Senin, 12 Mei 2014

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS

TUGAS TERSTRUKTUR KELOMPOK
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sosiologi Pendidikan
yang dibinaoleh bapak Dr. Sukamto, M.Pd., M.Si.


Oleh
kelompok 3
Diah Ayu Kusuma Ratri              (120741404165)
Finda Eka Yulviana                     (120741421179)
Haikal Jadid                                 (120741421209)
Nadiyya Qurrotu Aini Zummi     (120741421230)
Shofi Maulina Haji                       (120741404088)
Yonita Yuli Amanda                   (120741421177)






UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Februari 2014




I.         PENDAHULUAN
Sejarah sosiologi pendidikan tidak terlepas dari situasi sosiologi dari zaman ke zaman. Adalah August Comte yang dianggap sebagai bapak sosiologi yang telah menanamkan dasar-dasar sosiologi yang sangat kuat. Beberapa buku tentang sosiologi telah ditulisnya, dan yang termasyur adalah buku Positive Psychologi. Dalam beberapa bukunya Auguste Comte telah menulis tentang pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat. Selanjutnya, sosiologi berhasil mencuri hati para ilmuan, diantaranya. Herbert Spencer dari inggris yang telah banyak menulis buku, diantaranya Principle of Sosilogy. Setengah abad kemudian, sosilogi berkembang dengan cepat dalam abad 20, terutama di Perancis, Jerman dan Amerika.
Perkembangan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan dimulai sejak awal abad ke 20 yang merupakan bagian dari sosiologi. Tetapi sebenarnya sosiologi pendidikan lahir bersamaan munculnya persoalan-persoalan pendidikan yang tidak teratasi dan kemudian pendidikan tersebut diatasi dengan menggunakan pendekatan sosiologis.
Pada bagian ini pembaca diajak memahami perspektif kontruksionisme, nantinya pembaca dapat membedakan fokus kajian perspektif, yaitu perspektif struktural fungsional dan konflik yang menekankan faktor stuktural.



II.      PEMBAHASAN
2.1  AKAR PEMIKIRAN PENDIDIKAN PERSPEKTIFKONSTRUKSIONIS
Pendidikan dikembangkan berdasarkan perspektif konstruksionis tidak lepas dari pemikiran sosiologi oleh teoritisi Jerman terakhir abad 19 dan awal abad 20, terutama dari karya Simmel dan Webber. Perspektif ini beranggapan bahwa perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku objek malam. Manusia bertindak sebagai agen realitas kehidupan sosial. Oleh karena itu tugas sosialogi adalah memahami cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadar realitas. Makna itu adalah makna partisipasi yakni agen yang melakukan konstruk melalui satu proses dalam kehidupan dimana ia hidup.
Mahasiswa yang mempelajari sosiologi pendidikan, harus mempelajari pemikiran sosilog America, seperti Simmel, yang berpengaruh pada awal abad 20 dan juga George Harbed Mead dari Universitas Chicago. Mereka mempelopori tradisi konstruksionisme ini. Intraksionisme simbolik, sebuah pendekatan yang memanfaatkan jasa psikologi sosial. Kominikasi merupakan medium yang dipakai masyarakat untuk memahani aktor. Aktor memahami realitas melaui simbol-simbol yang mereka gunakan dalam berinteraksi. Bahasa adalah simbol yang paling banyak dipakai dalam interaksi individu dengan individu lain.
Di Eropa tradisi konstriksionisme ini memunculkan sosiologi fenomenologis. Di pengaruhi oleh karya Webber melalui Alfred Schutz. Schutz  membaca karya webber dari sudut pandang filsafat Eropa, yang dikenal dengan filsafat fenomenologi. Sosiologi fenomenologi memfokuskan kajiannya kepada cara-cara yang dilakukan aktor dalam memahami dan menafsirkan dunia sosial dengan memperhatikan penyerapan data ke dalam tipifikasi atau penggambaran secara mental. Schutz membahas individu melakukan tipifikasi secara intersubyektif.
Sementara itu tradisi konstruksionis berakar dani fenomenologi Amerika yang tumbuh berkembang tahun1970an dalam bentuk tradisi perspektif etnometodelogi yang beranggapan bahwa penggambaran dunia sosial secara ilmiah. Cara melakukan penggambaran diakukan sesuai yang dilakukan aktor.
Argumen lain mereka yang ingin keluar dari motive, tradisi konstruksionis ini memicu munculnya teoristrukturasi sosiologi dari Inggris.
Teori strukturasi memperlihatkan dalam kehidupan sosial terdapat hubungan pemahaman atau penafsiran dengan munculnya sistem sosial yang berkembang di luar individu skala yang luas. Menurut Giddens sesuatau yang ada diluar konsekuensi cara aktor tindakan yang mereka lakukan. Setiap tindakan individu tersebut adalah mewujudkan tujuan keinginan personal. Pandangan konstruksionis yang dipelopori Weber, Husserl, Mead, Schutz. Sosiologi pendidikan mendasarkan pada konstruktivisme memfokuskan ‘pemahaman  siswa’. Pendidikan dimulai dari pemahaman siswa. Kalau ingin memahami siswa dapat memonitor.
Tugas praktisi pendidikan adalah memahami faktor-faktor instriksik ada dalam diri siswa. Pendidikan harus dimulai self concept siswa. Menciptakan situasi pembelajaran yang menarik dan kondusif, bukan semata tugas guru, pada paradigma behavioristik menciptakan lingkungan yang kondusif  adalah tugas guru. Jika perspektiof behavioristik guru harus bisa menciptakan alat reinforcement yang bagus, dalam paradigma konstruktivistik, siswa dinilai memiliki potensi intrinsik dalam menciptakan lingkungan belajara yang kondusif.
Dalam pendidikan konstruktivistik, pembelajaran sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan oleh siswa dilakukan ditemapat mana siswa sebagai partisipasi. Perspektif ini menekankan proses kolaboratif. Siswa diberi fasilitas untuk berinteraksi dengan lingkunagnnya disertai dengan proses refleksi diri. Pendidikan konstruktivistik menegaskan bahwa sumber belajar buakn hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari kawan sepergaulan orang-orang di sekitarnya.
