sosiologi tahun1905. Tulisan
Wirtschaft und gesellschaft( ekonomi dan masyarakat) webber meninggal tahun
1922.
Dalam
teori sosilogi, ia menjadikan tindakan individu sebagai pusat kajiannya,
bagaimana individu menjalin dan memberi makna terhadap hubungan sosial dimana
individu didalamnya, individu berpengaruh dimasyarakat dengan catatan tindakan
sosial, instrumenal atau berorientasi nilai. Rasionalitas istrumen melibatkan
pertimbangan dan pilihann yang berhubungan dengan tujuan dan alat yang
digunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai pemilik bermacam tujuan
yang diinginkannya dan saling bersaing ini. Individu mencapai tujuan yang
dipilih, hal ini mencangkup informasi yang terdapat dilingkungan. Akhirnya
mencerminkan pertimbangan individu dari sisi efisien dan efektifitas.
Berbeda
dengan rasionalitas instrumental ini lebih menekankan bahwa tidakan
dikendalikanoleh keyakinan pada tuhan. Jadi,alat hanya objek pertimbangan dan
perhitungan yang sadar tujuan dalam hubungan dengan nilai. Nilai-nilai bersifat
nonrasional dalam seseorang tidak dapat memperhitungkan secara objektifmengenai
tujuan yang dipilih.
Dengan
menggunakan pendekatan versthen, Max Weber bahwa pola rasional tidak sekedar
dari individu namun meluas di masyarakat. Individu ini yang riil dan objektif.
Begitu pula struktur merupakan abstraksi spekulatif dilakukan. Namun demikian
yang dapat ditangkap yang bisa ditangkap bahwa individu bergerak bebas dan
mampu menentukan masyarakat dan stukturnya. Birokrasi akan lebih mengedepankan
pada masyarakat yang mengunggulkan rasionalis instrumental, yaitu masyarakat
individu lebih melihat mean-end sebagai pertimbangannya. Penganut pemikiran
semacam ini disebut weberian atau menurut Rister (1988) dikenal dengan paradigma Definisi Sosial.
a.
Max Weber
tentang kapitalisme
Sebagaimana
Marx, Weber juga memiliki pemikiran yang cukup menggemparkan tentang
kapitalisme. Pemikiran Weber tidaklah jauh berbeda dengan Marx terutama dalam
melihat ciri-ciri yang menandai kapitalisme modern. Namun secara keseluruhan
dan tesis-tesis utama Weber tentang kapitalisme berbeda dengan Marx. Pemikiran
Weber tentang kapitalisme tersebut dituangkan di dalam karyanya The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), yang menegaskan bahwa
kapitalisme bukan produk dari faktor ekonomi tetapi juga produk dan faktor di
luar ekonomi. Berbeda dengan determinisme Marx, Weber menyatakan bahwa ada
faktor di luar ekonomi yang juga turut mempengaruhi terbentuknya kapitalisme,
antara lain adalah jenis atau karakteristik pemahaman masyarakat atas agama.
Karakteristik pemahaman agama kalangan Calvinis, dalam hal ini, menurut Weber
melahirkan etika yang tidak dimiliki kelompok agama lain, yang mendorong
tumbuhnya semangat kapitalisme.
Weber merinci
ciri-ciri dari sistem kapitalisme seperti :
1)
Adanya
usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional bedasarkan
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan serta berkembangnya pemilikan/kekayaan
pribadi;
2) Berkembangnya
produksi untuk pasar;
3) Produksi
untuk massa dan melalui massa;
4) Produksi
untuk uang; dan
5)
Adanya
antusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia
kepada panggilan kerja.
Masyarakat
kapitalis, menurut Weber, memandang manusia terutama sebagai pekerja dan tidak
peduli apapun yang menjadi pekerjaan mereka, dan inilah yang disebut dengan vocational
ethics yang merupakan tingkah laku yang menonjol dari spirit kapitalisme.
Mereka yang miskin vocational ethics akan mengalami keruntuhan, sedangkan
mereka yang memiliki vocational ethics itu dengan baik akan berhasil
meningkatkan prestasi hidupnya. Dalam pandangan Weber, kapitalisme merupakan ideal
type dari sistem ekonomi modern.
Berbeda
dengan Marx, Weber melihat kemunculan kapitalisme sebagai sumber dari dan di
dalam agama Protestant, di mana hal itu merupakan wirtschaftsethink.
Spirit kapitalisme (modern) adalah Protatistanisme, yaitu yang merupakan
aturan-aturan agama Protestan tentang watak dan perilaku (rules of conduct)
penganut-penganutnya di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Weber, etika
Protestan mengajarkan bahwa bekerja keras itu merupakan calling atau
panggilan suci bagi kehidupan manusia. Berlaku hemat dengan cara menggunakan
hasil kerjanya tidak untuk bersenang-senang maupun untuk upacara-upacara
keagamaan.
