Senin, 12 Mei 2014

KURIKULUM, SISTEM EVALUASI, DAN TENAGA PENDIDIKAN SEBAGAI UNSUR STRATEGIS DALAM  PENYELENGGARAAN SISTEM PENGAJARAN NASIONAL
Prof. Dr. H. Soedijarto, MA.

TUGAS TERSTRUKTUR KELOMPOK
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Assesment Pembelajaran IPS
yang dibinaoleh bapak Drs. Timotius Suwarna, M.Pd.

Oleh kelompok 4
Chilma Alawiyah                                (120741421192)
Desiska Arysanti                                 (120741421228)
Mulyoadi                                             (120741404092)
Nadiyya Qurrotu Aini Zummi            (120741421230)
Weni Andriana                                    (120741421217)



UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Februari 2014



Pendahuluan
Memasuki tahun 2004,  sejak Indonesia merdeka, kita telah mengenal
berbagai kurikulum, ada kurikulum 1947, kurikulum tahun 1950-an, kurikulum
tahun 1964, kurikulum tahun 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan
kurikulum 1994.
Perubahan kurikulum tersebut  banyak yang dipengaruhi oleh perubahan politik. Kurikulum 1964 disusun untuk meniadakan MANIPOL-USDEK, kurikulum 1975 digunakan untuk memasukkan Pendidikan Moral Pancasila, dan kurikulum 1984 digunakan untuk memasukkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum 1994, di samping meniadakan mata pelajaran PSPB juga diperkenalkannya sistem kurikulum SMU yang dimaksudkan untuk menjadikan pendidikan umum benar- benar sebagai pendidikan persiapan ke perguruan tinggi.
Dari serangkaian perubahan kurikulum, yang didasarkan atas hasil penilaian nasional pendidikan (national assessment) hanyalah kurikulum 1975 dan kurikulum PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (1974-1981)).
Selebihnya merupakan perubahan yang didasarkan atas asumsi teoretik, bukan
atas dasar temuan-temuan hasil evaluasi yang dilakukan secara sistematik.