Paradigma konstruktivistik mengembangkan inisiatif dan kreatifitas. Paradigma behavioristik, memberikan kesempatan sedikit saja bagi inisiatif dan munculnya kreatifitas secara individu. Inisiative dan kreatifitas siswa dalam paradigma paradigma behavioristik dikunci oleh program pembelajaran yang terkontrol secara ketat.
Pendidikan konstruktivistik siswa belajar dengan mengembangkan struktur kognitifnya, mengembangkan skema-skema berfikir, terutama menggunakan informasi dan penegtahuan baru untuk meraih kemajuan. Siswa belajar berinteraksi dengan lingkungannya. Paradigma behavioristik, fokus pembelajaran terletak pada guru dan materi pembelajaran menjadikan siswa cenderung pasif. Paradigma konstruktifisik siswa memperoleh kesempatan mengembangkan pemahaman atau konstruknya subjek pembelajaran yang sedang dihadapi.
Dengan demikian paradikma konstruktifisik menjadikan siswa aktif dan menentukan apa yang harus difikirkan dan dipelajari. Fokusnya diarahkan bagaimana siswa mengkontruk makna tentang kehidupan dan dunianya. Mereka adalah individu-individu yang aktif membentuk makna yang dijadikan dasar mencipta struktur tentang dunianya, lahirlah konsep prinsip-prinsip  dan model atau skema mental siswa. Ilmu pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya sebagai sesuatu yang penting. Ia menentukan kemampuan mereka dalam mempelajari bahan-bahan pembelajaran baru. Paradigma kontruktivisik menekankan pada understending menghapus missunderstending. Proses strategi yang dilakukan dimulai dari cara pikir deduktif dan digabungkan dengan pemikiran induktif. Dengan demikian siswa mengetahui prinsip-prinsip mendasari fakta data lapangan yang dijumpai. Fakta diolah melalui proses induktif.
Dalam pmikiran kontruktifisme muncul dua aliran yaitu (1) kontruktifisme psikologis, dan (2) konstruktivisme sosial. Dalam kontruktivisme psikologis, pendidikan difokuskan kepada siswa sebagai individu dan bagaimana mereka mengkontruk lingkungan itu sendiri. Sementara dalam kontruktivisme sosial difokuskan peran aktor sosial dan budaya dalam pengembangan. Vygotsky menolak anggapan yang menyatakan bahwa fokus dan fokus pengetahuan ada pada individu, sedangkan locus dan fokus terletak pada interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan kunci dalam proes pembelajaran. Oleh karena itu perspektif ini menganjurkan penggunaan secara lebih kreatif pembelajaran kooperatif.

TOKOH PERSPEKTIF KONSTRUKSIONIS
1.      Max Weber
Sosiologi pendidikan menggunakan perspektif konstruksionis perlu membaca pemikiran weber ini. Hal ini terjadi karena Max Waber justru mengambil tempat yang “bersebrangan” dengan perspektif ini karya-karya Emile Durkheim itu. Dia merupakan ilmuan yang cukup dikenal dan sangat berpengaruh lahir di jerman 21 april 1864 dari keluarga klas menengah, anak dari seorang pejabat penting yang menjadi bagian dan menikmati sistem yang mapan.
Ibunya seorang Calvinst dengan sikap yang asketik. Pada mulanya ia mengikuti gaya hidup ayahnya, tumbuh antipati gaya hidup ayah sehingga iya memilih gaya hidup asketik. Dia sempat kuliah di Heidelberg kemudian menyelesaikan doktornya di Universitas Berlin menjadi seorang lawyer, selanjutnya ia tertarik dibidang ekonomi,sejarah dan sosiologi. Ia sebagai pendiri sosiologi tahun1905. Tulisan Wirtschaft und gesellschaft( ekonomi dan masyarakat) webber meninggal tahun 1922.
Dalam teori sosilogi, ia menjadikan tindakan individu sebagai pusat kajiannya, bagaimana individu menjalin dan memberi makna terhadap hubungan sosial dimana individu didalamnya, individu berpengaruh dimasyarakat dengan catatan tindakan sosial, instrumenal atau berorientasi nilai. Rasionalitas istrumen melibatkan pertimbangan dan pilihann yang berhubungan dengan tujuan dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai pemilik bermacam tujuan yang diinginkannya dan saling bersaing ini. Individu mencapai tujuan yang dipilih, hal ini mencangkup informasi yang terdapat dilingkungan. Akhirnya mencerminkan pertimbangan individu dari sisi efisien dan efektifitas.
Berbeda dengan rasionalitas instrumental ini lebih menekankan bahwa tidakan dikendalikanoleh keyakinan pada tuhan. Jadi,alat hanya objek pertimbangan dan perhitungan yang sadar tujuan dalam hubungan dengan nilai. Nilai-nilai bersifat nonrasional dalam seseorang tidak dapat memperhitungkan secara objektifmengenai tujuan yang dipilih.
Dengan menggunakan pendekatan versthen, Max Weber bahwa pola rasional tidak sekedar dari individu namun meluas di masyarakat. Individu ini yang riil dan objektif. Begitu pula struktur merupakan abstraksi spekulatif dilakukan. Namun demikian yang dapat ditangkap yang bisa ditangkap bahwa individu bergerak bebas dan mampu menentukan masyarakat dan stukturnya. Birokrasi akan lebih mengedepankan pada masyarakat yang mengunggulkan rasionalis instrumental, yaitu masyarakat individu lebih melihat mean-end sebagai pertimbangannya. Penganut pemikiran semacam ini disebut weberian atau menurut Rister (1988) dikenal dengan  paradigma Definisi Sosial.
a.       Max Weber tentang kapitalisme
Sebagaimana Marx, Weber juga memiliki pemikiran yang cukup menggemparkan tentang kapitalisme. Pemikiran Weber tidaklah jauh berbeda dengan Marx terutama dalam melihat ciri-ciri yang menandai kapitalisme modern. Namun secara keseluruhan dan tesis-tesis utama Weber tentang kapitalisme berbeda dengan Marx. Pemikiran Weber tentang kapitalisme tersebut dituangkan di dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), yang menegaskan bahwa kapitalisme bukan produk dari faktor ekonomi tetapi juga produk dan faktor di luar ekonomi. Berbeda dengan determinisme Marx, Weber menyatakan bahwa ada faktor di luar ekonomi yang juga turut mempengaruhi terbentuknya kapitalisme, antara lain adalah jenis atau karakteristik pemahaman masyarakat atas agama. Karakteristik pemahaman agama kalangan Calvinis, dalam hal ini, menurut Weber melahirkan etika yang tidak dimiliki kelompok agama lain, yang mendorong tumbuhnya semangat kapitalisme.
Weber merinci ciri-ciri dari sistem kapitalisme seperti :
1)      Adanya usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional bedasarkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan serta berkembangnya pemilikan/kekayaan pribadi;
2)      Berkembangnya produksi untuk pasar;
3)      Produksi untuk massa dan melalui massa;
4)      Produksi untuk uang; dan
5)      Adanya antusiasme, etos dan efisiensi yang maksimal yang menuntut pengabdian manusia kepada panggilan kerja.
Masyarakat kapitalis, menurut Weber, memandang manusia terutama sebagai pekerja dan tidak peduli apapun yang menjadi pekerjaan mereka, dan inilah yang disebut dengan vocational ethics yang merupakan tingkah laku yang menonjol dari spirit kapitalisme. Mereka yang miskin vocational ethics akan mengalami keruntuhan, sedangkan mereka yang memiliki vocational ethics itu dengan baik akan berhasil meningkatkan prestasi hidupnya. Dalam pandangan Weber, kapitalisme merupakan ideal type dari sistem ekonomi modern.
Berbeda dengan Marx, Weber melihat kemunculan kapitalisme sebagai sumber dari dan di dalam agama Protestant, di mana hal itu merupakan wirtschaftsethink. Spirit kapitalisme (modern) adalah Protatistanisme, yaitu yang merupakan aturan-aturan agama Protestan tentang watak dan perilaku (rules of conduct) penganut-penganutnya di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Weber, etika Protestan mengajarkan bahwa bekerja keras itu merupakan calling atau panggilan suci bagi kehidupan manusia. Berlaku hemat dengan cara menggunakan hasil kerjanya tidak untuk bersenang-senang maupun untuk upacara-upacara keagamaan.
Kapitalisme, dalam pandangan Weber, adalah sebuah kompleks cita-cita yang merupakan suatu perubahan dalam tatanan moral yang lama. Karena itu, pertama yang ditekankan Weber ialah, kapitalisme harus dipandang sebagai “resep” moral, yang mengikat seluruh anggota masyarakat, untuk memajukan dan mendahulukan pamri-pamrih material pada individunya. Kedua, kapitalisme harus dipandang sebagai suatu pendobrakan besar-besaran atas apa yang dapat disebut sebagai “kesadaran berusaha” atau “nilai-nilai karya” yang tradisional. Menurut Weber, manusia “pada dasarnya” tidak ingin menumpuk dan terus menumpuk uang, melainkan sekedar ingin hidup sebagaimana ia terbiasa hidup dan mengumpulkan uang sebanyak yang dibutuhkan untuk mencapai keinginannya itu.
Dalam pandangan Weber, pertumbuhan kapitalisme sebagai sistem ekonomi adalah pertumbuhan kapitalisme sebagai suatu sistem moral. Cuzzort dan King mencoba meringkas pandangan Weber tentang transisi kapitalis sebagai berikut :
1)      Memperlakukan motif “serakah” lebih dari sekedar “kegilaan” pribadi – ia harus diangkat sebagai suatu prinsip moral;
2)      Menghilangkan ketergantungan akan bentuk-bentuk pemenuhan ekonomi yang tradisional dan menggantinya dengan perhitungansecara rasional dimana di mana semua keuntungan yang diperoleh dari penanaman atau investasi sejumlah pekerja dan moral.
b.      Max Weber tentang Stratifikasi Sosial
Seperti halnya Marx, Weber dalam menjelaskan Strtifikasi sosial juga menggunakan konsep klas (class). Klas, menurut Weber, adalah golongan orang-orang dalam kontinum status dan situasi yang sama, yaitu kesempatan untuk memperoleh barang dan untuk dapat menentukan sendiri keadaan kehidupan ekstern dan nasib pribadi. Dalam pandangan Weber, klas-klas sosial mencakup semua situasi klas, baik mobilitas pribadi maupun mobilitas antargenerasi dimungkinkan antarklas itu, dan hal ini memang bisa terjadi.
Selain itu, Weber juga menggunakan pengertian klas pluralistis. Dalam konteks ini, Weber berbicara tentang “situasi golongan status”, artinya diberikannya hak istimewa positif atau negatif. Satus itu diberkan dalam hubungannya dengan martabat sosial. Dituntut secara efektif berdasar gaya hidup spesifik, pendidikan formal atau prestise dan dihubungkan dengan keturunan atau jabatan.
Situasi golongan status dapat berdasarkan atas situasi klas, kendatipun tidak semata-mata ditentukan olehnya; hal yang sebaliknya bisa juga terjadi, artinya status menentukan klas. Suatu golongan status adalah sejumlah manusia yang, dalam suatu organisasi, secara efektif menuntut suatu penghargaan khusus atau suatu monopoli status yang khusus. Mereka melakukan atas dasar gaya hidup yang dikaitkan dengan profesi tertentu, atas dasar keturunan atau dimilikinya kekuasaan politik atas dasar monopoli status.
c.       Max Weber tentang Klas dan Kekuasaan
Persaingan kelompok menurut Weber dipengaruhi oleh kekuasaan. Kekuasaan menentukan satu kelompok sosial mendominasi kelompok sosial yang lain. Berbeda dengan Marx, Weber melihat bahwa kekuasaan bukan bersumber semata-mata dari kekuatan ekonomi, atau  hubungan pemilikan secara private atas alat produksi. Menurutnya, kekuasaan memiliki beberapa dimensi, meliputi klas, status dan partai.