Kapitalisme,
dalam pandangan Weber, adalah sebuah kompleks cita-cita yang merupakan suatu
perubahan dalam tatanan moral yang lama. Karena itu, pertama yang
ditekankan Weber ialah, kapitalisme harus dipandang sebagai “resep” moral, yang
mengikat seluruh anggota masyarakat, untuk memajukan dan mendahulukan
pamri-pamrih material pada individunya. Kedua, kapitalisme harus
dipandang sebagai suatu pendobrakan besar-besaran atas apa yang dapat disebut
sebagai “kesadaran berusaha” atau “nilai-nilai karya” yang tradisional. Menurut
Weber, manusia “pada dasarnya” tidak ingin menumpuk dan terus menumpuk uang,
melainkan sekedar ingin hidup sebagaimana ia terbiasa hidup dan mengumpulkan
uang sebanyak yang dibutuhkan untuk mencapai keinginannya itu.
Dalam
pandangan Weber, pertumbuhan kapitalisme sebagai sistem ekonomi adalah
pertumbuhan kapitalisme sebagai suatu sistem moral. Cuzzort dan King mencoba
meringkas pandangan Weber tentang transisi kapitalis sebagai berikut :
1)
Memperlakukan
motif “serakah” lebih dari sekedar “kegilaan” pribadi – ia harus diangkat
sebagai suatu prinsip moral;
2) Menghilangkan
ketergantungan akan bentuk-bentuk pemenuhan ekonomi yang tradisional dan
menggantinya dengan perhitungansecara rasional dimana di mana semua keuntungan
yang diperoleh dari penanaman atau investasi sejumlah pekerja dan moral.
b.
Max Weber
tentang Stratifikasi Sosial
Seperti
halnya Marx, Weber dalam menjelaskan Strtifikasi sosial juga menggunakan konsep
klas (class). Klas, menurut Weber, adalah golongan orang-orang dalam
kontinum status dan situasi yang sama, yaitu kesempatan untuk memperoleh barang
dan untuk dapat menentukan sendiri keadaan kehidupan ekstern dan nasib pribadi.
Dalam pandangan Weber, klas-klas sosial mencakup semua situasi klas, baik
mobilitas pribadi maupun mobilitas antargenerasi dimungkinkan antarklas itu,
dan hal ini memang bisa terjadi.
Selain
itu, Weber juga menggunakan pengertian klas pluralistis. Dalam konteks ini,
Weber berbicara tentang “situasi golongan status”, artinya diberikannya hak
istimewa positif atau negatif. Satus itu diberkan dalam hubungannya dengan
martabat sosial. Dituntut secara efektif berdasar gaya hidup spesifik,
pendidikan formal atau prestise dan dihubungkan dengan keturunan atau jabatan.
Situasi
golongan status dapat berdasarkan atas situasi klas, kendatipun tidak
semata-mata ditentukan olehnya; hal yang sebaliknya bisa juga terjadi, artinya
status menentukan klas. Suatu golongan status adalah sejumlah manusia yang,
dalam suatu organisasi, secara efektif menuntut suatu penghargaan khusus atau
suatu monopoli status yang khusus. Mereka melakukan atas dasar gaya hidup yang
dikaitkan dengan profesi tertentu, atas dasar keturunan atau dimilikinya
kekuasaan politik atas dasar monopoli status.
c.
Max Weber
tentang Klas dan Kekuasaan
Persaingan
kelompok menurut Weber dipengaruhi oleh kekuasaan. Kekuasaan menentukan satu
kelompok sosial mendominasi kelompok sosial yang lain. Berbeda dengan Marx,
Weber melihat bahwa kekuasaan bukan bersumber semata-mata dari kekuatan
ekonomi, atau hubungan pemilikan secara private
atas alat produksi. Menurutnya, kekuasaan memiliki beberapa dimensi, meliputi
klas, status dan partai.
Kelas
mengacu pada tatanan ekonomi masyarakat yang dalam hal ini “hubungan pasar”
merupakan sesuatu yang paling utama. Hubungan pasar inilah yang berkaitan
dengan pamilikan individual, sehingga betapapun ada perbedaan, namun konsep
Weber cukup berdekatan dengan konsep kelas yang dimaksudkan oleh Marx.
Mengenai
dimensi status yang dibedakan oleh partai dalam kekuasaan dinyatakan Weber,
“status” mengacu pada cara organisasi mesyarakat memunculkan perbedaan karena
prestise atau kehormatan bagi kelompok individu yang berbeda-beda. Kehormatan
atau status sosial bukan hanya diperoleh karena pemilikan kekayaan atau skill
atau sejumlah atribut, melainkan bersumber dari “style of life” – gaya
hidup yang dipakai oleh kelompok dalam masyarakat tertentu. Adapun yang
dimaksud dengan “partai” adalah cara kelompok mengorganisasi diri dalam
mencapai tujuan hidup. Partai-partai saling berupaya meraih posisi, kehormatan
dan control atas tatanan sosial. Jadi, partai bisa dibentuk atas dasar klas
maupun kelompok status atau gabungan di antara keduanya.