Makna Kurikulum sebagai Unsur yang Strategis dalam Pendidikan Sekolah
       Para pendiri Republik sadar akan adanya jurang antara
kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat negara kebangsaan yang modern
dan demokratis yang berdasarkan Pancasila dengan kondisi perkembangan
masyarakat Indonesia pada saat proklamasi. Karena itu harapan terbesar dari
suatu masyarakat yang melakukan transformasi budaya adalah menjadikan
sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap
dari warga masyarakat moderen.
Dengan demikian kedudukan kurikulum sangatlah strategis.melalui proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses pembudayaan. Yang akan terjadi secara efisien, dan efektif melaluisuatu sistem kurikulum yang dirancang secarasistematik sejak penentuan tujuan yangharus dicapai, materi yangharus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dansistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan.
Kalau kita cermati, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-
Undang Pendidikan Nasional, baik UU No. 4 Tahun 1950,  UU No. 12 Tahun
1954, atau UU No. 2 Tahun 1989
dan yang terakhir UuNo. 20 Tahun 2003 kesemuanya mencitakan wujud sosok manusia yang ideal.
Ketercapaiannya tidak mungkin tanpa suatu proses yang
terencana, terprogram, dan terlaksana dengan efisien, efektif, dan relevan.
Tetapi pada umumnya tujuan pendidikan yang demikian ideal selama ini tidak
pernah dengan sungguh-sungguh diterjemahkan secara operasional dan
diupayakan ketercapaiannya. Bahkan banyak sementara orang (termasuk para
pejabat atau pakar) yang memandang hal tersebut tidak mungkin dapat dicapai
oleh sekolah. Mereka ini adalah kaum realis, dalam pengertian kalau
penyelenggaraan pendidikan disekolah dengan kondisi seperti yang berlangsung
sampai dengan hari ini, dalam pengertian rendahnya kesungguhan dan
kemampuan guru, serta terbatasnya, bahkan tanpa fasilitas serta sarana dan
prasarana yang diperlukan, dengan pengertian waktu yang terbatas, dalam
pengertian model pembelajaran yang tidak lebih dari mendengar, mencatat,
dan menghafal dengan evaluasi hanya mengukur kemampuan mengingat apa
yang telah dipelajari dengan keterbatasan buku bacaan baik untuk guru dan
murid. Kalau tetap demikian memang segala tujuan itu tidak akan dapat dicapai.
Kalau demikian sesungguhnya tidak perlu kita mengubah kurikulum bahkan
tidak perlu mengubah UU Sisdiknas, karena semuanya tidak dengan sendirinya
dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Tulisan ini memandang kalau sikap ini yang tetap berada di benak semua
lapisan masyarakat Indonesia dari elit politik, pakar, sampai guru dan orang
tua murid, sesungguhnya mengharapkan pendidikan nasional berfungsi
mencerdaskan kehidupan bangsa sangat berlebihan karena tidak akan dapat
terlaksana.
Tulisan ini berpandangan bahwa sekolah dengan kurikulum yang dirancang dan dilaksanakan secara relevan, efisien dan efektif akan mampu mendukung terlaksananya fungsi pendidikan nasional utnuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kebudayaan nasional.
Tujuan dan Materi Kurikulum yang Relevan
Tujuan
Tujuan pendidikan yang selama ini dirumuskan dalam pelbagai UU pendidikan nasional kita, akan menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang:
(1)      Religius dan bermoral;
(2)     Menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan;
(3)     Sehat jasmani dan rohani;
(4)     Berkepribadian dan bertanggungjawab
Keempat karakteristik tersebut hakekatnya karakteristik yang bersifat
universal, dan masih perlu diterjemahkan kedalam rumusan yang operasional dan terkait dengan perkembangan masyarakat. Dalam menterjemahkan keempat karakteristik  tersebut perlu dipahami tingkat dan arah perkembangan masyarakat Indonesia.
Indonesia saat ini berada dalam era globalisasi yang berarti berlakunya berbagai ukuran dan aturan internasional dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan dan tehnologi, komunikasi/transportasi bahkan kehidupan keagamaan. Maka hanyabangsa yang berkualitas sumber daya manusianya, yang dalam bidang ekonomiditunjukkan dengankemampuannya:
1)   Mengolah dan mengelola sumber daya alam,
2)   Pengembangan teknologi,
3)   Menghasilkan komoditas yang bermutu dan dapatbersaing di pasar dunia,
4)   Mengelola modal; dan
5)   Mengelola perdagangan(Harbison-Myers), yang dapat bertahan dan secara berkesinambungan maju.
Agar negara bangsa Indonesia dapat bertahan sebagai negara yang merdeka dan bermartabat diperlukan manusia Indonesia yang berkualitas yang mampu mendukung :
(1)      Sistem politik demokrasi yang stabil berdasarkan Pancasila;
(2)      Sistem ekonomi nasional yang mantap infrastruktur fisiknya, infrastruktur
teknologinya, infrastruktur tenaga manusianya, berkembang wirausahanya
dan tumbuh pengusaha kecilnya;
(3)      Sistem pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang tangguh;
(4)       Majunya kebudayaan dalam berbagai seginya baik kesenian, kesusastraan,
maupun dimensi kognitif dan normatif dari kebudayaan nasional; dan
(5)       Mantapnya etika sosialnya.
Identifikasi kemampuan, nilai dan sikap yang perlu dikuasai
dan dimiliki manusia terdidik Indonesia yaitu :
(1)       Memiliki kemampuan, nilai dan sikap yang memungkinkannya
berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam proses politik;
(2)       Memiliki kemampuan, etos kerja, dan disiplin kerja yang
memungkinkannya dapat secara aktif dan produktif berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan ekonomi,
(3)       Memiliki kemampuan dan sikap ilmiah untuk dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui kemampuan penelitian dan
pengembangan,
(4)       Memiliki kepribadian yang mantap, berkarakter dan bermoral, serta
berakhlak mulia.
Setelah teridentifikasi empat gugus kemampuan, nilai dan sikap yang terkait
dengan kepentingan terwujudnya masyarakat Indonesia moderen dan
bermartabat di era globalisasi, pertanyaannya adalah "Materi pendidikan
manakah yang harus dijadikan obyek belajar ?"
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 maupun UU No. 20 tahun 2003
telah memberikan jawaban seperti yang dikutip dibawah ini.
Menurut UU No. 2 th. 1989
Menurut UU No. 20 Thn 2003
(Pendidikan Dasar)
(Sampai Sekolah Menengah)
a.Pendidikan Pancasila
a. Pendidikan Agama
b.Pendidikan Agama
b. Pendidikan Kewarganegaraan
c.Pendidikan Kewarganegaraan
c. Bahasa
d.Bahasa Indonesia
d. Matematika
e.Membaca dan Menulis
e. Ilmu Pengetahuan Alam
f. Matematika, termasuk berhitung
f. Ilmu Pengetahuan Sosial
g.Pengantar Sains dan Teknologi
g. Seni, Budaya, dan Olah raga; serta
h.Ilmu Bumi
h. Ketrampilan, Kesenian dan MuatanLokal
i. Sejarah Nasional dan Sejarah Umum