Kelas mengacu pada tatanan ekonomi masyarakat yang dalam hal ini “hubungan pasar” merupakan sesuatu yang paling utama. Hubungan pasar inilah yang berkaitan dengan pamilikan individual, sehingga betapapun ada perbedaan, namun konsep Weber cukup berdekatan dengan konsep kelas yang dimaksudkan oleh Marx.
Mengenai dimensi status yang dibedakan oleh partai dalam kekuasaan dinyatakan Weber, “status” mengacu pada cara organisasi mesyarakat memunculkan perbedaan karena prestise atau kehormatan bagi kelompok individu yang berbeda-beda. Kehormatan atau status sosial bukan hanya diperoleh karena pemilikan kekayaan atau skill atau sejumlah atribut, melainkan bersumber dari “style of life” – gaya hidup yang dipakai oleh kelompok dalam masyarakat tertentu. Adapun yang dimaksud dengan “partai” adalah cara kelompok mengorganisasi diri dalam mencapai tujuan hidup. Partai-partai saling berupaya meraih posisi, kehormatan dan control atas tatanan sosial. Jadi, partai bisa dibentuk atas dasar klas maupun kelompok status atau gabungan di antara keduanya.
Kontrol atas masyarakat, dilakukan partai bukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan, melainkan juga untuk mencari keabsahan di mata kelompok yang dikuasai. Dalam istilah Weber, mereka memerlukan legitimasi atas kekuasaan yang dimilikinya. Jika legitimasi itu diraih maka mereka berhak mengelola “otoritas” yakni hak untuk mendominasi dihadapan kelompok yang dikuasai.
Menurut Weber ada tiga sumber legitimasi dalam kekuasaan yang penting, yaitu kekuasaan yang bersumber dari tradisi, charisma dan instrument rasional seperti kekuasaan yang diperoleh berdasarkan aturan legal rasional. Weber menyatakan bahwa legitimasi itu haruslah dipelihara di mata kelompok yang dikuasai jika ingin kekuasaannya berjalan efektif.
d.      Kontribusi Weber terhadap Sosiologi Pendidikan
Meskipun tidak langsung berbicara mengenai pendidikan, akan tetapi Weber memberi sumbangan yang cukup berarti terhadap sosiologi pendidikan, terutama dalam memberi inspirasi untuk melihat pendidikan dari sudut pemahaman dan pemaknaan individu tentang pendidikan bukan dari aspek struktural, institusi, atau sistem. Oleh karena itu, Weber mengenalkan juga kajian yang bersifat cross-culture, dengan membandingkan sejumlah praktek pendidikan di beberapa negara, juga pendidikan di masa lalu dengan pendidikan di era yang lebih modern.
Teori yang ditawarkan tentang organisasi birokrasi rasional juga menginspirasi bagaimana dunia pendidikan mengorganisir diri. Pendidikan di mata Weber memiliki posisi khusus dalam kaitan dengan birokrasi dan konsep hubungan kelompok status. Pendidikan di sekolah menurutnya harus mengajarkan “budaya status” tertentu. Sampai di sini, pemikiran Weber bertemu dengan Marx, oleh karena Marx juga berfikiran hal yang sama. Weber juga dikenal sebagai pencetus teori konflik, meski dalam perkembangannya teori konflik Weber tidak mendasarkan pada aspek ekonomi seperti yang dilakukan oleh Marx dengan dialektika materialistiknya. Berbeda dengan Marx, Weber memilih jalan keluar yang lebih bersifat kultural daripada revolusi atau resistensi seperti yang digagas Marx.
Max Weber (Gerth and Mills, 1946) pernah menulis The Rationalization of Education and Training, yang di dalamnya mengemukakan bahwa pendidikan yang rasional melahirkan type “manusia spesialis” (specialist type of man) berbeda dengan type “manusia terlatih” (cultivated type of man) seperti yang dilukiskan pada sistem pendidikan di China pada masa awal pertumbuhan negeri itu. Dalam hal ini Weber memperdebatkan nilai pendidikan yang berorientasi vocational dengan pendidikan yang menghasilkan manusia berkualitas dan berkeahlian tinggi.
Di masyarakat pra industri pendidikan menjadi faktor penting dalam menyiapkan agen perubahan. Sementara itu di masyarakat industri, pendidikan memperoleh preasure dari klas menengah yang bekerja keras menghadapi persaingan merebut posisi dalam sistem ekonomi yang terus berubah. Dengan demikian posisi pendidikan semakin penting dalam mempersiapkan manusia-manusia yang menginginkan keberhasilan dalam memasuki persaingan merebutperan-peran menentukan di masyarakat.
Di mata Weber ada dua type manusia yang ada di sekolah. Pertama, adalah mereka yang disebut dengan “insider” yaitu mereka memiliki status budaya yang diperoleh dari tata nilai dan berbagai proses pengalaman di sekolah itu sendiri. Kedua, adalah mereka yang disebut dengan “outsider” yakni mereka yang memiliki banyak kendala untuk bisa menjadi manusia berhasil di sekolah.
2.      Dari Edmund Husserl, Alfred Schutz, Mead, Cooley Hingga Goffman
Menurut Husserl, pengetahuan ilmiah sebenarnya telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dari kegiatan-kegiatan dimana pengalaman dan pengetahuan berakar. Fenomenologi sebagai bentuk idealisme yang bekerja atas dasar kesadaran manusia dan dasar-dasarnya mengenai kehidupan tentang dunia bertugas untuk memulihkan hubungan pengalaman dan pengetahuan.
Menurut Alfred Schutz murid dari Husserl, menjelaskan bahwa manusia membangun dunianya melalui proses pemaknaan. Proses pemaknaan berawal dari arus pengalaman yang berkesinambungan dengan panca indera. Pengalaman kemudian diidentifikasi dan dimaknai, pengalaman tersebut yang awalnya terpisah-pisah kemudian terkolektif di dalam interaksi antara kesadaran-kesadaran.