Kontrol
atas masyarakat, dilakukan partai bukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan,
melainkan juga untuk mencari keabsahan di mata kelompok yang dikuasai. Dalam
istilah Weber, mereka memerlukan legitimasi atas kekuasaan yang dimilikinya.
Jika legitimasi itu diraih maka mereka berhak mengelola “otoritas” yakni hak
untuk mendominasi dihadapan kelompok yang dikuasai.
Menurut
Weber ada tiga sumber legitimasi dalam kekuasaan yang penting, yaitu kekuasaan
yang bersumber dari tradisi, charisma dan instrument rasional seperti kekuasaan
yang diperoleh berdasarkan aturan legal rasional. Weber menyatakan bahwa legitimasi
itu haruslah dipelihara di mata kelompok yang dikuasai jika ingin kekuasaannya
berjalan efektif.
d.
Kontribusi Weber
terhadap Sosiologi Pendidikan
Meskipun
tidak langsung berbicara mengenai pendidikan, akan tetapi Weber memberi
sumbangan yang cukup berarti terhadap sosiologi pendidikan, terutama dalam
memberi inspirasi untuk melihat pendidikan dari sudut pemahaman dan pemaknaan
individu tentang pendidikan bukan dari aspek struktural, institusi, atau
sistem. Oleh karena itu, Weber mengenalkan juga kajian yang bersifat cross-culture,
dengan membandingkan sejumlah praktek pendidikan di beberapa negara, juga
pendidikan di masa lalu dengan pendidikan di era yang lebih modern.
Teori
yang ditawarkan tentang organisasi birokrasi rasional juga menginspirasi bagaimana
dunia pendidikan mengorganisir diri. Pendidikan di mata Weber memiliki posisi
khusus dalam kaitan dengan birokrasi dan konsep hubungan kelompok status.
Pendidikan di sekolah menurutnya harus mengajarkan “budaya status” tertentu.
Sampai di sini, pemikiran Weber bertemu dengan Marx, oleh karena Marx juga
berfikiran hal yang sama. Weber juga dikenal sebagai pencetus teori konflik,
meski dalam perkembangannya teori konflik Weber tidak mendasarkan pada aspek
ekonomi seperti yang dilakukan oleh Marx dengan dialektika materialistiknya.
Berbeda dengan Marx, Weber memilih jalan keluar yang lebih bersifat kultural
daripada revolusi atau resistensi seperti yang digagas Marx.
Max
Weber (Gerth and Mills, 1946) pernah menulis The Rationalization of
Education and Training, yang di dalamnya mengemukakan bahwa pendidikan yang
rasional melahirkan type “manusia spesialis” (specialist type of man)
berbeda dengan type “manusia terlatih” (cultivated type of man) seperti
yang dilukiskan pada sistem pendidikan di China pada masa awal pertumbuhan
negeri itu. Dalam hal ini Weber memperdebatkan nilai pendidikan yang
berorientasi vocational dengan pendidikan yang menghasilkan manusia
berkualitas dan berkeahlian tinggi.
Di
masyarakat pra industri pendidikan menjadi faktor penting dalam menyiapkan agen
perubahan. Sementara itu di masyarakat industri, pendidikan memperoleh preasure
dari klas menengah yang bekerja keras menghadapi persaingan merebut posisi
dalam sistem ekonomi yang terus berubah. Dengan demikian posisi pendidikan
semakin penting dalam mempersiapkan manusia-manusia yang menginginkan
keberhasilan dalam memasuki persaingan merebutperan-peran menentukan di
masyarakat.
Di
mata Weber ada dua type manusia yang ada di sekolah. Pertama, adalah
mereka yang disebut dengan “insider” yaitu mereka memiliki status budaya
yang diperoleh dari tata nilai dan berbagai proses pengalaman di sekolah itu
sendiri. Kedua, adalah mereka yang disebut dengan “outsider” yakni
mereka yang memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi manusia berhasil di
sekolah.
2. Dari Edmund Husserl, Alfred Schutz, Mead, Cooley
Hingga Goffman
Menurut
Husserl, pengetahuan ilmiah sebenarnya telah terpisahkan dari pengalaman
sehari-hari dari kegiatan-kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar.
Fenomenologi sebagai bentuk idealisme yang bekerja atas dasar kesadaran manusia
dan dasar-dasarnya mengenai kehidupan tentang dunia bertugas untuk memulihkan
hubungan pengalaman dan pengetahuan.
Menurut
Alfred Schutz murid dari Husserl, menjelaskan bahwa manusia membangun dunianya
melalui proses pemaknaan. Proses pemaknaan berawal dari arus pengalaman yang
berkesinambungan dengan panca indera. Pengalaman kemudian diidentifikasi dan
dimaknai, pengalaman tersebut yang awalnya terpisah-pisah kemudian terkolektif
di dalam interaksi antara kesadaran-kesadaran.
Menurut
Schuts cara berpikir Weber sudah benar, namun terdapat beberapa aspek yang
problematik. Pertama, mengenai ide Weber yang menyatakan bahwa makna tindakan
adalah identik dengan motive tindakan. Dalam hal ini semua tindakan memiliki
makna, jadi tidak hanya tindakan yang rasional saja melainkan semua tindakan,
menurutnya tidak ada makna yang bersifat aktual dalam kehidupan.
Pemikiran
diatas kemudian memunculkan tradisi Interaksionisme Simbolik yang dipelopori
oleh Herbert Blumer (1969:2), dengan tumpuan pada tiga premis utama, yaitu:
1) Manusia
bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang ada pada sesuatu itu bagi
mereka.
2) Makna
tersebut berasal dan hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain.
3) Makna-makna
tersebut disempurnakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat
proses interaksi sosial berlangsung.
Implikasi
dari ketiga premis, bahwasannya tindakan manusia bukan disebabkan oleh
“kekuatan luar maupun dalam”, melainkan setiap individu senantiasa dalam keadaan
obyek-obyek yang berbeda, memberi arti, menyesuaikan dan mengambil keputusan.
Manusia selalu dalam posisi sadar, bertindak reflektif, menghadapi obyek-obyek
yang diketahuinya dan memberi makna simbol-simbol tertentu. Proses demikian
oleh Blumer disebut dengan self-indication.
Sosiologi
pendidikan yang mengikuti perspektif ini menyarankan kepada para pendidik untuk
memahami bahwa siswa bukan sosok individu yang pasive, melainkan selalu
melakukan refleksi dan self-indication terhadap realitas disekitarnya. Mereka
memahami dan menginternalisasi berdasarkan pengalaman, pengharapan, sentimen
dan rasionalitas mereka. Berdasarkan pemikiran Mead dan Cooley bahwa individu
memiliki pengalaman budaya yang mereka gunakan untuk menafsirkan dan
mendefinisikan berbagai situasi sosial.
Menurut
pemikiran perspektif interaksionis simbolik seorang sosiolog pendidikan atau
guru harus mengawasi dan memahami kondisi subyektif masing-masing individu atau
peserta didik, baik ketika seorang individu dalam keadaan baik maupun dalam
keadaan bermasalah. Dikarenakan setiap individu memiliki pengalaman (stream of
experience) dan kondisi yang berbeda. Untuk kenyataan eksternal dilihat sebagai
faktor yang mempengaruhi dan menstimulus seorang individu, dengan individu
memiliki cara untuk memaknainya.
Menurut
Goffman, melihat dan memahami realitas serta fenomena sosial dan ataupun
kependidikan tidak bisa hanya melihat dari level institusi struktural, namun
harus dilihat dari sisi ide, pemikiran dan tindakan atau perilaku masing-masing
individu. Perilaku dan tindakan manusia merupakan sesuatu yang bersifat
kompleks yang lebih menggambarkan hasil manipulasi atau yang lebih dikenal
dengan “teori dramaturgi” sandiwara, dan dalam memahami tindakannya membutuhkan
pengamatan terhadap keseluruhan impresi yang muncul dari tindakan individu
tersebut. Seperti contoh, artis, pesepakbola, politisi, pengusaha, prektisi
pendidikan, staf, kepala sekolah, guru, siswa, dan siapa saja.
Sehingga
individu itu merupakan pemain peran (role player), manipulator dari alat-alat
panggung, pakaian, bahasa tubuh, dan juga kata-kata yang semuanya sudah di
skenario. Bagi Goffman individu yang memiliki kemampuan bersandiwara atau
menampilkan diri melalui tindakan-tindakannya yang penuh dengan alat dan
penanda simbolik merupakan individu yang memiliki kesempatan menjalin
interelasi dengan orang lain (the others).
3. Peter L. Berger Dan Thomas Luckman
Sosiolog pendidikan era 1970-an memperoleh sumbangan dengan
munculnya tradisi baru, tradisi tersebut masuk dalam payung fenomenologis, yang
lebih bersifat sosial. Peter L. Berger dan Thomas Luckman berangkat dari premis
yang menyatakan bahwa manusia mengkonstruk realitas sosial meskipun melalui
proses subyektif namun dapat berusaha menjadi obyektif. Menurut mereka,
masyarakat termasuk didalamnya dunia pendidikan harus bisa dihadapi agar tidak
menjadi constraining dan
penekan kebebasan.
Oleh karena itu didalam institusi pendidikan masyarakat
jangan hanya dijadikan sebagai unsur dan bagian “internal” subyektivitas kita,
tetapi juga tempatkan sebagai bagian atau unsur “eksternal”
kepribadian atau subyektivitas kita. Bukan hanya masyarakat ada dan menekan
serta menjadi constrain dalam diri kita, namun diri kita
harus ada dan membentuk masyarakat. Sosiologi pendidikan dengan demikian hendaknya
memfokuskan hubungan intersubyektif masing-masing individu dengan dunia
pendidikan atau sekolah di mana mereka mengikuti proses pembelajaran.
4. Anthony Giddens
Anthony
Giddens adalah seorang professor sosiologi di Universitas Cambridge. Lahir di Landon
Utara, yang di kenal sebagai pencetus teori strukturasi. Yaitu proses dimana
struktur dibentuk melalui tindakan dan tindakan dibentuk oleh struktur. Dengan
membangun tradisi strukturasi, ia mengatakan bahwa domain study sosiologi bukan
hanya aktor individual, dan atau sebaliknya, struktur masyarakat sebagai
totalitas, melainkan praktek penataan kehidupan sosial yang berlangsung
sepanjang ruang dan waktu (time and space).
Aktor
mereproduksi apa yang terjadi berulang-ulang di masyarakat. Sementara itu beda
dengan aktor, bagi seorang agen, mereka mereproduksi dan memproduksi prakondisi
sehingga memungkinkan aktivitas mereka tersebut dapat dijalankan. Dalam
melakukan aktivitas itu manusia selalu melakukan konseptualisasi dengan
pengetahuan yang dimilikinya. Konsep pengetahuan manusia (human knowledge-ability) seperti inilah yang dijadikan landasan
dalam sosiologi interpretative Giddens.
a. Proses
Produksi dan Reproduksi Sosial
Memberikan
perhatian kepada makna-makna dari kondisi material yang muncul dalam kehidupan
sosial; lebih memperhatikan motive maupun berbagai aksan dan bukan akibat
tindakan, sedangkan pembagian kekuasaan dan perbedaan kepentingan
dianjurkan untuk diabaikan.
Seperti
yang dikutip waters, Giddens menyusun Sembilan ketentuan dalam metodelogi
sosiologi yang terbagi dalam empat kategori sebagai berikut:
1. Subyek
analisis Sosiologi
Masyarakat
bukan merupakan realitas obyektif yang telah jadi, tetapi diciptakan oleh
tindakan-tindakan anggota-anggotanya.
2. Keterbatasan
manusia agency
Struktur
memiliki kapasitas ganda (dual capacity), dalam hal ini bisa menjadi kendala
(constraining), tetapi juga bisa memberi peluang (enabling) bagi manusia agency. Setiap tindakan manusia atau struktur mengandung tiga aspek, yaitu:
makna, norma, dan kekuasaan.
3.
Metodelogi
Sosiologi
Sosiologi
tidak mungkin menghindari pengalaman mereka sendiri sebagai basis memahami
kehidupan sosial, bahkan hal ini harus dipegangi secara konsisten. Sosiologi
harus melibatakan diri (immerse) ke dalam situasi yang menjadi subyek
analisisnya.
4. Konsep
Formasi Sosiologis
Konsep
formasi mencakup penafsiran ganda (double hermeneutic) penafsiran subyektif
dengan memahami ranah internal individu dan obyektif dengan memahami ranah
kehidupan eksternal.
Tugas
utama sosiologi adalah melakukan rediskripsi terhadap setting sosial dengan
meta-bahasa (metalanguage) dan selalu bisa dikonfirmasi terhadap prinsip bahwa
masyarakat merupakan manusia agency manusia yang tidak hanya mereproduksi
kehidupan eksternalnya tetapi juga memiliki kemampuan memproduksi praktik
kehidupan eksternal itu sendiri.
Giddens
mengembangkan karakter tindakan refleksif (reflexive action) dan knowledgeability seorang agen. Untuk
terjun dalam praktek sosial, seorang aktor harus mengetahui cara berpartisipasi
sesuai konteks dan cara mengikuti suatu peraturan. Partisipasi aktor dalam kehidupan
praktis berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana mengikuti aturan ini di sebut
Giddens dengan sifat kehidupan sosial recursive. Giddens dalam hal ini menyatakan bahwa
pengetahuan manusia harus disentuh dengan pendekatan double hermeneutic. Artinya, mereka harus berusaha mencari makna
dari berbagai peristiwa yang sebenarnya sudah di bentuk oleh masing-masing
partisipan.
Melalui teori strukturasi (structuration
theory), Giddens mengakui ada proses dinamis secara berkelanjutan dari dan
dalam suatu struktur. Struktur sosial merupakan suatu medium dan sekaligus juga
hasil (outcome) dan itulah sesungguhnya yang dimaksud dengan duality of structure, sebuah kata kunci
atau konsep sentral dari teori strukturasi yang dikembangkan Giddens. Selanjutnya, Giddens memandang suatu
masyarakat pada dasarnya secara terus-menerus diproduksi oleh orang-orang yang
berinteraksi dalam masyarakat itu sendiri. Suatu struktur sosial mengkonstitusi
atau memproduksi tindakan, namun pada saat yang sama ia juga dikonstitusi atau
di produksi oleh tindakan.
Teori Giddens ini sampai tingkat
tertentu agaknya mulai menemukan relevansinya dalam kenyataan masyarakat,
termasuk di Indonesia. Jadi gagasan
Anthony Giddens melihat bahwa hubungan antara individu dan struktur bukanlah
terpisah dalam 2 (dua) kutub yang saling berlawanan (dualism). Giddens (1979)
menggunakan dua istilah untuk individu, sebagai aktor dan kedua sebagai agen.