j. Kerajinan Tangan dan Kesenian

k. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan

l. Menggambar

m. Bahasa Inggris

Kedua ketentuan yang terdapat dalam UU No. 2 tentang SISDIKNAS dan UUSISDIKNAS (2003) nampaknya berbeda, tetapi hakekatnya yang perlu dipertanyakan adalah mengapa mata pelajaran tersebut yang ditentukan dan apakah benar mata pelajaran tersebut menunjang tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Pendekatan Proses Pembelajaran dan Implikasinya terhadap Sistem Evaluasi
Pendekatan Proses Pembelajaran
Seperti yang dikemukakan oleh Whitehead, bahwasannya bila proses pembelajaran dapat merangsang, menantang dan menyenangkan sampai pada tingkat “joy of discovery”, yang diharapkan akan bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. UNESCO melalui International Commision on Education for The Twenty First Century yang bertujuan untuk mengubah dunia "from technologically divided world where high technology is privilege of the few to technologically united world".  Mengusulkan empat pilar belajar yaitu "learning to know, learing to do, learning to be, and learning to live together".
Penerapan empat pilar belajar memungkinkan peserta didik dapat menguasai pengetahuan, dapat menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dapat berinteraksi secara aktif  dengan sesama sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran empat pilar harus didukung oleh tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai dan materi yang terpilih dan waktu yang cukup serta tidak mengejar target untuk UN yang hanya akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”.
Empat pilar belajar UNESCO dipandang sebagai pendekatan belajar yang perlu diterapkan untuk menyiapkan generasi muda memasuki abad 21. Pendekatan empat pilar berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, semenjak AS tertinggal dari Uni Soviet dalam bidang teknologi ruang angkasa tahun 1957. Menurut pandangan Whitehead (1916) sebagai bentuk kritik kepada praktek pendidikan pada permulaan abad ke-20, menekankan agar peserta didik sejak dini harus dapat menikmati proses penemuan. Kalimat lengkapnya tertulis sebagai berikut:
"Let the main ideas which are introduced into a child's education be few
and important, and let them be thrown into every combination possible. The
child should made them his own, and should understand their application here
and now in the circumstance of his actual life. From the very beginning of his
education, the child should experience the joy of discovery6)".
Kemudian kritik ini menjadi landasan pembaharuan pendidikan di Amerika Serikat pasca Sputnik. Selanjutnya muncul pemikir-pemikir pendidikan di Amerika Serikat seperti Philip Phenix, Jerome Bruner, dan Israel Sheffler.
Gerakan pembaharuan pendidikan di AS juga mempengaruhi negara-negara Eropa Barat dan membuahkan kemajuan IPTEK yang berpengaruh kepada perkembangan negara-negara Barat. Memasuki akhir abad ke-20 dunia semakin mengglobal sehingga perbedaan kemampuan antara negara maju dan berkembang semakin lebar, sadar akan hal tersebut  UNESCO membentuk suatu komisi Internasional yang tujuannya memberikan rekomendasi kepada UNESCO untuk menerapkan empat pilar belajar.
Terdapat sebuah kutipan dari laporan Komisi Internasional, yang menunjukkan situasi paradoksal yang dihadapi negara berkembang mengenai pendidikan yang diharapkan untuk dapat membentuk karakter dan mental generasi muda sehingga dapat melakukan transformasi budaya. Pernyataan seperti ini di Indonesia merupakan suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya di negara berkembang pada umumnya, termasuk Indonesia mengakibatkan berjubelnya sekolah, guru yang secara profesional kurang memenuhi syarat, proses pembelajaran tidak lebih dari mencatat, menghafal, dan mengingat kembali yang berdampak tidak adanya kesempatan untuk menerapkan pendekatan modern dalam proses pembelajaran. Ketika peserta didik tidak mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu akan merugikan masyarakat karena akan sukar untuk memperoleh SDM yang bermutu untuk pembangunan masyarakat.
Ketertinggalan negara berkembang dari negara maju dalam penguasaan IPTEK, melatarbelakangi kemajuan ilmu, stabilnya sistem politik dan pemerataan pendidikan. Latar belakang inilah UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar.
Learning to Know
                        Menurut Philip Phenix, learning to know adalah proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan "ways of knowing' atau "mode of inquiry”, dimana peserta didik terus belajar dan memperoleh pengetahuan baru tidak hanya menerima pengetahuan dari orang lain. Sehingga pada hakekatnya "Learning to Know" adalah proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan.
Israel Scheffler membahas mengenai learning to know Menurutnya pilar learning to know terkait dengan relevansi epistemology, mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji. Dan  relevansi learning to know dari sudut pandang pendidikan tinggi, dimana disiplin ilmu pengetahuan membutuhkan learning to know untuk sampai pada tahap “mode of inquiry” yang merupakan bentuk paling tertinggi dari berpikir dalam disiplin ilmu. Penalaran pilar learning to know pada tingkat pendidikan tinggi adalah penerapan paradigma penelitian ilmiah dalam pelaksanaan perkuliahan. Model pendekatan demikian dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan sendirinya akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
Learning to do
                        Pilar belajar yang kedua sasarannya adalah pada kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industri, yang mana dalam ekonomi industri di tuntut untuk memiliki kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan seperti, "controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing”. Demikian sangat diharapkan karena pekerjaan yangbersifat fisik saat ini telah diganti dengan mesin. Dunia kerja yang dalam "technology knowledge based economy",  diharuskan sudah menyiapkan masyarakat yang bertindak konkrit, tidak hanya terbatas kepada penguasaan ketrampilan yang mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatsi konflik.
                        Menurut Whitehead learning to do berkaitan dengan pendidikan sebagai upaya penguasaan seni menggunakan pengetahuan, yang berarti inovasi sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah untuk melahirkan generasi baru yang intelegennya bagus dalam bekerja. Sedangkan menurut Scheffler learning to do berkaitan dengan relevansi psikologis,
            Learning to Live Together
                        Kemajuan IPTEK dan ekonomi saat ini ternyata tidak menghapus konflik antara manusia, dimana konflik terjadi karena prasangka, baik ras, suku, agama, dan status sosial, serta antar negara. Konflik sosial bahkan terjadi pula baik horizontal maupun vertikal. Sulitnya menciptakan kerukunan, toleransi,  saling pengertian dan saling bebas dari prasangka, menuntut peran pendidikan supaya membekali generasi muda tidak hanya untuk menguasai IPTEK dan kemampuan untuk bekerja  memecahkan masalah, namun kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka.
Learning to be
            Ketika pilar diatas ketika sudah terlaksana dengan baik maka akan menimbulkan sikap rasa percaya diri pada peserta didik. Menurut UU No. 2 Th. 1989 adalah manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh memiliki kemantapan emosional, intelektual, mengenal dan mengendalikan dirinya, konsisten, memiliki rasa empati atau "EmotionalIntelligence". Untuk sampai pada learning to be maka harus sampai kepada tingkatan "joy of discovery" pada pilar "learning to
know",
tingkatan joy of being succesful in achieving objective, pada "learning
to do",
dan tingkatan joy of getting together to achieve common goal.
Orang tidak menolak bahwa diselenggarakannya suatu sistem pendidikan bertujuan untuk dihasilkannya manusia dewasa yang  terdidik  secara intelektual, moral, kepribadian, dan kemampuan. Akan tetapi,akhir-akhir ini yang sering disorotiorang adalah dimensipenguasaan pengetahuan peserta didik yang belum tentu berdampak kepadapengembangan kemampuan intelektual, kematangan pribadi, kematanganmoral dan karakter.
Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar yang dilakukanpada akhir jenjang satuan pendidikan seperti UAN (Ujian Akhir Nasional) tidakdapat diharapkan dapat berdampak terhadap efektifitas tercapainya tujuan pendidikan nasional. Hal ini karena menurut Benyamin Bloomtingkah laku belajar peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan pesertadidik tentang apa yang akan diujikan. Dengan demikian kalau yang akan diujikanadalah penguasaan pengetahuan yang telah dihafal, maka pesertadidik hanya akan  belajar  materi yang akan diujikan. Akibatnya, peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akandiujikan, seperti belajar meneliti, belajar menulis makalah, belajar mengapresiasi karya sastra, belajar berdemokrasi dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.
Untuk tercapainya berbagai tujuan pendidikan,perlu dikembangkan dan dilaksanakan evaluasi secara komprehensif, terus-menerus dan obyektif. Evaluasi yang demikian hanya dapat dilakukan olehseorang guru yang profesional yang mampu merencanakan, mengelola, memotivasi, dan menilai proses pembelajaran yang berlangsung dari hari kehari. Evaluasi semacam ini hakekatnya merupakan bagian dari kurikulum itusendiri, yang berfungsi sebagai bagian dari strategi penguatan "reinforcementstrategy" atau dalam bahasa teknis kurikulum disebut sebagai salah satu wujuddari "hidden curriculum". Masalah evaluasi semacam inilah yang perludilaksanakan dalam suatu pendidikan yang mendudukkan "classroom as socialsystem (Parson), dan sekolah sebagai pusat sosialisasi/pembudayaan berbagaikemampuan, nilai, dan sikap (Inkoles).
       Model evaluasi hasil belajar yang tradisional yangdilakukan pada akhir satuan jenjang atau kelas seperti "ulangan umum" pada akhir semester, dan hasilnya tanpa dipengaruhi hasil kegiatan belajarharian dan kemudian dimasukkan ke dalam rapot atau Ujian Akhir Nasional (UAN) yangdilakukan pada akhir jenjang pendidikan dan hasilnya menentukan kelulusan seseorang. Model terakhir ini dari sudut pandang teori belajar sosial, dampak negatifnya lebih banyak daripada dampak positifnya.
Untuk kepentingan pengelolaan pendidikan secara nasional disadari perlunya secara periodik diadakan evaluasi hasil belajar tingkat nasional atau lebih tepatdisebut "Nasional Assesment". Fungsinya sebagai bagian dari manajemenpendidikan secara nasional adalah untuk memperoleh gambaran tentang petamutu pendidikan nasional sebagai alat umpan balik guna mendiagnosis faktor-faktor penyebab dari keberhasilan dan ketidakberhasilan suatu sekolah ataudaerah dalam membantu peserta didik dalam mencapai tingkatan hasil belajar yang diharapkan.

Peranan Guru dan Implikasinya terhadapProfesionalisasi Jabatan Guru
Kurikulum yang dirancang dan dilaksanakan sesuai dengan kaidah kependidikanyang secara akademik dan profesional dapat dipertanggungjawabkan dengandidukung oleh penerapan model evaluasi yang relevan dengan tujuan pendidikan,hanya akan secara efisien dan efektif terlaksana bila dilakukan oleh guru yang memiliki kemampuan profesional.
Jabatan profesional  yang secara universal diakui adalah jabatan yang memerlukan pendidikan lanjutan dan pelatihankhusus (advanced education and special training).Sebab  jabatan profesional adalah jabatan yang memerlukan kemampuan merencanakan, kemampuan mengelola, kemampuan mengendalikan, kemampuan memonitor,kemampuan menilai, dan kemampuan mendiagnosis. Untuk guru yangberderajat profesional disamping kemampuan-kemampuan tersebut, diperlukantambahan kemampuan memberikan bimbingan dan kepemimpinan yangdidasarkan atas pemahamannya atas peserta didik, penguasaannya atas ilmupengetahuan sebagai bahan ajar, dan teknologi pendidikan (didaktik, metodik, dan paedagogik).Dengan demikian jelas betapa tingginya tuntutan profesionalitas seorangguru profesional.
Untuk itu James B. Conant sebagai bagian dari reformasipendidikan di Amerika Serikat akibat dari ketertinggalan Amerika Serikat dalamteknologi ruang angkasamensyaratkan calon guru haruslah mereka (lulusanSMA) yang berada pada peringkat 20% keatas.Untuk memenuhi tuntutan profesional ini dalam mencoba untuk membahas masalah Guru dan pendidikannya, ISPI perlu membahas dan menentukan hal- hal berikut :
(1)     standar profesionalitas tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya:
(2)      hierarki profesional kependidikan;
(3)      persyaratan pendidikan pra-jabatan profesional tenaga pendidik
berderajat profesional;
(4)     standar pendidikan profesional tenaga kependidikan;
(5)     sertifikasi profesional tenaga kependidikan.
Demikianlah beberapa pemikiran untuk dibahas sebagai upaya menyusun
rekomendasi bagi peningkatan mutu pendidikan nasional.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar