Sabtu, 15 Juni 2013

PEREKONOMIAN INDONESIA

TUGAS KELOMPOK
PEREKONOMIAN INDONESIA

KELOMPOK 1
Prodi : Pendidikan IPS / Off : B
Anggota:
1.      Arif Mustaqim                                               
2.      Muhammad Khoiruddin Alkaf           
3.      Fafa Faujiah                                        
4.      Finda Eka Yulviana                           
5.      Nadiyya Qurrotu Aini Zummi            

Masalah yang didiskusikan!
1.      Dari kajian geografis, Indonesia adalah Negara kepulauan. Pada Agustus 2009, kementrian kelautan dan perikanan (Freddy Numberi) mengumumkan jumlah pulau di Indonesia sebanyak 17.480 pulau. 4.891 pulau sudah diberi nama dan sudah didaftarkan ke PBB. Jelaskan apa makna dari jumlah pulau yang relatif banyak tersebut bagi perekonomian Indonesia.
2.      Dari kajian geografi, jumlah penduduk Indonesia pada akhir Desember 2012 sebanyak 245 juta jiwa. Jelaskan makna jumlah penduduk Indonesia tersebut bagi perekonomian Indonesia.

Hasil Diskusi!
1.      Makna dari jumlah pulau yang relative banyak tersebut bagi perekonomian Indonesia yaitu:
·         Sebagai lambang kemakmuran dan kekayaan bumi Indonesia dengan hasil bumi, laun dan perikanan, yang memiliki arti bahwa Indonesia adalah Negara dengan tingkat perekonomian yang cukup maju dan berkembang. Dan hal tersebut patut untuk diperhitungkan di kancah Internasional.
·         Sumber Daya Alam yang terdapat di pulau-pulau tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangunan dan pertumbuhan perekonomian Indonesia.
·         Pulau-pulau tersebut sebagai penghasil kekayaan Negara Indonesia, dengan memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada. Banyak produk yang dapat dikembangkan sebagi komoditi perdagangan, baik untuk pasar lokal dan internasional, sebaliknya apabila pulau-pulau itu jatuh ketangan negara asing, akan menjadi ancaman bagi negara Indonesia, masyarakat lokal akan dirugikan karena hasil kekayaan alam di daerahnya harus diberikan pihak asing.
·         Dilihat dari letak geografisnya negara Indonesia  memiliki banyak kekayaan alam yang melimpah. Kekayaan yang melimpah tersebut, tersebar pada pulau-pulau yang terhampar di Indonesia. Keeksotikan pulau-pulau dengan kekayaannya yang melimpah tersebut menarik banyak wisatawan yang membantu perekonomian Indonesia. Sebagian besar pemasukan perekonomian Indonesia berasal dari memanfaatkan pulau-pulau tersebut sebagai kerpariwisataan.
2.      Makna jumlah penduduk Indonesia yang banyak tersebut bagi perekonomian Indonesia yaitu:

Dalam hal ini terdapat makna positif dan negatifnya. Makna positifnya, pertumbuhan penduduk yang begitu cepat setiap tahunnya apabila diimbangi dengan SDM yang baik maka akan sangat membantu perekonomian Indonesia, karena SDM yang baik dapat bermanfaat untuk kemajuan dan perkembangan proses kegiatan perekonomian (produksi, distribusi dan konsumsi). Makna negatifnya apabila penduduk mempunyai kualitas SDM yang rendah maka akan mengakibatkan permasalahan social (kemiskinan, pengangguran, kriminalitas tinggi, dll). Sehingga harus diimbangkan antara pertumbuhan penduduk dan kualitas pereonomian dengan baiknya SDM.

Psikologi Perkembangan Peserta Didik. "DISKUSI KASUS-KASUS PERKEMBANGAN HUBUNGAN INTERPERSONAL, TINGKAH LAKU PROSOSIAL PESERTA DIDIK, DAN PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK"

DISKUSI KASUS-KASUS
PERKEMBANGAN HUBUNGAN INTERPERSONAL,
TINGKAH LAKU PROSOSIAL PESERTA DIDIK, DAN
PERKEMBANGAN MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK


MAKALAH
 UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Perkembangan Peserta Didik
 yang dibina oleh Ibu Dra. Siti Malikhah Towaf, Ph. D


Oleh:
Ary Kusumawati Setyagama 
Finda Eka Yulfiana 
Risqotul Ula Firdaus 
Nadiyya Qurrotu Aini Zummi 




UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
April 2013





KATA PENGANTAR

                        Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayahnya, sehingga penulisan makalah yang berjudul “Diskusi Kasus-Kasus Perkembangan Hubungan Interpersonal, Tingkah Laku Prososial Peserta Didik, dan Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik” dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
                        Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Perkembangan Peserta Didik yang dibina oleh Ibu Dra. Siti Malikhah Towaf, Ph. D selaku dosen matakuliah Perkembangan Peserta Didik Pogram Studi S1 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Negeri Malang (UM).
Segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini. Namun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai apabila terdapat saran maupun kritik yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi para pembacanya untuk memperluas khasanah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang terus berkembang mengikuti kemajuan zaman, khususnya bagi khasanah Ilmu Perkembangan Peserta Didik. Amin.



Malang, April 2013
                                                                                               


Penulis





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Siswa sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian mereka selalu melakukan interaksi sosial. Untuk mencapai kematangan tersebut, siswa memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungan sosialnya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan siswa tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah, tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.
            Pada usia remaja, keadaan jiwa remaja yang masih labil rentan mengalami kegoncangan daya pemikiran abstrak, logik, dan kritis ketika menghadapi kehidupan. Permasalahan yang dihadapi remaja tidak bisa diselesaikan dengan mempergunakan kecerdasan  intelektual dan kecerdasan emosional namun kecerdasan spiritual penting untuk dimiliki siswa sebagai usaha untuk mengendalikan dorongan-dorongan negatif (pergaulan bebas yang bersifat patologis) yang dapat mempengaruhi perkembangan mental remaja. Diperlukan sebuah kegiatan positif yang bersifat mengarahkan, menyadarkan, meningkatkan dan menjaga kondisi mentalnya sehingga berada pada tahap yang lebih baik. Sebab, mental yang sehat merupakan cita-cita dari setiap manusia yang berada di dunia. Maka, sebagai sebuah disiplin ilmu, psikoterapi yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam dapat dijasikan sebagai medium bagi terwujudnya kesehatan mental remaja.
Untuk menghadapi berbagai permasalahan yang rentan dihadapi oleh remaja saat ini, bahkan telah mulai menjurus kepada kemungkinan terjadinya perilaku menyimpang, diperlukan kemampuan untuk dapat melihat permasalahan yang ada secara holistik, dimana kita dapat melihat dengan lengkap seluruh keterkaitan permasalahan dan mampu untuk bersikap secara luwes. Hal ini dimungkinkan apabila seseorang itu memiliki Kecerdasan Spiritual yang tinggi.
Kecerdasan spiritual merupakan suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif, baik Intelligence Quotient (IQ)  maupun Emotional Intelligence (EI).

1.2  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas, maka topik bahasan dapat dirumuskan:
1.      Bagaimana pengaruh orang tua dalam tingkah laku prososial anak?
2.      Bagaiman pemecahan konflik interpersonal dalam remaja?
3.      Bagaiman penerapan hubungan moral dengan ilmu pengetahuan?
4.      Bagaimana hubungan spiritual dan religi?

1.3  Tujuan
            Bersarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh orang tua dalam tingkah laku prososial anak, bagaimana pemecahan konflik interpersonal dalam remaja, bagaimana penerapan hubungan moral dengan ilmu pengetahuan, dan bagaimana hubungan spiritual dan religi.

1.4  Batasan Masalah
            Makalah ini dalam pembahasannya hanya mengenai perkembangan hubungan interpersonal, tingkah laku prososial peserta didik, dan perkembang moral dan spiritual peserta didik.








BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengaruh Orang Tua dalam Tingkah Laku Prososial Anak
Manusia sebagai makhluk sosial opasti membutuhkan pertolongan orang lain dalam menjalani hidupnya. Setiap orang pasti pernah mengalami perilaku prososial selama hidupnya, baik disadari maupun tidak disadari. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun dapat dididik agar mempunyai perilaku prososial yang tinggi. Dalam hal ini peran keluarga, sangat penting dalam keberhasilan anak untuk berperilaku prososial karena keluarga khususnya orang tua merupakan kelompok primer dalam pembentukan perilaku seorang anak. Menurut Staub, perilaku prososial adalah perilaku yang menguntungkan bagi penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya.
Sebagai contoh, ada sebuah keluarga yang memiliki seorang anak yang masih berumur 8 tahun. Anak tersebut memiliki sikap antisosial kepada sesama, tidak suka bermain dengan teman-temannya yang kurang mampu, ia hanya senang bermain dengan orang yang memiliki derajat sosial yang sama dengannya. bahkan jika ada pengemis yang menghampirinya, ia suka mengejek pengemis tersebut. Mengetahui ini orang tua anak tersebut memberitahu bahwa itu adalah perbuatan yang tercela. Sikap anak ini terbentuk karena orang tuanya tidak pernah mencontohkan tindakan prososial kepada anaknya, sehingga anaknya pun tidak memiliki sikap prososial tersebut. Kemudian orang tuanya mulai mengajari anaknya untuk mengubah sikap antisosialnya tersebut dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan uang kepada pengemis. Akibat dari sikap yang dilakukan orang tuanya, akhirnya anak tersebut mencontoh perilaku prososial dari orang tuanya. sekarang, jika ada pengemis yang menghampirinya, ia tidak lagi mengejek, melainkan ia memiliki empati terhadap pengemis tersebut sehingga ia memberikan uangnya karena ia sadar pengemis itu membutuhkan bantuan.
Kasus di atas dapat kita kaitkan dengan perspektif belajar, yaitu seseorang menolong karena ada proses belajar melalui observasi terhadap model prososial. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak cenderung merespons secara prososial setelah melihat model di media melakukan tingkah laku menolong. Jadi, seseorang dapat menjadi altruis karena lingkungan memberi contoh-contoh yang dapat di observasi untuk bertindak menolong.
Strategi untuk meningkatkan prososial anak dapat dilakukan dengan cara berikut:
1)   Menjadi contoh perilaku prososial
2)   Mengidentifikasi perilaku prososial
3)   Bantu anak memahami perasaan orang lain
4)   Memotivasi anak untuk melakukan prososial
5)   Meningkatkan altruisme pada anak
   Faktor yang mendasari anak tersebut berperilaku prososial adalah sikap empati. Empati tersebut ditanamkan oleh orang tuanya sehingga anaknya dapat berperilaku prososial. Faktor situasional yang menyebabkan anak tersebut berperilaku prososial adalah kejelasan stimulus. Anak itu melihat bahwa pengemis yang menghampirinya tersebut layak diberikan bantuan. Anak tersebut mengasumsikan bahwa pengemis itu membutuhkan bantuannya sehingga ia pun memberikannya uang. Selain itu, juga terdapat faktor personal, yaitu anak  itu merasa bahwa pengemis tersebut memang pantas untuk ditolong. Motivasi anak tersebut untuk berperilaku prososial adalah emphaty-altruism hypothesis, yaitu perasaan empati muncul ketika melihat penderitaan orang lain. Dengan kata lain, sikap empati yang dirasakan tersebut akan memunculkan motivasi untuk mengurangi penderitaan orang lain.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial anak tersebut dibentuk karena adanya pengaruh dari orang tua yang memberikan contoh prososial kepada anaknya. Anak-anak akan lebih mudah mempelajari suatu hal apabila diberikan pembelajaran langsung. Karena pengaruh ornagtuanya tersebut, akhirnya perilaku antisosial anak dapat diubah menjadi perilaku prososial.

2.2         Pemecahan Konflik Interpersonal dalam Remaja
Kehidupan masa remaja senantiasa menarik, dikarenakan kompleksnya permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Ibarat sebuah rumah, jika kehidupan masa anak adalah pondasi yang menentukan masa depan selanjutnya, maka pada masa remaja individu bagai rumah yang sudah terbentuk dan pada masa dewasa, rumah tidak lagi mengalami perubahan yang mendasar. Masa transisi antara masa anak dan masa dewasa ini seringkali menimbulkan kegelisahan. Tidak heran G.Stanley Hall dalam Mappiare (1982), seorang yang disebut sebagai Bapak Psikologi Remaja ilmiah menyebut masa ini sebagai "storm dan stress". Masa peralihan ini banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan karena remaja bukan kanak-kanak lagi tetapi juga belum dewasa dan remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, sedangkan lingkungan menganggap bahwa remaja belum waktunya untuk diperlakukan sebagai orang dewasa.
Masa remaja ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis, dan sosialnya. Berkaitan dengan hubungan sosial pada remaja, hampir seluruh waktu yang digunakan remaja adalah berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, baik dengan orangtua, saudara, guru, teman, dan sebagainya. Remaja cenderung bergabung dan berinteraksi dengan kelompok sosialnya untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan sosialnya. Kondisi tersebut sejalan dengan salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja yaitu memperluas hubungan interpersonal dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya baik pria maupun wanita. Berdasarkan laporan penelitian Afiatin (1996) disebutkan bahwa hampir semua responden yang terdiri dari para remaja memiliki masalah yang berkaitan dengan prestasi khususnya prestasi akademik. Selain hal tersebut tidak sedikit juga yang kita temui seorang remaja yang memiliki konflik dengan teman sebayanya yang akhirnya tidak hanya mengakibatkan keributan antar keduanya namun merembet sampai pada tawuran antar kelompok.
Sebagai contoh suatu kasus dimana gara-gara dipelototi dua pelajar Sekola Menengah Seni Rupa (SMSR) berkelahi yang berbuntut pengeroyokan sehingga salah seorang tertusuk (Radar Yogya, 30 Januari 2001). Kemudian dilaporkan adanya tawuran antar pelajar di Semarang yang menyebabkan empat orang luka-luka (Radar Yogya, 17 Februari 2001). Pada surat kabar yang sama dua hari sebelumnya juga dilaporkan adanya tawuran pelajar antar SMK yang dimulai dengan adanya konflik pada pertandingan sepakbola (Radar Yogya, 15 Februari 2001). Menurut Suhartono, anggota komisi E Dewan Kota dari Fraksi Partai Golkar bahwa frekuensi perkelahian antar pelajar di Yogya akan meningkat seiring situasi negara yang kini sedang tidak menentu yang diindikasikan dari seringnya terjadi perkelahian pelajar antar sekolah (Radar Yogya, 30 januari 2001). Tampaklah bahwa konflik yang dialami para remaja sudah menghawatirkan yang sebenarnya dapat dicegah jika sejak awal ketika konflik interpersonal muncul dapat diatasi dengan baik. Begitu juga remaja yang memiliki konflik dengan orang tuanya memilih untuk meninggalkan rumah karena merasa tidak puas dan tidak bisa menyelesaikan konflik tersebut, akibatnya jumlah anak jalanan kian meningkat.
Disimpulkan dari pendapat beberapa ahli Psikologi dalam Shantz dan Hartup (1992) bahwa masa remaja memang rentan terhadap munculnya berbagai konflik. Terdapat berbagai alasan antara lain, pengaruh  gelombang hormon pada masa remaja, remaja mulai mengantisipasi  tuntutan peran masa dewasa, perkembangan kemampuan kognitif remaja yang mulai memahami ketidak konsistenan dan ketidak sempurnaan orang lain dan mulai melihat persoalan-persoalan yang terjadi sebagai persoalan pribadi dari pada memberikannya pada otoritas orang tua. Remaja mengalami transisi tahapan perkembangan dan perubahan-perubahan menuju kematangan yang meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik.
Permasalahan sosial yang dihadapi remaja selanjutnya secara lebih khusus merupakan konflik interpersonal karena secara spesifik menyangkut interaksi antara individu (remaja) dengan orang lain. Tidak lain hal tersebut menuntut remaja meresponnya secara tepat dalam hal ini sesuai dengan harapan sosial dan tidak menimbulkan efek negatif baik untuk remaja itu sendiri dan orang lain. Hal tersebut tidak lepas dari upaya penyesuaiannya untuk dapat diterima sosial, khususnya kelompok teman sebaya. Remaja yang memiliki kemampuan pemecahan konflik interpersonal yang baik akan memberi efek yang baik pula pada hubungan sosialnya.  Sementara jika ia gagal melakukan pemecahan konflik interpersonal dengan baik bertentangan dengan harapan sosial akibatnya timbul penolakan dari sosial karena ia dianggap melakukan perilaku yang negatif dan tidak sewajarnya.
Konflik bisa menyakitkan ketika konflik dihadapi dengan defensif keras kepala dan menarik diri dari interaksi (Gottman & Krokof, 1989) dalam Taylor, Peplau dan Sears (1994). Oleh sebab itu dipaparkan mengenai strategi-strategi memanajemen konflik oleh Devito (1995)  sebagai berikut:
a.       Penghindaran dan melawan secara aktif. Penghindaran berkaitan dengan menghindar secara fisik yang nyata, misal meninggalkan ruangan dari pada menghindar dari pokok persoalan. Berperan aktif pada konflik interpersonal yang dihadapi. Menjadi pembicara dan pendengar yang aktif dan bertanggungjawab terhadap setiap pemikiran dan perasaanmu.
b.      Memaksa dan berbicara. Kebanyakan orang tidak menghadapi pada pokok persoalan melainkan memaksakan posisinya pada orang lain baik secara fisik maupun emosional. Alternatif yang nyata adalah berbicara dan mendengar, keterbukaan, empati, dan sikap positif merupakan awal yang tepat.
c.       Menyalahkan dan empati. Ketika kita menyalahkan seseorang ada niat tertentu pada orang tersebut. Bukan perilakunya yang dipermasalahkan tapi menyalahkan orangnya. Hal ini tidak akan menyelesaikan masalah, cobalah berempati dengan merasakan apa yang dirasakan orang lain dan berusaha melihat situsai seperti orang tersebut. Pahamilah mengapa orang lain menilai situsai tersebut secara berbeda.
d.      Mendiamkan dan memfasilitasi ekspresi secara terbuka. Mendiamkan di sini merupakan teknik dalam menghadapi konflik dengan mendiamkan orang lain terkadang sambil menangis. Cara ini tidak akan menjelaskan dan menyelesaikan konflik. Pastikan bahwa setiap orang diijinkan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas dan terbuka, tanpa ada yang merasa lebih rendah ataupun lebih tinggi.
e.       Gunnysucking dan fokus pada masa sekarang. Gunnysucking  merupakan istilah yang berarti menyimpan keluhan-keluhan yang ada sehingga bisa muncul pada saat lainnya. Jika hal ini dilakukan, masalah tidak dapat dituntaskan, akan muncul dendam dan perasaan bermusuhan. Fokuskan konflik di sini dan sekarang dan fokuskan konflik pada orang yang dimaksud, bukan pada ibunya atau temannya.
f.       Manipulasi dan spontan. Manipulasi berarti individu menghindari konflik terbuka dan berusaha menyembunyikan konflik dengan tetap berperilaku menyenangkan. Sebaliknya, ekspresikan perasaan secara spontan, terhadap konflik interpersonal bukan mencari siapa yang menang dan yang kalah, namun pemahaman dari kedua belah pihak.
g.      Penolakan dan penerimaan pribadi. Pada penolakan pribadi digunakan cinta dan afeksi. Seseorang kan berperilaku dingin dan tidak perduli sehingga pihak lain akan merasa bersalah. Sebaliknya, ekspresikan perasaan positif pada orang lain. Konflik apapun dihadapi bukan untuk disesali dengan tidak mengatakan apa yang ingin dikatakan karena kita mencintai orang tersebut.
h.      Melawan "di bawah dan di atas ikat pinggang". Melawan dari bawah (atau dari belakang) hanya akan mennambah masalah. Bawalah konflik pada area dimana lawan bisa memahami dan mengatasinya. Ingatlah, konflik interpersonal bukan mencari siapa yang menang dan yang kalah, tapi untuk  mengatasi  masalah dan memperkuat hubungan.
i.        Argumentatif dan agresif verbal. Agresif verbal adalah suatu cara untuk memenangkan argumen dengan memberikan rasa kesakitan secara psikologis dengan menyerang konsep diri orang lain, misal latar belakangnya, penampilan fisik, dan lain-lain. Argumentatif adalah kesediaan untuk berdebat mengenai suatu sudut pandang, mengatakan pemikiran dari suatu sudut pandang.
Tujuan dari pemecahan masalah adalah untuk merangsang perilaku yang kemungkinan menghasilkan akibat positif dan menghindari akibat negatif (D'Zurilla dan Goldfried, 1971). Individu belajar tentang perilaku-perilaku yang kemungkinan menimbulkan akibat positif dan negatif. Individu belajar untuk mengontrol perilakunya, sehingga segala perilaku yang muncul akan berdampak positif baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Dengan demikian pemecahan masalah menunjuk pada proses belajar yang melibatkan strategi kognitif dan ketrampilan kontrol diri yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kompetensi yang dimiliki (D'Zurilla dan Goldfried, 1971).


2.3         Peran Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral merupakan nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat, apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Ilmu pengetahuan lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari usaha-usaha manusia baik untuk memahami realitas kehidupan dan alam semesta maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, serta mengembangkan dan melestarikan hasil-hasil yang dicapai manusia sebelumnya. Dikatakan oleh Einstein, “bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta apapun juga teori yang disusun diantara mereka”. Menurut S. Hornby mengartikan ilmu sebagai “Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact. Hal ini menujukkan jelas bahwa ilmu adalah pengetahuan yang terorganisir yang didasarkan pada observasi dan hasil pengujian. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki dua pengertian yaitu, Pertama Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
Jujun S. Suriasumatri menjelaskan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang digali sejak sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Alan H. Goldman lebih melihat bahwa ilmu sesuatu yang diperoleh pada rujukan-rujukan tertentu yang diyakini kebenarannya, “knowledge is belief that is best explained by reference to its truth”. Dengan demikian, maka ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah dan telah teruji kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang sahih yang berlaku universal.
Hakikat Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan berawal dari ilmu yang merupakan hasil karya perseorangan, dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. (Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 237). Jikalau hasil penemuan perseorangan tersebut memenuhi syarat-syarat keilmuan maka ia akan diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan dapat digunakan dalam masyarakat. Moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. (Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 1990, hal. 234 - 235).
Sejak dalam tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk mengusai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan mengusai mereka. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama). Dari hal tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berfikir di Eropa, pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang terbebas dari nilai-nilai diluar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan.
Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: “Ilmu yang Bebas Nilai!” Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Masalah teknologi telah mengakibatkan proses dehumanisasi dari perkembangan ilmu dan teknologi dihadapkan dengan moral, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti pada era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengatahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan; dan (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial (sosial engineering). Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Penerapan Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan dimulai dari manusia sebagai manipulator dan articulator dalam mengambil manfaat ilmu pengetahuan. Moral manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara in dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu-atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan- amatlah tidak mungkin kebaikan diperoleh manusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalh pilihan id dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “supr-ego”-nya.
Moral adalah pemahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya(ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani.  Bernaung di bawah filsafat moral, moral merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiabn itu, dengan argument bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukanbagi manusia. Oleh kerena itu, moral pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya tidak ditunjuk. Executornya menjadi jelas moral sang subyek berhadap opsi baik atau buruk, yang baik itulah materi kewajiban executor dalam situasi ini.

2.4         Hubungan Spiritual dan Religi
Selama ini orang menganggap konsep spiritual dan religius adalah konsep yang sama maknanya. Padahal dua kata ini memiliki makna dan konsep yang berbeda. Konsep spiritual mengacu pada konsep diri seseorang akan ketuhanan, sedangkan religius merupakan konsep seseorang akan agamanya. Meskipun orang religius atau taat dalam beragama tetap tidak bisa dijamin akan memiliki konsep ketuhanan yang baik, namun konsep ketuhanan seseorang sejatinya juga berangkat dari agamannya. Berdasarkan prespektif agama Islam, antara agama dan spiritual memiliki korelasi positif yakni, semakin tinggi kualitas agama seseorang maka semakin cerdas spiritualnya sebaliknya, semakin tinggi tingkat kecerdasan spiritual seseorang maka semakin baik pula sikap keberagamaannya. Dalam istilah John Renard, aspek spiritualitas yang sesungguhnya mengembangkan dan juga meninggikan sikap keberagamaan.
   Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas (keagamaan) yaitu:
1)             Dimensi praktik agama/peribadatan. Mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, kataatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik agama ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu:
a.       Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.
b.      Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.
2)             Dimensi Pengalaman. Berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau didefenisikan oleh suatu kelompok keagaman (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
3)             Dimensi pengetahuan agama. Mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
4)             Dimensi Konsekuensi. Mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari, dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya.
Kesadaran beragama seseorang sendiri, muncul karena berbagai faktor termasuk juga kesadaran beragama remaja. Sehubungan dengan jiwa remaja yang berada dalam transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa remaja berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama. Disamping jiwanya yang labil dan mengalami kegoncangan, daya pikir yang abstrak, dan logika yang kritis mulai berkembang. Emosinya semakin berkembang, motivasinya mulai otonom dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata. Dengan adanya gejolak batin tersebut akan tampak dalam kehidupan agama yang mudah goyah, timbul kebimbangan, dan kerisauan. Disamping itu remaja mulai menemukan penngalaman dan penghayatan ke-Tuhanan yang bersifat individual dan sukar digambarkan kepada orang lain seperti dalam pertobatan. Keimanan mulai otonom, hubungan dengan Tuhan makin disrtai dengan kesadaran dan kegiatannya dalam masyarakat makin diwarnai oleh rasa keagamaan.
Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini. Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1)             Percaya ikut-ikutan. Biasanya dihasilkan oleh didikan agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
2)             Percaya dengan kesadaran. Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah-masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a.       Dalam bentuk positif. Semangat agama yang positif, yaitu berusahamelihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b.      Dalam bentuk negative. Semangat keagamaan dalam bentuk kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar ke dalam masalah-masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3)             Percaya, tetapi agak ragu-ragu. Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a.       Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b.      Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
4)             Tidak percaya atau cenderung ateis. Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
Ada beberapa ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja diantaranya adalah:
1)             Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat individual
2)             Keimanannya semakin menuju realitas sebenarnya
3)             Peribadatan mulai disertai penghayatan yang tulus
Meskipun remaja mengalami transisi menuju kedewasaan dalam berpikir dan beragama, namun tidak dapat dihindari adanya konflik dan keraguan yang dialami remaja dalam beragama. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh W. Sturbuck, dari 142 remaja yang berusia 11-26 tahun, terdapat 53% yang mengalami keraguan tentang:
1)             Ajaran agama yang mereka terima. 
2)             Cara penerapan ajaran agama. 
3)             Keadaan lembaga-lembaga keagamaan. 
4)             Para pemuka agama
            Menurut analisis yang dilakukan W.Starbuck, keraguan itu disebabkan oleh factor:
1)        Kepribadian
Tipe kepribadian dan jenis kelamin, bisa menyebabkan remaja melakukan salah tafsir terhadap ajaran agama.
·           Bagi individu yang memiliki kepribadian yang introvert, ketika mereka mendapatkan kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan, maka akan menyebabkan mereka salah tafsir terhadap sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Tuhan. Misalnya: Ketika berdoa’a tidak terkabul, maka mereka akan menjadi ragu akan kebenaran sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Pnyayang Tuhan tersebut. Kondisi ini akan sangat membekas pada remaja yang introvert walau sebelumnya dia taat beragama. 
·           Untuk jenis kelamin. Wanita yang cepat matang akan lebih menunjukkan keraguan pada ajaran agama dibandingkan pada laki-laki cepat matang.
2)        Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama
Kesalahan ini dipicu oleh “dalam kenyataannya, terdapat banyak organisasi dan aliran-aliran keagamaan”. Dalam pandangan remaja hal itu mengesankan adanya pertentangan dalam ajaran agama. Selain itu remaja juga melihat kenyataan “Tidak tanduk keagamaan para pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama”.
3)        Pernyataan Kebutuhan Agama
Pada dasarnya manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada), namun disisi lain, manusia juga memiliki dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Kedua sifat bawaan ini merupakan kenyataan dari kebutuhan manusia yag normal. Apa yang menyebabkan pernyataan kebutuhan manusia itu berkaitan dengan munculnya keraguan pada ajaran agama. Dengan dorongan Curiosity, maka remaja akan terdorong untuk mempelajari/mengkaji ajaran agamanya. Jika dalam pengkajian itu terdapat perbedaan-perbedaan atau terdapat ketidaksejalanan dengan apa yang telah dimilikinya (konservatif) maka akan menimbulkan keraguan.
4)        Kebiasaan
Remaja yang sudah terbiasa dengan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu untuk menerima kebenaran ajaran lain yang baru diterimanya/dilihatnya.
5)        Pendidikan
Kondisi ini terjadi pada remaja yang terpelajar. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya. Terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya secara lebih rasional.
6)        Percampuran Antara Agama dengan Mistik
Dalam kenyataan yang ada ditengah-tengah masyarakat, kadang-kadang tanpa disadari ada tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopangi oleh mistik dan praktek kebatinan. Penyatuan unsur ini menyebabkan remaja menjadi ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik. Penyebab keraguan remaja dalam bidang agama yang dikemukakan oleh Starbuck diatas, adalah penyebab keraguan yang bersifat umum bukan yang bersifat individual.
Keraguan remaja pada agama bisa juga terjadi secara individual. Keraguan yang bersifat individual ini disebabkan oleh: 
1)        Kepercayaan, Yaitu: Keraguan yang menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya. Keraguan seperti berpeluang pada remaja agama Kristen, yaitu: tentang ke-Tuhanan yang Trinitas. 
2)        Tempat Suci. Yaitu: keraguan yang menyangkut masalah pemuliaan dan pengaguman tempat-tempat suci. 
3)        Alat Perlengkapan Agama. Misalnya: Fungsi salib pada ajaran agama kristen 
4)        Fungsi dan Tugas dalam Lembaga Keagamaan’. Misalnya: Fungsi pendeta sebagai penghapus dosa 
5)        Pemuka agama, biarawan dan biarawati 
6)        Perbedaan aliran dalam keagamaan.















BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
   Perilaku prososial anak dibentuk karena adanya pengaruh dari orang tua yang memberikan contoh prososial kepada anaknya. Anak-anak akan lebih mudah mempelajari suatu hal apabila diberikan pembelajaran langsung. Karena pengaruh ornag tuanya tersebut, akhirnya perilaku antisosial anak dapat diubah menjadi perilaku prososial.
Masa peralihan anak-anak banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan karena remaja bukan kanak-kanak lagi tetapi juga belum dewasa dan remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, sedangkan lingkungan menganggap bahwa remaja belum waktunya untuk diperlakukan sebagai orang dewasa.
Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan berawal dari ilmu yang merupakan hasil karya perseorangan, dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penerapan Hubungan Moral dengan Ilmu Pengetahuan dimulai dari manusia sebagai manipulator dan articulator dalam mengambil manfaat ilmu pengetahuan. Konsep spiritual mengacu pada konsep diri seseorang akan ketuhanan, sedangkan religius merupakan konsep seseorang akan agamanya.

3.2    Saran
Perilaku prososial harus lebih digiatkan lagi untuk mengajari anak berperilaku yang baik, bukan berlaku antisosial. Sedang hal tersebut berawal dari peran orang tua dalam membari pelajaran yang baik terhadap anaknya.
Masa ketika anak mengalami masa transisi sebaiknya, lebih diberi perhtian agar pertumbuhan anak tidak mengacu kepada hal-hal yang negatif. Dikarenakan masa-masa tersebut hubungan interpersoanal anak akan lebih berperan dan hal tersebut membutuhkan pengertian yang lebih. Hal lain menamankan moral dan spiritual dalam kehidupan seoranga anak akan membantu kehidupannyayang berhubungan dengan orang lain, dan juga dengan agamanya.
Daftar Rujukan

kerguan-dan-konflik-dalam-bergama.html
motivasi-bergama-pada-remaja.html