Menurut Schuts cara berpikir Weber sudah benar, namun terdapat beberapa aspek yang problematik. Pertama, mengenai ide Weber yang menyatakan bahwa makna tindakan adalah identik dengan motive tindakan. Dalam hal ini semua tindakan memiliki makna, jadi tidak hanya tindakan yang rasional saja melainkan semua tindakan, menurutnya tidak ada makna yang bersifat aktual dalam kehidupan.
Pemikiran diatas kemudian memunculkan tradisi Interaksionisme Simbolik yang dipelopori oleh Herbert Blumer (1969:2), dengan tumpuan pada tiga premis utama, yaitu:
1)      Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2)      Makna tersebut berasal dan hasil interaksi sosial seseorang dengan orang lain.
3)      Makna-makna tersebut disempurnakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Implikasi dari ketiga premis, bahwasannya tindakan manusia bukan disebabkan oleh “kekuatan luar maupun dalam”, melainkan setiap individu senantiasa dalam keadaan obyek-obyek yang berbeda, memberi arti, menyesuaikan dan mengambil keputusan. Manusia selalu dalam posisi sadar, bertindak reflektif, menghadapi obyek-obyek yang diketahuinya dan memberi makna simbol-simbol tertentu. Proses demikian oleh Blumer disebut dengan self-indication.
Sosiologi pendidikan yang mengikuti perspektif ini menyarankan kepada para pendidik untuk memahami bahwa siswa bukan sosok individu yang pasive, melainkan selalu melakukan refleksi dan self-indication terhadap realitas disekitarnya. Mereka memahami dan menginternalisasi berdasarkan pengalaman, pengharapan, sentimen dan rasionalitas mereka. Berdasarkan pemikiran Mead dan Cooley bahwa individu memiliki pengalaman budaya yang mereka gunakan untuk menafsirkan dan mendefinisikan berbagai situasi sosial.
Menurut pemikiran perspektif interaksionis simbolik seorang sosiolog pendidikan atau guru harus mengawasi dan memahami kondisi subyektif masing-masing individu atau peserta didik, baik ketika seorang individu dalam keadaan baik maupun dalam keadaan bermasalah. Dikarenakan setiap individu memiliki pengalaman (stream of experience) dan kondisi yang berbeda. Untuk kenyataan eksternal dilihat sebagai faktor yang mempengaruhi dan menstimulus seorang individu, dengan individu memiliki cara untuk memaknainya.
Menurut Goffman, melihat dan memahami realitas serta fenomena sosial dan ataupun kependidikan tidak bisa hanya melihat dari level institusi struktural, namun harus dilihat dari sisi ide, pemikiran dan tindakan atau perilaku masing-masing individu. Perilaku dan tindakan manusia merupakan sesuatu yang bersifat kompleks yang lebih menggambarkan hasil manipulasi atau yang lebih dikenal dengan “teori dramaturgi” sandiwara, dan dalam memahami tindakannya membutuhkan pengamatan terhadap keseluruhan impresi yang muncul dari tindakan individu tersebut. Seperti contoh, artis, pesepakbola, politisi, pengusaha, prektisi pendidikan, staf, kepala sekolah, guru, siswa, dan siapa saja.
Sehingga individu itu merupakan pemain peran (role player), manipulator dari alat-alat panggung, pakaian, bahasa tubuh, dan juga kata-kata yang semuanya sudah di skenario. Bagi Goffman individu yang memiliki kemampuan bersandiwara atau menampilkan diri melalui tindakan-tindakannya yang penuh dengan alat dan penanda simbolik merupakan individu yang memiliki kesempatan menjalin interelasi dengan orang lain (the others).
3.      Peter L. Berger Dan Thomas Luckman
Sosiolog pendidikan era 1970-an memperoleh sumbangan dengan munculnya tradisi baru, tradisi tersebut masuk dalam payung fenomenologis, yang lebih bersifat sosial. Peter L. Berger dan Thomas Luckman berangkat dari premis yang menyatakan bahwa manusia mengkonstruk realitas sosial meskipun melalui proses subyektif namun dapat berusaha menjadi obyektif. Menurut mereka, masyarakat termasuk didalamnya dunia pendidikan harus bisa dihadapi agar tidak menjadi constraining dan penekan kebebasan.
Oleh karena itu didalam institusi pendidikan masyarakat jangan hanya dijadikan sebagai unsur dan bagian “internal” subyektivitas kita, tetapi juga tempatkan sebagai bagian atau  unsur  “eksternal” kepribadian atau subyektivitas kita. Bukan hanya masyarakat ada dan menekan serta menjadi constrain dalam diri kita, namun diri kita harus ada dan membentuk masyarakat. Sosiologi pendidikan dengan demikian hendaknya memfokuskan hubungan intersubyektif masing-masing individu dengan dunia pendidikan atau sekolah di mana mereka mengikuti proses pembelajaran.
4.      Anthony Giddens
Anthony Giddens adalah seorang professor sosiologi di Universitas Cambridge. Lahir di Landon Utara, yang di kenal sebagai pencetus teori strukturasi. Yaitu proses dimana struktur dibentuk melalui tindakan dan tindakan dibentuk oleh struktur. Dengan membangun tradisi strukturasi, ia mengatakan bahwa domain study sosiologi bukan hanya aktor individual, dan atau sebaliknya, struktur masyarakat sebagai totalitas, melainkan praktek penataan kehidupan sosial yang berlangsung sepanjang ruang dan waktu (time and space).
Aktor mereproduksi apa yang terjadi berulang-ulang di masyarakat. Sementara itu beda dengan aktor, bagi seorang agen, mereka mereproduksi dan memproduksi prakondisi sehingga memungkinkan aktivitas mereka tersebut dapat dijalankan. Dalam melakukan aktivitas itu manusia selalu melakukan konseptualisasi dengan pengetahuan yang dimilikinya. Konsep pengetahuan manusia (human knowledge-ability) seperti inilah yang dijadikan landasan dalam sosiologi interpretative Giddens.
a.       Proses Produksi dan Reproduksi Sosial
Memberikan perhatian kepada makna-makna dari kondisi material yang muncul dalam kehidupan sosial; lebih memperhatikan motive maupun berbagai aksan dan bukan akibat tindakan, sedangkan pembagian kekuasaan dan perbedaan                                                                                                                  kepentingan dianjurkan untuk diabaikan.
Seperti yang dikutip waters, Giddens menyusun Sembilan ketentuan dalam metodelogi sosiologi yang terbagi dalam empat kategori sebagai berikut:


1.      Subyek analisis Sosiologi
Masyarakat bukan merupakan realitas obyektif yang telah jadi, tetapi diciptakan oleh tindakan-tindakan anggota-anggotanya.
2.      Keterbatasan manusia agency
Struktur memiliki kapasitas ganda (dual capacity), dalam hal ini bisa menjadi kendala (constraining), tetapi juga bisa memberi peluang (enabling) bagi manusia agency. Setiap tindakan manusia  atau struktur mengandung tiga aspek, yaitu: makna, norma, dan kekuasaan.
3.      Metodelogi Sosiologi
Sosiologi tidak mungkin menghindari pengalaman mereka sendiri sebagai basis memahami kehidupan sosial, bahkan hal ini harus dipegangi secara konsisten. Sosiologi harus melibatakan diri (immerse) ke dalam situasi yang menjadi subyek analisisnya.
4.      Konsep Formasi Sosiologis
Konsep formasi mencakup penafsiran ganda (double hermeneutic) penafsiran subyektif dengan memahami ranah internal individu dan obyektif dengan memahami ranah kehidupan eksternal.
Tugas utama sosiologi adalah melakukan rediskripsi terhadap setting sosial dengan meta-bahasa (metalanguage) dan selalu bisa dikonfirmasi terhadap prinsip bahwa masyarakat merupakan manusia agency manusia yang tidak hanya mereproduksi kehidupan eksternalnya tetapi juga memiliki kemampuan memproduksi praktik kehidupan  eksternal itu sendiri.
Giddens mengembangkan karakter tindakan refleksif (reflexive action) dan knowledgeability seorang agen. Untuk terjun dalam praktek sosial, seorang aktor harus mengetahui cara berpartisipasi sesuai konteks dan cara mengikuti suatu peraturan. Partisipasi aktor dalam kehidupan praktis berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana mengikuti aturan ini di sebut Giddens dengan sifat kehidupan sosial recursive.  Giddens dalam hal ini menyatakan bahwa pengetahuan manusia harus disentuh dengan pendekatan double hermeneutic. Artinya, mereka harus berusaha mencari makna dari berbagai peristiwa yang sebenarnya sudah di bentuk oleh masing-masing partisipan.
Melalui teori strukturasi (structuration theory), Giddens mengakui ada proses dinamis secara berkelanjutan dari dan dalam suatu struktur. Struktur sosial merupakan suatu medium dan sekaligus juga hasil (outcome) dan itulah sesungguhnya yang dimaksud dengan duality of structure, sebuah kata kunci atau konsep sentral dari teori strukturasi yang dikembangkan  Giddens. Selanjutnya, Giddens memandang suatu masyarakat pada dasarnya secara terus-menerus diproduksi oleh orang-orang yang berinteraksi dalam masyarakat itu sendiri. Suatu struktur sosial mengkonstitusi atau memproduksi tindakan, namun pada saat yang sama ia juga dikonstitusi atau di produksi oleh tindakan.
Teori Giddens ini sampai tingkat tertentu agaknya mulai menemukan relevansinya dalam kenyataan masyarakat, termasuk di Indonesia.  Jadi gagasan Anthony Giddens melihat bahwa hubungan antara individu dan struktur bukanlah terpisah dalam 2 (dua) kutub yang saling berlawanan (dualism). Giddens (1979) menggunakan dua istilah untuk individu, sebagai aktor dan kedua sebagai agen. Sebagaiman aktor, sebagaimana istilah yang didapat dalam teori-teori sosiologi mikro , mereka hanya mampu mereproduksi nilai-nilai yang gerasal dari struktur, tetapi sebagai agen, mereka mampu memproduksi tindakan-tindakan yang tidak salah; berasal dari nilai-nilai tersebut.
Di dalam proses ini kesadaran individu  bisa berada dalam taraf tertinggi yakni taraf diskurtif (discursive consciousness) yakni taraf rasionalisasi tindakan yang tidak hanya ia simpan dalam pikiran  tetapi juga bisa ia kemukakan dengan bahasa, tetapi aktor bisa saja memahami makna tetapi hanya disimpan diam-diam dalam pikirannya, yang walaupun  diam-diam  ia melakukan tindakan dan inilah yang disebut Giddens dengan kesadaran praktis (practical consciousness) yakni bagaiman bertindak dalam kehidupan sosial ini tidak terucapkan. Kemungkinan ketiga, aktor akan berada dalam level ketidaksadaran akan motive dan kognisinya.
b.      Sumbangan dan Kelemahan Teori Strukturasi
Teori Giddens mempunyai andil tersendiri dalam mengatasi kelemahan teori-teori terdahulu dengan membangun sikap kritisisme, Giddens juga berjasa dalam menempatkan prespektif agency sehingga menjadi bagian dari tradisi sosiologi kontemporer, karena dinilai banyak ilmuwan, Giddens paling berhasil dalam membuat formulasi diantara para penganut teori agency. Argumentasi Giddens mengandung beberapa titik lemah, antara lain rekontruksi dan usaha-usaha melakukan sintesanya tidak berhasil keluar dari konservatisme.  Hubungan dualitas yang ia tawarkan tidak berhasil memecahkan persoalan.
Rekontruksi dan sintesanya mengandung bias, karena ia lalu hanya cenderung membongkar struktur logika berbagai prespektif teoritik. Sebagai metedologi, teori strukturasi lemah dalam membangun subtansi konsep, dan hasil dari sintesa yang ia lakukan secara eklektik menimbulkan kesan sebagai parasit  dari pemikir-pemikir lain, sekaligus hal  ini mengurangi orisinalitas pemikirannya. Lebih jauh, ketika dihadapkan kepada kondisi manusia dewasa ini, strukturasi tidak banyak bicara. Demikian strukturasi Giddens tidak bisa berbicara untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan politik dan etik. Namun demikian, setidak-tidaknya Giddens bisa dinilai telah menyumbang catatan yang baik mengenai kecenderungan pemikiran abad 20.
5.      Piere Bourdieu
      Salah satu kajian dari Piere Bourdieu berkaitan dengan struktur dan modal sosial yang kemudian memasuki persoalan reproduksi sosial. Disamping itu, Bourdieu lebih fokus pada dikotomi antara realitas objective dengan subjective, yang kemudian dibawa memasuki kajian dikotomi antara struktur dan agency. Kajian itu dia bangun berdasarkan kerangka teoritik disekitar konsep tentang habitus, field, dan modal budaya. Habitus yang bermuatan pengalaman masa lalu, disimpan dalam bentuk persepsi, pemikiran, dan tindakan. Habitus digunakan untuk membangun persepsi, pemikiran, dan tindakan saat ini atau di ruang waktu tertentu. Jika habitus sudah diwujudkan menjadi persepsi, pemikiran, dan tindakan nyata, maka ia menjadi obyektif, dan ini disebut dengan lapangan (field) –yaitu sitem struktur dari relasi sosial antara ranah mikro (subyektif) dengan makro (obyektif) yang wujudnya bisa menjadi seni, hukum, industry, ekonomi dll.
      Habitus muncul dalam beberapa bentuk seperti:
a)      Kecenderungan empiris untuk bertindak, misalnya dalam memilih gaya hidup
b)      Motivasi atau preferensi, citarasa dan emosi
c)      Perilaku yang menjelma menjadi kepribadian
d)     Tantangan dunia
e)      Ketrampilan dan kemampuan sosial praktis, dan
f)       Aspirasi yang berkaitan dengan perubahan hidup.
Konsep tentang habitus, field, dan modal budaya dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa struktur obyektif menentukan probabilitas peluang hidup seseorang, melalui mekanisme habitus, yang dalam hal ini individu menginternalisasi struktur di sekitarnya. Namun habitus juga dibentuk oleh posisi individu di beberapa bidang (field), keluarga mereka, dan juga pengalaman hidup sehari-hari.
Bourdieu menggunakan konsep modal budaya dalam rangka mengeksplorasi perbedaan outcome atau prestasi siswa dari berbagai kelas yang berbeda dalam sistem pendidikan di Perancis. Dia mengeksplorasi ketegangan antara reproduksi konservatif yang inferior dengan produksi innovative yang superior. Bourdieu melihat ketegangan hubungan antara formasi budaya masa lalu dan masa sekarang. Semua itu dikembangkan dan direproduksi di sekolah yang menumbuhkan hubungan spesifik. Seperti yang dijelaskan oleh Harker (1980:87), budaya kelompok dominan yang ditanamkan di sekolah, kemudian di sini awal dimulainya proses reproduksi sosial yang ditandai dengan peminggiran budaya kelompok lemah.
Menurut Bourdieu seperti dikutip Swartz (2000:209) modal budaya kelompok dominan, pada tataran praktis dan dalam relasinya dengan budaya diasumsikan menjadi type modal budaya yang dianggap paling tepat. Modal budaya kelompok dominan inilah yang dinilai legitimate. Keadaan seperti ini mendorong terjadinya uniformitas dikalangan semua siswa.
Memang, dengan konsep modal budaya semacam ini memungkinkan siswa memperoleh modal budaya pendidikan yang lebih baik. Tetapi, jika tidak memiliki modal budaya yang dominan, akan menjadi pihak yang tidak diuntungkan. Untuk mengatasinya, cara yang mereka lakukan adalah dengan mempertukarkan modal budaya yang ia miliki. Menurut Gorder (1980:226) proses pertukaran itu tidak terjadi secara langsung, melainkan tergantung pada pola hubungan kekuasaan, dan juga semangat atau etos dari siswa yang berasal dari kelas bawah.
Dengan mode reproduksi sosial di sekolah seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka siswa sekolah bukan hanya mengalami kesulitan dalam mencapai keberhasilan. Lebih dari itu, siswa harus berbuat sesuatu yang pada hakikatnya adalah melawan instink dan harapan-harapan subyektif mereka sendiri. Mayoritas siswa yang berhasil di sekolah mereka harus menginterbalisasi nilai-nilai klas dominan dan mengambilnya menjadi miliknya, dan menghancurkan habitus dan tata nilai yang asli yang mereka miliki sebelumnya.

2.2  PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKSIONISME
1.      Dimulai Dari Makna dan Self-Concept
      Konstruk atau cara individu mempersepsikan, memaknai dan mendefinisikan kehidupan sehari-hari itulah yang akan menentukan format kehidupan nyata. Oleh karena itu, perspektif konstruksionis ini diklasifikasi dalam paradigma definisi sosial, bukan paradigma fakta sosial atau perilaku sosial.
      Menurut sosiolog pendidikan yang menganut perspektif konstruksionis, proses pendidikan hanya akan dapat difahami dengan cara menelusuri dunia subyektif, dunia makna, dan self concept individu yang berada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Bagaimana individu yang bergerak dalam dunia pendidikan itu memahami, mengkonstruk, memaknai, dan mengkonsepsi realitas di sekitarnya itulah yang harus dikaji, dan bukan faktor struktural yang berada di luar individu.
      Perbedaan konstruk, self concept, dan pemaknaan dapat dilihat dari latar belakang individu. Perbedaan latar belakang menentukan cara mereka mengkonstruk, mengkonsep, dan memaknai pendidikan itu sendiri. Pemaknaan itu ditentukan oleh pengalaman-pengalaman subyektif masing-masing siswa yang berkaitan erat dengan latar belakang gender, etnis, sosial ekonomi, dan agama.
      Dalam kehidupan masyarakat ada banyak faktor seperti institusi sosial, ekonomi, politik, budaya dan juga agama yang mempengaruhi pendidikan. Namun semua itu akan sangat tergantung bagaimana individu mengkonstruk, mengkonsepsikan, dan memaknainya. Dalam teori interaksi simbolik, konstruk, konsepsi dan pemaknaan itu dilakukan dalam proses interaksi sosial. Cara mereka memaknai dunia di sekitarnya, dilakukan sejalan dengan interaksi yang mereka lakukan dengan aktor pendidikan yang lain. Makna yang mereka berikan bisa berubah dalam proses interaksi itu.
      Dengan demikian, pembelajaran menurut sosiolog pendidikan yang mengambil perspektif konstruksionis harus dilakukan berdasarkan self-concept, atau pemaknaan yang diberikan oleh masing-masing aktor yang ada di dalam proses pendidikan itu. Self concept mereka itu berakar pada sub kultur, bangunan pengalaman, model pengetahuan, pengharapan, bayangan-bayangan, dan konsep-konsep ideal yang mereka miliki. Tugas sosiolog pendidikanlah untuk memahami dan menelusuri hal-hal tersebut. Semua itu dapat diperoleh jika sosiolog pendidikan mampu menelusuri apa yang ada di balik kesadaran individu, bukan mencari di dalam struktur eksternal.
2.      Dibangun Melalui Hubungan Intersubyektif
      Dalam perspektif konstruktivisme, pengetahuan siswa adalah produk interaksi mereka dengan dunianya. Salah satunya adalah hasil interaksi dengan guru. Dalam menjalankan interaksinya, guru selalu berangkat dari cara mereka melabeli siswanya. Label itu diberikan berdasarkan pemaknaannya terhadap perilaku dan sifat-sifat siswanya. Dengan label itu guru menentukan tindakan tertentu dalam proses pembelajaran.
      Namun harus dicatat bahwa, tindakan guru dan siswa selalu bersifat intersubyektif. Artinya, guru maupun siswa, masing-masing saling memonitor cara-cara masing-masing mempersepsikan situasi di ruang dan waktu mana interaksi mereka lakukan. Dalam proses interaksi itulah masing-masing mendefinisikan dunianya, hasil dari definisinya itu lalu masing-masing menentukan tindakannya.
      Menurut Giddens, tahap individu dalam berinteraksi dengan gurunya yaitu: self monitoring terhadap dunianya > rasionalisasi > penafsiran terhadap dunia sekeliling, dan ini yang menjadi dasar tindakan yang akan dilakukan.
      Menurut Vygotsky, masyarakat dianggap sebagai sebuah realitas hasil negosiasi dan definisi para aktor yang ada di dalamnya. Disamping itu, pendidikan lalu dikonsep sebagai pendefinisian realitas. Dengan demikian proses pembelajaran di sekolah harus dijaga di dalamnya kelangsungan interaksi siswa dengan guru, peer group, dan orang lain di lingkungannya, karena interaksi merupakan inti proses pendidikan.
      Dalam menyusun strategi pendidikan, perspektif ini menganjurkan untuk menghindari bias dalam interaksi di klas. Dengan kata lain, kesamaan hak memperoleh peluang dan perlakuan dalam klas menjadi fokus dalam hal ini. Pada tataran perencanaan, perspektif ini menganjurkan agar dilakukan pelatihan guru, fokuskan terhadap identitas diri siswa yang positif dan kepercayaan diri, menghapus labeling, dan skema transformasi berdasar pengalaman siswa.
      Pendekatan konstruktivist mengimplikasikan pilihan strategi pengelolaan kelas yang spesifik. Pertama, pembelajaran harus diarahkan kepada pengalaman dan aktifitas yang berpusat pada siswa. Dalam hal ini, pengelolaan kelas dilakukan dengan menerapkan pendekatan Discovery learning. Pendekatan konstruktivistik lebih banyak mendorong guru memberi kesempatan siswa belajar dan melakukan aktifitas bersama. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran cooperative learning, collaborative learning dan  peer-assisted learning merupakan pendekatan  yang dianjurkan. Dalam konteks ini, tugas guru adalah menyiapkan pedoman kelompok yang fair. Lakukan negosiasi kegiatan yang akan dilakukan, dan beri kesempatan siswa ikut menilai kegiatan pembelajaran mereka.
      Pendekatan konstruktivistik sangat peduli dalam menghantarkan siswa yang baru memulai belajar untuk menguasai tujuan pembelajaran, serta mendorong siswa agar dapat belajar secara mandiri. Pendekatan reciprocal learning juga dianjurkan digunakan dengan mengkombinasikan pembelajaran kolaboratif dengan petunjuk guru dan model belajar secara otonom. Oleh karena itu, dorong interaksi positif antara guru dan siswa dalam satu hubungan partnership yang baik. Luangkan waktu dialog, mendengar dan memberi respon kepada siswa. 



III.   PENUTUP
Sosilogi pendidikan merupakan pengembangan dari dua disiplin ilmu yang sudah mapan, bahkan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat modern, yaitu sosilogi dan pedagogik. Kemudian Teori strukturasi memperlihatkan dalam pendidikan, kehidupan sosial terdapat hubungan pemahaman atau penafsiran dengan munculnya sistem sosial yang berkembang di luar individu skala yang luas.
Dalam pendidikan konstruktivistik, pembelajaran sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan oleh siswa dilakukan ditemapat mana siswa sebagai partisipasi.Paradigma konstruktivistik mengembangkan inisiatif dan kreatifitas. Paradigma behavioristik, memberikan kesempatan sedikit saja bagi inisiatif dan munculnya kreatifitas secara individu. Inisiative dan kreatifitas siswa dalam paradigma paradigma behavioristik dikunci oleh program pembelajaran yang terkontrol secara ketat. Dengan demikian paradikma konstruktifisik menjadikan siswa aktif dan menentukan apa yang harus difikirkan dan dipelajari.



DAFTAR PUSTAKA



Maliki.Zainuddin.2008.Sosiologi Pendidikan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

2 komentar: