KURIKULUM, SISTEM EVALUASI, DAN
TENAGA PENDIDIKAN SEBAGAI UNSUR STRATEGIS DALAM PENYELENGGARAAN SISTEM PENGAJARAN NASIONAL
Prof.
Dr. H. Soedijarto, MA.
TUGAS
TERSTRUKTUR KELOMPOK
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Assesment Pembelajaran IPS
yang dibinaoleh bapak Drs. Timotius Suwarna, M.Pd.
Oleh kelompok 4
Chilma Alawiyah (120741421192)
Desiska Arysanti (120741421228)
Mulyoadi (120741404092)
Nadiyya Qurrotu Aini Zummi (120741421230)
Weni Andriana (120741421217)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Februari 2014
Pendahuluan
Memasuki
tahun 2004, sejak Indonesia merdeka,
kita telah mengenal
berbagai kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum tahun 1950-an, kurikulum
tahun 1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan
kurikulum 1994.
berbagai kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum tahun 1950-an, kurikulum
tahun 1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan
kurikulum 1994.
Perubahan
kurikulum tersebut banyak yang dipengaruhi
oleh perubahan politik. Kurikulum 1964 disusun untuk meniadakan MANIPOL-USDEK,
kurikulum 1975 digunakan untuk memasukkan Pendidikan Moral Pancasila, dan
kurikulum 1984 digunakan untuk memasukkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum 1994, di samping meniadakan mata pelajaran
PSPB juga diperkenalkannya sistem kurikulum SMU yang dimaksudkan untuk
menjadikan pendidikan umum benar- benar sebagai pendidikan persiapan ke
perguruan tinggi.
Dari
serangkaian perubahan kurikulum, yang didasarkan atas hasil penilaian nasional
pendidikan
(national assessment)
hanyalah kurikulum 1975 dan kurikulum PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
(1974-1981)).
Selebihnya merupakan perubahan yang didasarkan atas asumsi teoretik, bukan
atas dasar temuan-temuan hasil evaluasi yang dilakukan secara sistematik.
Selebihnya merupakan perubahan yang didasarkan atas asumsi teoretik, bukan
atas dasar temuan-temuan hasil evaluasi yang dilakukan secara sistematik.
Makna Kurikulum sebagai Unsur yang
Strategis dalam Pendidikan Sekolah
Para
pendiri Republik sadar akan adanya jurang antara
kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat negara kebangsaan yang modern
dan demokratis yang berdasarkan Pancasila dengan kondisi perkembangan
masyarakat Indonesia pada saat proklamasi. Karena itu harapan terbesar dari
suatu masyarakat yang melakukan transformasi budaya adalah menjadikan
sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap
dari warga masyarakat moderen.
kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat negara kebangsaan yang modern
dan demokratis yang berdasarkan Pancasila dengan kondisi perkembangan
masyarakat Indonesia pada saat proklamasi. Karena itu harapan terbesar dari
suatu masyarakat yang melakukan transformasi budaya adalah menjadikan
sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap
dari warga masyarakat moderen.
Dengan
demikian kedudukan kurikulum sangatlah strategis.melalui proses pembelajaran
yang bermakna sebagai proses pembudayaan. Yang akan terjadi secara efisien,
dan efektif melaluisuatu sistem
kurikulum yang dirancang secarasistematik sejak penentuan tujuan yangharus
dicapai, materi yangharus dipelajari, proses pembelajaran yang harus
diterapkan, dansistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan.
Kalau
kita cermati, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-
Undang Pendidikan Nasional, baik UU No. 4 Tahun 1950, UU No. 12 Tahun
1954, atau UU No. 2 Tahun 1989 dan yang terakhir UuNo. 20 Tahun 2003 kesemuanya mencitakan wujud sosok manusia yang ideal.
Undang Pendidikan Nasional, baik UU No. 4 Tahun 1950, UU No. 12 Tahun
1954, atau UU No. 2 Tahun 1989 dan yang terakhir UuNo. 20 Tahun 2003 kesemuanya mencitakan wujud sosok manusia yang ideal.
Ketercapaiannya
tidak mungkin tanpa suatu proses yang
terencana, terprogram, dan terlaksana dengan efisien, efektif, dan relevan.
Tetapi pada umumnya tujuan pendidikan yang demikian ideal selama ini tidak
pernah dengan sungguh-sungguh diterjemahkan secara operasional dan
diupayakan ketercapaiannya. Bahkan banyak sementara orang (termasuk para
pejabat atau pakar) yang memandang hal tersebut tidak mungkin dapat dicapai
oleh sekolah. Mereka ini adalah kaum realis, dalam pengertian kalau
penyelenggaraan pendidikan disekolah dengan kondisi seperti yang berlangsung
sampai dengan hari ini, dalam pengertian rendahnya kesungguhan dan
kemampuan guru, serta terbatasnya, bahkan tanpa fasilitas serta sarana dan
prasarana yang diperlukan, dengan pengertian waktu yang terbatas, dalam
pengertian model pembelajaran yang tidak lebih dari mendengar, mencatat,
dan menghafal dengan evaluasi hanya mengukur kemampuan mengingat apa
yang telah dipelajari dengan keterbatasan buku bacaan baik untuk guru dan
murid. Kalau tetap demikian memang segala tujuan itu tidak akan dapat dicapai.
Kalau demikian sesungguhnya tidak perlu kita mengubah kurikulum bahkan
tidak perlu mengubah UU Sisdiknas, karena semuanya tidak dengan sendirinya
dapat meningkatkan mutu pendidikan.
terencana, terprogram, dan terlaksana dengan efisien, efektif, dan relevan.
Tetapi pada umumnya tujuan pendidikan yang demikian ideal selama ini tidak
pernah dengan sungguh-sungguh diterjemahkan secara operasional dan
diupayakan ketercapaiannya. Bahkan banyak sementara orang (termasuk para
pejabat atau pakar) yang memandang hal tersebut tidak mungkin dapat dicapai
oleh sekolah. Mereka ini adalah kaum realis, dalam pengertian kalau
penyelenggaraan pendidikan disekolah dengan kondisi seperti yang berlangsung
sampai dengan hari ini, dalam pengertian rendahnya kesungguhan dan
kemampuan guru, serta terbatasnya, bahkan tanpa fasilitas serta sarana dan
prasarana yang diperlukan, dengan pengertian waktu yang terbatas, dalam
pengertian model pembelajaran yang tidak lebih dari mendengar, mencatat,
dan menghafal dengan evaluasi hanya mengukur kemampuan mengingat apa
yang telah dipelajari dengan keterbatasan buku bacaan baik untuk guru dan
murid. Kalau tetap demikian memang segala tujuan itu tidak akan dapat dicapai.
Kalau demikian sesungguhnya tidak perlu kita mengubah kurikulum bahkan
tidak perlu mengubah UU Sisdiknas, karena semuanya tidak dengan sendirinya
dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Tulisan
ini memandang kalau sikap ini yang tetap berada di benak semua
lapisan masyarakat Indonesia dari elit politik, pakar, sampai guru dan orang
tua murid, sesungguhnya mengharapkan pendidikan nasional berfungsi
mencerdaskan kehidupan bangsa sangat berlebihan karena tidak akan dapat
terlaksana.
lapisan masyarakat Indonesia dari elit politik, pakar, sampai guru dan orang
tua murid, sesungguhnya mengharapkan pendidikan nasional berfungsi
mencerdaskan kehidupan bangsa sangat berlebihan karena tidak akan dapat
terlaksana.
Tulisan
ini berpandangan bahwa sekolah dengan kurikulum yang dirancang dan dilaksanakan
secara relevan, efisien dan efektif akan mampu mendukung terlaksananya fungsi
pendidikan nasional utnuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan
kebudayaan nasional.
Tujuan dan Materi Kurikulum yang
Relevan
Tujuan
Tujuan
pendidikan yang selama ini dirumuskan dalam pelbagai UU pendidikan nasional
kita, akan menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan untuk dapat
melahirkan manusia Indonesia yang:
(1)
Religius
dan bermoral;
(2)
Menguasai
ilmu pengetahuan dan ketrampilan;
(3)
Sehat
jasmani dan rohani;
(4)
Berkepribadian
dan bertanggungjawab
Keempat
karakteristik tersebut hakekatnya karakteristik yang bersifat
universal, dan masih perlu diterjemahkan kedalam rumusan yang operasional dan terkait dengan perkembangan masyarakat. Dalam menterjemahkan keempat karakteristik tersebut perlu dipahami tingkat dan arah perkembangan masyarakat Indonesia.
universal, dan masih perlu diterjemahkan kedalam rumusan yang operasional dan terkait dengan perkembangan masyarakat. Dalam menterjemahkan keempat karakteristik tersebut perlu dipahami tingkat dan arah perkembangan masyarakat Indonesia.
Indonesia
saat ini berada dalam era globalisasi yang berarti berlakunya berbagai ukuran
dan aturan internasional dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi,
sosial budaya, ilmu pengetahuan dan tehnologi, komunikasi/transportasi bahkan
kehidupan keagamaan. Maka hanyabangsa yang berkualitas
sumber daya manusianya, yang dalam bidang ekonomiditunjukkan
dengankemampuannya:
1)
Mengolah dan mengelola
sumber daya alam,
2)
Pengembangan teknologi,
3)
Menghasilkan komoditas
yang bermutu dan dapatbersaing di pasar dunia,
4)
Mengelola modal; dan
5)
Mengelola
perdagangan(Harbison-Myers), yang dapat bertahan dan secara berkesinambungan
maju.
Agar
negara bangsa Indonesia dapat bertahan sebagai negara yang merdeka dan
bermartabat diperlukan manusia Indonesia yang berkualitas yang mampu mendukung
:
(1)
Sistem
politik demokrasi yang stabil berdasarkan Pancasila;
(2)
Sistem
ekonomi nasional yang mantap infrastruktur fisiknya, infrastruktur
teknologinya, infrastruktur tenaga manusianya, berkembang wirausahanya
dan tumbuh pengusaha kecilnya;
teknologinya, infrastruktur tenaga manusianya, berkembang wirausahanya
dan tumbuh pengusaha kecilnya;
(3)
Sistem
pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang tangguh;
(4)
Majunya
kebudayaan dalam berbagai seginya baik kesenian, kesusastraan,
maupun dimensi kognitif dan normatif dari kebudayaan nasional; dan
maupun dimensi kognitif dan normatif dari kebudayaan nasional; dan
(5)
Mantapnya
etika sosialnya.
Identifikasi
kemampuan, nilai dan sikap yang perlu dikuasai
dan dimiliki manusia terdidik Indonesia yaitu :
dan dimiliki manusia terdidik Indonesia yaitu :
(1)
Memiliki
kemampuan, nilai dan sikap yang memungkinkannya
berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam proses politik;
berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam proses politik;
(2)
Memiliki
kemampuan, etos kerja, dan disiplin kerja yang
memungkinkannya dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi,
memungkinkannya dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi,
(3)
Memiliki
kemampuan dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui kemampuan penelitian dan
pengembangan,
pengetahuan dan teknologi melalui kemampuan penelitian dan
pengembangan,
(4)
Memiliki
kepribadian yang mantap, berkarakter dan bermoral, serta
berakhlak mulia.
berakhlak mulia.
Setelah
teridentifikasi empat gugus kemampuan, nilai dan sikap yang terkait
dengan kepentingan terwujudnya masyarakat Indonesia moderen dan
bermartabat di era globalisasi, pertanyaannya adalah "Materi pendidikan
manakah yang harus dijadikan obyek belajar ?"
dengan kepentingan terwujudnya masyarakat Indonesia moderen dan
bermartabat di era globalisasi, pertanyaannya adalah "Materi pendidikan
manakah yang harus dijadikan obyek belajar ?"
Undang-undang
No. 2 Tahun 1989 maupun UU No. 20 tahun 2003
telah memberikan jawaban seperti yang dikutip dibawah ini.
telah memberikan jawaban seperti yang dikutip dibawah ini.
Menurut UU No. 2 th. 1989
|
Menurut UU No. 20 Thn 2003
|
(Pendidikan Dasar)
|
(Sampai Sekolah Menengah)
|
a.Pendidikan Pancasila
|
a. Pendidikan Agama
|
b.Pendidikan Agama
|
b. Pendidikan
Kewarganegaraan
|
c.Pendidikan Kewarganegaraan
|
c. Bahasa
|
d.Bahasa Indonesia
|
d. Matematika
|
e.Membaca dan Menulis
|
e. Ilmu Pengetahuan Alam
|
f. Matematika, termasuk
berhitung
|
f. Ilmu Pengetahuan Sosial
|
g.Pengantar Sains dan
Teknologi
|
g. Seni, Budaya, dan Olah
raga; serta
|
h.Ilmu Bumi
|
h. Ketrampilan, Kesenian dan
MuatanLokal
|
i. Sejarah Nasional dan
Sejarah Umum
|
|
j. Kerajinan Tangan dan
Kesenian
|
|
k. Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan
|
|
l. Menggambar
|
|
m. Bahasa Inggris
|
|
Kedua
ketentuan yang terdapat dalam UU No. 2 tentang SISDIKNAS dan UUSISDIKNAS
(2003) nampaknya berbeda, tetapi hakekatnya yang perlu dipertanyakan adalah
mengapa mata pelajaran tersebut yang ditentukan dan apakah benar mata pelajaran
tersebut menunjang tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Pendekatan
Proses Pembelajaran dan Implikasinya terhadap Sistem Evaluasi
Pendekatan
Proses Pembelajaran
Seperti yang dikemukakan oleh Whitehead, bahwasannya
bila proses pembelajaran dapat merangsang, menantang dan menyenangkan sampai
pada tingkat “joy of discovery”, yang diharapkan akan bermakna sebagai
proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. UNESCO
melalui International Commision on Education for The Twenty First Century yang
bertujuan untuk mengubah dunia
"from technologically divided world where high technology is privilege of
the few to technologically united world".
Mengusulkan
empat pilar belajar yaitu "learning to know, learing to do, learning to
be, and learning to live together".
Penerapan empat pilar belajar memungkinkan peserta
didik dapat menguasai pengetahuan, dapat menerapkan pengetahuan yang
dipelajarinya, dapat berinteraksi secara aktif
dengan sesama sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran empat
pilar harus didukung oleh tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang
memadai dan materi yang terpilih dan waktu yang cukup serta tidak mengejar
target untuk UN yang hanya akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan
“joy of discovery”.
Empat pilar belajar UNESCO dipandang sebagai
pendekatan belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan generasi muda
memasuki abad 21. Pendekatan empat pilar berkembang di Amerika Serikat dan
Eropa Barat, semenjak AS tertinggal dari Uni Soviet dalam bidang teknologi
ruang angkasa tahun 1957. Menurut pandangan Whitehead (1916) sebagai bentuk
kritik kepada praktek pendidikan pada permulaan abad ke-20, menekankan agar
peserta didik sejak dini harus dapat menikmati proses penemuan. Kalimat
lengkapnya tertulis sebagai berikut:
"Let the
main ideas which are introduced into a child's education be few
and important, and let them be thrown into every combination possible. The
child should made them his own, and should understand their application here
and now in the circumstance of his actual life. From the very beginning of his
education, the child should experience the joy of discovery6)".
and important, and let them be thrown into every combination possible. The
child should made them his own, and should understand their application here
and now in the circumstance of his actual life. From the very beginning of his
education, the child should experience the joy of discovery6)".
Kemudian kritik ini menjadi landasan pembaharuan
pendidikan di Amerika Serikat pasca Sputnik. Selanjutnya muncul pemikir-pemikir
pendidikan di Amerika Serikat seperti Philip Phenix, Jerome Bruner, dan Israel
Sheffler.
Gerakan
pembaharuan pendidikan di AS juga mempengaruhi negara-negara Eropa Barat dan
membuahkan kemajuan IPTEK yang berpengaruh kepada perkembangan negara-negara
Barat. Memasuki akhir abad ke-20 dunia semakin mengglobal sehingga perbedaan
kemampuan antara negara maju dan berkembang semakin lebar, sadar akan hal
tersebut UNESCO membentuk suatu komisi
Internasional yang tujuannya memberikan rekomendasi kepada UNESCO untuk
menerapkan empat pilar belajar.
Terdapat sebuah kutipan dari laporan Komisi
Internasional, yang menunjukkan
situasi paradoksal yang dihadapi negara berkembang mengenai pendidikan yang
diharapkan untuk dapat membentuk karakter dan mental generasi muda sehingga
dapat melakukan transformasi budaya. Pernyataan seperti ini di Indonesia
merupakan suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para
pendiri Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kebudayaan nasional.
Akan
tetapi dalam pelaksanaannya di negara berkembang pada umumnya, termasuk
Indonesia mengakibatkan berjubelnya sekolah, guru yang secara profesional
kurang memenuhi syarat, proses pembelajaran tidak lebih dari mencatat,
menghafal, dan mengingat kembali yang berdampak tidak adanya kesempatan untuk
menerapkan pendekatan modern dalam proses pembelajaran. Ketika peserta didik
tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu akan
merugikan masyarakat karena akan sukar untuk memperoleh SDM yang bermutu untuk
pembangunan masyarakat.
Ketertinggalan
negara berkembang dari negara maju dalam penguasaan IPTEK, melatarbelakangi
kemajuan ilmu, stabilnya sistem politik dan pemerataan pendidikan. Latar
belakang inilah UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar.
Learning
to Know
Menurut Philip Phenix,
learning to know adalah proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan "ways
of knowing' atau "mode of inquiry”, dimana peserta didik terus
belajar dan memperoleh pengetahuan baru tidak hanya menerima pengetahuan dari
orang lain. Sehingga pada hakekatnya "Learning
to Know"
adalah proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai teknik
memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan.
Israel
Scheffler membahas mengenai learning to know Menurutnya
pilar learning to know terkait dengan relevansi epistemology, mengutamakan
proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat dalam proses
meneliti dan mengkaji. Dan relevansi
learning to know dari sudut pandang pendidikan tinggi, dimana disiplin ilmu
pengetahuan membutuhkan learning to know untuk sampai pada tahap “mode of
inquiry” yang merupakan bentuk paling tertinggi dari berpikir dalam
disiplin ilmu. Penalaran pilar learning to know pada tingkat pendidikan tinggi
adalah penerapan paradigma penelitian ilmiah dalam pelaksanaan perkuliahan.
Model pendekatan demikian dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan
intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan sendirinya akan mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Learning to do
Pilar
belajar yang kedua sasarannya adalah pada kemampuan kerja generasi muda untuk
mendukung dan memasuki ekonomi industri, yang mana dalam ekonomi industri di
tuntut untuk memiliki kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan seperti, "controlling,
monitoring, maintaining, designing, organizing”. Demikian sangat diharapkan
karena pekerjaan yangbersifat fisik saat ini telah diganti dengan mesin. Dunia
kerja yang dalam
"technology knowledge based economy",
diharuskan sudah menyiapkan
masyarakat yang bertindak konkrit, tidak hanya terbatas kepada penguasaan
ketrampilan yang mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi,
bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatsi konflik.
Menurut Whitehead learning to do
berkaitan dengan pendidikan sebagai upaya penguasaan seni menggunakan
pengetahuan, yang berarti inovasi sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah
untuk melahirkan generasi baru yang intelegennya bagus dalam bekerja. Sedangkan
menurut Scheffler learning to do berkaitan dengan relevansi psikologis,
Learning to Live Together
Kemajuan
IPTEK dan ekonomi saat ini ternyata tidak menghapus konflik antara manusia,
dimana konflik terjadi karena prasangka, baik ras, suku, agama, dan status
sosial, serta antar negara. Konflik sosial bahkan terjadi pula baik horizontal
maupun vertikal. Sulitnya menciptakan kerukunan, toleransi, saling pengertian dan saling bebas dari
prasangka, menuntut peran pendidikan supaya membekali generasi muda tidak hanya
untuk menguasai IPTEK dan kemampuan untuk bekerja memecahkan masalah, namun kemampuan untuk
hidup bersama dengan orang lain yang
berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka.
Learning
to be
Ketika pilar diatas ketika sudah
terlaksana dengan baik maka akan menimbulkan sikap rasa percaya diri pada
peserta didik. Menurut UU No. 2 Th. 1989 adalah manusia
yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh memiliki
kemantapan emosional, intelektual, mengenal dan mengendalikan dirinya,
konsisten, memiliki rasa empati atau "EmotionalIntelligence".
Untuk sampai pada learning to be
maka harus sampai
kepada
tingkatan
"joy of discovery" pada pilar
"learning to
know", tingkatan joy of being succesful in achieving objective, pada "learning
to do", dan tingkatan joy of getting together to achieve common goal.
know", tingkatan joy of being succesful in achieving objective, pada "learning
to do", dan tingkatan joy of getting together to achieve common goal.
Orang
tidak menolak bahwa diselenggarakannya suatu sistem pendidikan bertujuan untuk dihasilkannya
manusia dewasa yang terdidik secara intelektual, moral, kepribadian, dan
kemampuan. Akan tetapi,akhir-akhir ini yang
sering disorotiorang adalah dimensipenguasaan
pengetahuan peserta didik
yang belum tentu berdampak kepadapengembangan kemampuan intelektual, kematangan
pribadi, kematanganmoral dan karakter.
Evaluasi
pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar yang dilakukanpada akhir jenjang
satuan pendidikan seperti UAN (Ujian Akhir Nasional) tidakdapat diharapkan
dapat berdampak terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Hal ini karena menurut Benyamin Bloomtingkah laku belajar peserta didik akan
dipengaruhi oleh perkiraan pesertadidik tentang apa yang akan diujikan. Dengan
demikian kalau yang akan diujikanadalah penguasaan pengetahuan yang telah
dihafal, maka pesertadidik hanya akan
belajar materi yang akan
diujikan. Akibatnya, peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar
yang tidak akandiujikan, seperti belajar meneliti, belajar menulis makalah,
belajar mengapresiasi karya sastra, belajar berdemokrasi dan berbagai proses
belajar yang bermakna transformasi budaya.
Untuk
tercapainya berbagai tujuan pendidikan,perlu dikembangkan dan dilaksanakan
evaluasi secara komprehensif, terus-menerus dan obyektif. Evaluasi yang
demikian hanya dapat dilakukan olehseorang guru yang profesional yang mampu
merencanakan, mengelola, memotivasi, dan menilai proses pembelajaran yang
berlangsung dari hari kehari. Evaluasi semacam ini hakekatnya merupakan bagian
dari kurikulum itusendiri, yang berfungsi sebagai bagian
dari strategi penguatan "reinforcementstrategy"
atau dalam bahasa teknis kurikulum disebut sebagai salah satu wujuddari "hidden curriculum".