Sebagaiman aktor, sebagaimana istilah yang didapat dalam teori-teori sosiologi
mikro , mereka hanya mampu mereproduksi nilai-nilai yang gerasal dari struktur,
tetapi sebagai agen, mereka mampu memproduksi tindakan-tindakan yang tidak
salah; berasal dari nilai-nilai tersebut.
Di
dalam proses ini kesadaran individu bisa
berada dalam taraf tertinggi yakni taraf diskurtif (discursive consciousness)
yakni taraf rasionalisasi tindakan yang tidak hanya ia simpan dalam
pikiran tetapi juga bisa ia kemukakan
dengan bahasa, tetapi aktor bisa saja memahami makna tetapi hanya disimpan
diam-diam dalam pikirannya, yang walaupun
diam-diam ia melakukan tindakan
dan inilah yang disebut Giddens dengan kesadaran praktis (practical
consciousness) yakni bagaiman bertindak dalam kehidupan sosial ini tidak
terucapkan. Kemungkinan ketiga, aktor akan berada dalam level ketidaksadaran
akan motive dan kognisinya.
b. Sumbangan
dan Kelemahan Teori Strukturasi
Teori
Giddens mempunyai andil tersendiri dalam mengatasi kelemahan teori-teori
terdahulu dengan membangun sikap kritisisme, Giddens juga berjasa dalam
menempatkan prespektif agency sehingga
menjadi bagian dari tradisi sosiologi kontemporer, karena dinilai banyak
ilmuwan, Giddens paling berhasil dalam membuat formulasi diantara para penganut
teori agency. Argumentasi Giddens
mengandung beberapa titik lemah, antara lain rekontruksi dan usaha-usaha
melakukan sintesanya tidak berhasil keluar dari konservatisme. Hubungan dualitas yang ia tawarkan tidak
berhasil memecahkan persoalan.
Rekontruksi
dan sintesanya mengandung bias, karena ia lalu hanya cenderung membongkar
struktur logika berbagai prespektif teoritik. Sebagai metedologi, teori
strukturasi lemah dalam membangun subtansi konsep, dan hasil dari sintesa yang
ia lakukan secara eklektik menimbulkan kesan sebagai parasit dari pemikir-pemikir lain, sekaligus hal ini mengurangi orisinalitas pemikirannya.
Lebih jauh, ketika dihadapkan kepada kondisi manusia dewasa ini, strukturasi
tidak banyak bicara. Demikian strukturasi Giddens tidak bisa berbicara untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan politik dan etik. Namun demikian, setidak-tidaknya
Giddens bisa dinilai telah menyumbang catatan yang baik mengenai kecenderungan
pemikiran abad 20.
5. Piere Bourdieu
Salah
satu kajian dari Piere Bourdieu berkaitan dengan struktur dan modal sosial yang
kemudian memasuki persoalan reproduksi sosial. Disamping itu, Bourdieu lebih
fokus pada dikotomi antara realitas objective
dengan subjective, yang kemudian
dibawa memasuki kajian dikotomi antara struktur dan agency. Kajian itu dia bangun berdasarkan kerangka teoritik
disekitar konsep tentang habitus, field, dan modal budaya. Habitus yang bermuatan pengalaman masa
lalu, disimpan dalam bentuk persepsi, pemikiran, dan tindakan. Habitus digunakan untuk membangun
persepsi, pemikiran, dan tindakan saat ini atau di ruang waktu tertentu. Jika habitus sudah diwujudkan menjadi
persepsi, pemikiran, dan tindakan nyata, maka ia menjadi obyektif, dan ini
disebut dengan lapangan (field)
–yaitu sitem struktur dari relasi sosial antara ranah mikro (subyektif) dengan
makro (obyektif) yang wujudnya bisa menjadi seni, hukum, industry, ekonomi dll.
Habitus
muncul dalam beberapa bentuk seperti:
a) Kecenderungan
empiris untuk bertindak, misalnya dalam memilih gaya hidup
b) Motivasi
atau preferensi, citarasa dan emosi
c) Perilaku
yang menjelma menjadi kepribadian
d) Tantangan
dunia
e) Ketrampilan
dan kemampuan sosial praktis, dan
f) Aspirasi
yang berkaitan dengan perubahan hidup.
Konsep tentang habitus,
field, dan modal budaya dikembangkan
berdasarkan asumsi bahwa struktur obyektif menentukan probabilitas peluang
hidup seseorang, melalui mekanisme habitus,
yang dalam hal ini individu menginternalisasi struktur di sekitarnya. Namun habitus juga dibentuk oleh posisi
individu di beberapa bidang (field),
keluarga mereka, dan juga pengalaman hidup sehari-hari.
Bourdieu menggunakan konsep modal budaya dalam
rangka mengeksplorasi perbedaan outcome
atau prestasi siswa dari berbagai kelas yang berbeda dalam sistem pendidikan di
Perancis. Dia mengeksplorasi ketegangan antara reproduksi konservatif yang inferior dengan produksi innovative yang superior. Bourdieu melihat ketegangan hubungan antara formasi
budaya masa lalu dan masa sekarang. Semua itu dikembangkan dan direproduksi di
sekolah yang menumbuhkan hubungan spesifik. Seperti yang dijelaskan oleh Harker
(1980:87), budaya kelompok dominan yang ditanamkan di sekolah, kemudian di sini
awal dimulainya proses reproduksi sosial yang ditandai dengan peminggiran
budaya kelompok lemah.
Menurut Bourdieu seperti dikutip Swartz (2000:209)
modal budaya kelompok dominan, pada tataran praktis dan dalam relasinya dengan
budaya diasumsikan menjadi type modal
budaya yang dianggap paling tepat. Modal budaya kelompok dominan inilah yang
dinilai legitimate. Keadaan seperti
ini mendorong terjadinya uniformitas dikalangan semua siswa.
Memang, dengan konsep modal budaya semacam ini
memungkinkan siswa memperoleh modal budaya pendidikan yang lebih baik. Tetapi,
jika tidak memiliki modal budaya yang dominan, akan menjadi pihak yang tidak
diuntungkan. Untuk mengatasinya, cara yang mereka lakukan adalah dengan
mempertukarkan modal budaya yang ia miliki. Menurut Gorder (1980:226) proses
pertukaran itu tidak terjadi secara langsung, melainkan tergantung pada pola
hubungan kekuasaan, dan juga semangat atau etos dari siswa yang berasal dari
kelas bawah.
Dengan mode reproduksi sosial di sekolah seperti
yang dijelaskan sebelumnya, maka siswa sekolah bukan hanya mengalami kesulitan
dalam mencapai keberhasilan. Lebih dari itu, siswa harus berbuat sesuatu yang
pada hakikatnya adalah melawan instink dan harapan-harapan subyektif mereka
sendiri. Mayoritas siswa yang berhasil di sekolah mereka harus
menginterbalisasi nilai-nilai klas dominan dan mengambilnya menjadi miliknya,
dan menghancurkan habitus dan tata
nilai yang asli yang mereka miliki sebelumnya.
1.
Dimulai
Dari Makna dan Self-Concept
Konstruk
atau cara individu mempersepsikan, memaknai dan mendefinisikan kehidupan
sehari-hari itulah yang akan menentukan format kehidupan nyata. Oleh karena
itu, perspektif konstruksionis ini diklasifikasi dalam paradigma definisi
sosial, bukan paradigma fakta sosial atau perilaku sosial.
Menurut
sosiolog pendidikan yang menganut perspektif konstruksionis, proses pendidikan
hanya akan dapat difahami dengan cara menelusuri dunia subyektif, dunia makna,
dan self concept individu yang berada
dalam dunia pendidikan itu sendiri. Bagaimana individu yang bergerak dalam
dunia pendidikan itu memahami, mengkonstruk, memaknai, dan mengkonsepsi
realitas di sekitarnya itulah yang harus dikaji, dan bukan faktor struktural
yang berada di luar individu.
Perbedaan
konstruk, self concept, dan pemaknaan
dapat dilihat dari latar belakang individu. Perbedaan latar belakang menentukan
cara mereka mengkonstruk, mengkonsep, dan memaknai pendidikan itu sendiri.
Pemaknaan itu ditentukan oleh pengalaman-pengalaman subyektif masing-masing
siswa yang berkaitan erat dengan latar belakang gender, etnis, sosial ekonomi, dan agama.
Dalam
kehidupan masyarakat ada banyak faktor seperti institusi sosial, ekonomi,
politik, budaya dan juga agama yang mempengaruhi pendidikan. Namun semua itu
akan sangat tergantung bagaimana individu mengkonstruk, mengkonsepsikan, dan
memaknainya. Dalam teori interaksi simbolik, konstruk, konsepsi dan pemaknaan
itu dilakukan dalam proses interaksi sosial. Cara mereka memaknai dunia di
sekitarnya, dilakukan sejalan dengan interaksi yang mereka lakukan dengan aktor
pendidikan yang lain. Makna yang mereka berikan bisa berubah dalam proses
interaksi itu.
Dengan
demikian, pembelajaran menurut sosiolog pendidikan yang mengambil perspektif
konstruksionis harus dilakukan berdasarkan self-concept,
atau pemaknaan yang diberikan oleh masing-masing aktor yang ada di dalam proses
pendidikan itu. Self concept mereka
itu berakar pada sub kultur, bangunan pengalaman, model pengetahuan,
pengharapan, bayangan-bayangan, dan konsep-konsep ideal yang mereka miliki.
Tugas sosiolog pendidikanlah untuk memahami dan menelusuri hal-hal tersebut.
Semua itu dapat diperoleh jika sosiolog pendidikan mampu menelusuri apa yang
ada di balik kesadaran individu, bukan mencari di dalam struktur eksternal.
2.
Dibangun
Melalui Hubungan Intersubyektif
Dalam
perspektif konstruktivisme, pengetahuan siswa adalah produk interaksi mereka
dengan dunianya. Salah satunya adalah hasil interaksi dengan guru. Dalam
menjalankan interaksinya, guru selalu berangkat dari cara mereka melabeli
siswanya. Label itu diberikan berdasarkan pemaknaannya terhadap perilaku dan
sifat-sifat siswanya. Dengan label itu guru menentukan tindakan tertentu dalam
proses pembelajaran.
Namun
harus dicatat bahwa, tindakan guru dan siswa selalu bersifat intersubyektif.
Artinya, guru maupun siswa, masing-masing saling memonitor cara-cara
masing-masing mempersepsikan situasi di ruang dan waktu mana interaksi mereka
lakukan. Dalam proses interaksi itulah masing-masing mendefinisikan dunianya,
hasil dari definisinya itu lalu masing-masing menentukan tindakannya.
Menurut
Giddens, tahap individu dalam berinteraksi dengan gurunya yaitu: self monitoring terhadap dunianya >
rasionalisasi > penafsiran terhadap dunia sekeliling, dan ini yang menjadi
dasar tindakan yang akan dilakukan.
Menurut
Vygotsky, masyarakat dianggap sebagai sebuah realitas hasil negosiasi dan
definisi para aktor yang ada di dalamnya. Disamping itu, pendidikan lalu
dikonsep sebagai pendefinisian realitas. Dengan demikian proses pembelajaran di
sekolah harus dijaga di dalamnya kelangsungan interaksi siswa dengan guru, peer group, dan orang lain di
lingkungannya, karena interaksi merupakan inti proses pendidikan.
Dalam
menyusun strategi pendidikan, perspektif ini menganjurkan untuk menghindari
bias dalam interaksi di klas. Dengan kata lain, kesamaan hak memperoleh peluang
dan perlakuan dalam klas menjadi fokus dalam hal ini. Pada tataran perencanaan,
perspektif ini menganjurkan agar dilakukan pelatihan guru, fokuskan terhadap
identitas diri siswa yang positif dan kepercayaan diri, menghapus labeling, dan
skema transformasi berdasar pengalaman siswa.
Pendekatan
konstruktivist mengimplikasikan pilihan strategi pengelolaan kelas yang
spesifik. Pertama, pembelajaran harus diarahkan kepada pengalaman dan aktifitas
yang berpusat pada siswa. Dalam hal ini, pengelolaan kelas dilakukan dengan
menerapkan pendekatan Discovery learning.
Pendekatan konstruktivistik lebih banyak mendorong guru memberi kesempatan
siswa belajar dan melakukan aktifitas bersama. Oleh karena itu, pendekatan
pembelajaran cooperative learning,
collaborative learning dan peer-assisted learning merupakan
pendekatan yang dianjurkan. Dalam
konteks ini, tugas guru adalah menyiapkan pedoman kelompok yang fair. Lakukan
negosiasi kegiatan yang akan dilakukan, dan beri kesempatan siswa ikut menilai kegiatan
pembelajaran mereka.
Pendekatan
konstruktivistik sangat peduli dalam menghantarkan siswa yang baru memulai
belajar untuk menguasai tujuan pembelajaran, serta mendorong siswa agar dapat
belajar secara mandiri. Pendekatan reciprocal
learning juga dianjurkan digunakan dengan mengkombinasikan pembelajaran
kolaboratif dengan petunjuk guru dan model belajar secara otonom. Oleh karena
itu, dorong interaksi positif antara guru dan siswa dalam satu hubungan
partnership yang baik. Luangkan waktu dialog, mendengar dan memberi respon
kepada siswa.
III.
PENUTUP
Sosilogi pendidikan merupakan pengembangan dari dua
disiplin ilmu yang sudah mapan, bahkan sangat berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat modern, yaitu sosilogi dan pedagogik. Kemudian Teori
strukturasi memperlihatkan dalam pendidikan,
kehidupan
sosial terdapat hubungan pemahaman atau penafsiran dengan munculnya sistem
sosial yang berkembang di luar individu skala yang luas.
Dalam
pendidikan konstruktivistik, pembelajaran sebagai proses yang dikendalikan
sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan oleh siswa dilakukan
ditemapat mana siswa sebagai partisipasi.Paradigma konstruktivistik
mengembangkan inisiatif dan kreatifitas. Paradigma behavioristik, memberikan
kesempatan sedikit saja bagi inisiatif dan munculnya kreatifitas secara
individu. Inisiative dan kreatifitas siswa dalam paradigma paradigma
behavioristik dikunci oleh program pembelajaran yang terkontrol secara ketat.
Dengan demikian paradikma konstruktifisik menjadikan siswa aktif dan menentukan
apa yang harus difikirkan dan dipelajari.
DAFTAR
PUSTAKA
Maliki.Zainuddin.2008.Sosiologi Pendidikan.Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Tulisannya kerennnn.. bisa nambah wawasan nihh :D
BalasHapusterimakasih, semoga bermanfaat :D
Hapus