Masalah evaluasi semacam inilah yang perludilaksanakan
dalam suatu pendidikan yang mendudukkan "classroom as socialsystem
(Parson), dan sekolah sebagai pusat sosialisasi/pembudayaan berbagaikemampuan,
nilai, dan sikap (Inkoles).
Model evaluasi hasil belajar yang
tradisional yangdilakukan pada akhir satuan jenjang atau kelas seperti
"ulangan umum" pada akhir semester, dan hasilnya tanpa dipengaruhi
hasil kegiatan belajarharian dan kemudian dimasukkan ke dalam rapot atau Ujian
Akhir Nasional (UAN) yangdilakukan pada akhir jenjang pendidikan dan hasilnya
menentukan kelulusan seseorang. Model terakhir ini dari sudut pandang teori
belajar sosial, dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positifnya.
Untuk
kepentingan pengelolaan pendidikan secara nasional disadari perlunya secara
periodik diadakan evaluasi hasil belajar tingkat nasional atau lebih
tepatdisebut "Nasional Assesment". Fungsinya sebagai bagian dari
manajemenpendidikan secara nasional adalah untuk memperoleh gambaran tentang
petamutu pendidikan nasional sebagai alat umpan balik guna mendiagnosis
faktor-faktor penyebab dari keberhasilan dan ketidakberhasilan suatu sekolah
ataudaerah dalam membantu peserta didik dalam mencapai tingkatan hasil belajar yang
diharapkan.
Peranan Guru dan Implikasinya
terhadapProfesionalisasi Jabatan Guru
Kurikulum
yang dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan kaidah kependidikanyang secara
akademik dan profesional dapat dipertanggungjawabkan dengandidukung oleh
penerapan model evaluasi yang relevan dengan tujuan pendidikan,hanya akan secara
efisien dan efektif terlaksana bila dilakukan oleh guru yang memiliki kemampuan
profesional.
Jabatan
profesional yang secara universal diakui
adalah jabatan yang memerlukan pendidikan lanjutan dan pelatihankhusus
(advanced education and special training).Sebab jabatan profesional adalah jabatan yang memerlukan
kemampuan merencanakan, kemampuan mengelola, kemampuan mengendalikan, kemampuan
memonitor,kemampuan menilai, dan kemampuan mendiagnosis. Untuk guru
yangberderajat profesional disamping kemampuan-kemampuan tersebut, diperlukantambahan
kemampuan memberikan bimbingan dan kepemimpinan yangdidasarkan atas
pemahamannya atas peserta didik, penguasaannya atas ilmupengetahuan sebagai
bahan ajar, dan teknologi pendidikan (didaktik, metodik, dan paedagogik).Dengan
demikian jelas betapa tingginya tuntutan profesionalitas seorangguru
profesional.
Untuk
itu James B. Conant sebagai bagian dari reformasipendidikan di Amerika Serikat
akibat dari ketertinggalan Amerika Serikat dalamteknologi ruang
angkasamensyaratkan calon guru haruslah mereka (lulusanSMA) yang berada pada
peringkat 20% keatas.Untuk memenuhi tuntutan profesional ini dalam mencoba
untuk membahas masalah Guru dan pendidikannya, ISPI perlu membahas dan
menentukan hal- hal berikut :
(1)
standar
profesionalitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya:
(2)
hierarki
profesional kependidikan;
(3)
persyaratan
pendidikan pra-jabatan profesional tenaga pendidik
berderajat profesional;
berderajat profesional;
(4)
standar
pendidikan profesional tenaga kependidikan;
(5)
sertifikasi
profesional tenaga kependidikan.
Demikianlah
beberapa pemikiran untuk dibahas sebagai upaya menyusun
rekomendasi
bagi peningkatan mutu pendidikan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar