Jumat, 14 Juni 2013

SUPREMASI HUKUM

SUPREMASI HUKUM
MAKALAH

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pendidikan Kewarganegaraan
yang dibina oleh Bapak Drs. Hendri Purwito, M.Si

Oleh:
1.      Titik Dwi Haryanti                              (120741404080)
2.      Nurul Miftakhul Jannah                      (120741421180)
3.      Afri Rachmad Fauzi                           (120741421185)
4.      Arum Patria Sari                                 (120741421220)
5.      Nadiyya Qurrotu Aini Zummi            (120741421230)
Kelas/Offering: B/GN




 

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Maret 2013







KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayahnya, sehingga penulisan makalah yang berjudul “Supremasi Hukum” dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang dibina oleh Bapak Drs. Hendri Purwito, M.Si selaku dosen matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan Kelas/Offering B/GN Program Studi S1 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Negeri Malang (UM).
Makalah ini merupakan materi mengenai supremasi hukum yang telah disebutkan dalam judul tugas terstruktur kelompok ini. Penulis berusaha mendapatkan dan mengumpulkan beberapa materi mengenai supremasi hukum dari beberapa referensi, yang diperoleh dari beberapa situs internet yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini. Namun, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai apabila terdapat saran maupun kritik yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi para pembacanya untuk memperluas khasanah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang terus berkembang mengikuti kemajuan zaman, khususnya bagi khasanah Ilmu Pengetahuan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Amin.

Malang, Maret 2013
                                                                                               


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
             Negara hukum adalah negara yang menempatkan hukum pada tempat yang tertinggi, yang meliputi perlindungan terhadap hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, setiap tindakan pemerintah didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan adanya peradilan yang berdiri sendiri. Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of law) bilamana superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (fair play) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya.
            Dalam Negara hukum menurut Jhon Lockce, warga masyarakat atau rakyat tidak lagi diperintah oleh seorang raja atau apapun namanya, akan tetapi diperintah berdasarkan hukum. Ide ini merupakan suatu isyarat bahwa bagi Negara hukum mutlak adanya penghormatan terhadap supremasi hukum. Supremasi hukum hanya akan berarti bila ada penegakan hukum, dan penegakan hukum hanya akan mempunyai nilai evaluatif jika disertai dengan pemberlakuan hukum yang responsif. Artinya superioritas hukum akan terjelma dengan suatu penegakan hukum yang bersendikan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dengan dilandasi nilai dan rasa keadilan. Untuk dapatnya suatu hukum berfungsi sebagai sarana penggerak, maka hukum harus dapat ditegakkan dan untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian dari system nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi warga masyarakat, sehingga keberlakuan hukum benar-benar nyata pada rana empiris tanpa paksaan.
            Penegakan hukum di suatu negara sangatlah penting, karena sangat pentingnya hukum di suatu negara akan menciptakan masyarakat yang kondusif dan tenang bagi warganya dan sekaligus warga akan sangat menghormati hukum itu sendiri. Indonesia sendiri adalah negara hukum. Hal ini tertuang jelas dalam Pasal 1 ayat  (3) UUD 1945 Perubahan ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. UUD 1945 Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Amandemen ketiga UUD 1945, 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
            Simposium  mengenai negara hukum Tahun 1966 di Jakarta, merumuskan sifat dan ciri-ciri khas suatu negara hukum. Sifat negara hukum itu ialah bahwa alat kelengkapannya hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut prinsip rule of law.
            Ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum menurut simposium tersebut adalah:
1.      Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
2.      Peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta tidak dipengaruhi oleh kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
3.      Legalitas, dalam arti dalam semua bentuknya.[1]
1.2  Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang diatas, maka topik bahasan dapat dirumuskan:
1.2.1        Apa yang dimaksud dengan supremasi hukum?
1.2.2        Bagaimana tujuan supremasi hukum?
1.2.3        Apa fungsi supremasi hukum?
1.2.4        Bagaimana pelaksanaan supremasi hukum di Indonesai?
1.2.5        Bagaimana Hubungan antara supremasi hukum, HAM dan demokrasi?
1.3  Batasan Masalah
            Berdasarkan rumusan masalah diatas maka ruang lingkup pembahasan makalah ini meliputi pengertian, tujua, fungsi, pelaksanaan, dan hubungan supremasi hukum dengan demokrasi dan HAM. 
1.4  Tujuan
            Berdasarkan identifikasi rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembahasan masalah yakni untuk mengetahui pengertian, tujuan, fungsi, bagaimana pelaksanaan, dan bagaimana hubungan supremasi hukumdengan demokrasi dan HAM.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Supremasi Hukum
Supremasi mempunyai arti kekuasaan tertinggi atau teratas dan hukum artinnya peraturan. Jadi, Supremasi Hukum mempunyai pengertian sebagai suatu peraturan yang tertinggi.
Mengenai perumusan dari Supremasi  Hukum ini sebenarnya belum ada yang memberikan pengertian secara tegas, hal ini disebabkan karena cakupan yang demikian luasnya dari hukum itu. Van Apeldoorn mengatakan bahwa, hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga orang tidak mungkin menyatukan dalam satu rumusan secara memuaskan. Apeldoorn juga memberi gambaran,dalam soal hukum,seseorang). Jika ia mendengar perkataan hukum seketika itu juga teringat akan gedung pengadilan, pengacara, juru sita, polisi.
Mr. Soemintardjo dkk. memberi definisi hukum sebagai aturan-aturan hidup, yang bersifat memaksa, pelanggaran mana mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.dari beberapa kutipan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum adalah serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup dalam masyarakat yang dibuat oleh lembaga resmi yang berwenang dan berlakunya bersifat memaksa untuk ditaati serta memberikan sanksi tegas dan nyata terhadap pelanggarnya.terdapat kalimat mengatur tingkah laku manusia berarti mengatur setiap perhubungan hukum yang dilakukan oleh setiap orang tidak boleh, tidak harus didasarkan atas aturan hukum yang berlaku. juga terdapat kalimat sifat memaksa dan memberi sanksi tegas dan nyata terhadap siapa saja yang melanggarnya, ini berarti bekerjanya hukum itu dapat dipaksakan pentaatannya tanpa terkecuali walaupun itu sebagai lembaga pembentuk aturan hukum,apabila melanggar sedikitpun dari aturan hukum memberi sanksi tegas serta nyata sesuai dengan pelangarannya tersebut.dengan demikian hukum merupakan kekuasaan tertinggi.
Istilah supremasi hukum, adalah merupakan rangkaian dari selingkuhan kata supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggeris yakni kata supremacy dan kata law, menjadi “supremacy of law” atau biasa juga disebut “law’s supremacy”. Hornby.A.S (1974:869), mengemukakan bahwa secara etimologis, kata “supremasi” yang berasal dari kata supremacy yang diambil dari akar kata sifat supreme, yang berarti “Higest in degree or higest rank” artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi. Sedangkan supremacy berarti “Higest of authority” artinya kekuasaan tertinggi.
Kata hukum diterjemahkan dari bahasa Inggeris dari kata “law”, dari bahasa Belanda “recht” bahasa Perancis “droit” yang diartikan sebagai aturan, peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang wajib ditaati.
Soetandyo Wignjosoebroto (2002:457), menyatakan bahwa secara terminology supremasi hukum, merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara.  Menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal dalam rangka melindungi seluruh lapisan masyarakat,oleh Charles Hermawan disebutnya sebagai kiat untuk memposisikan hukum agar berfungsi sebagai komando atau panglima (2003:1).
Abdul Manan (2009:188), menyatakan bahwa berdasarkan pengertian secara terminologis supremasi hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat yang tertinggi dari segala-galanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rumusan sederhana dapat diberikan bahwa supremasi hukum adalah pengakuan dan penghormatan tentang superioritas hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa, bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur (fair play).
Pengertian sederhana tersebut, telah terhubungkan dengan idée tentang teori kedaulatan hukum (rechtssovereiniteit). Hukum adalah kedaulatan tertinggi dalam suatu Negara, karenanya yang memerintah sesungguhnya adalah hukum, penyelenggara pemerintahan Negara hanya melaksanakan kehendak hukum, sehingga dalam konteks demikian hukum sebagai komando dan panglima.
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto (2002:457) menyatakan bahwa secara terminologi atau istilah, supremasi hukum merupakan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara negara.
Menurut Abdul Manan (2009:188) menyatakan bahwa berdasarkan pengertian secara terminologis bahwa berdasarkan pengertian secara terminologis atau istilah supremasi hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa supremasi hukum adalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tempat tertinggi dari segala-galanya, menjadikan hukum sebagai komandan atau panglima untuk melindungi dan menjaga stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.2 Tujuan Supremasi Hukum
            Tujuan hukum pada prinsipnya meliputi 3 unsur pokok yaitu :
  1. Hukum itu bertujuan untuk mencapai keadilan. Yang dimaksud ialah bahwa masyarakat hendaknya diperlakukan sesuai hak-haknya sebagai martabat kemanusiaannya .
  2. Kepastian hukum dalam arti bahwa terhadap tindakan yang dilakukan setiap orang atau anggota masyarakat itu dapat segera dengan cepat ditentukan apakah perbuatan itu melanggar dinyatakan menyimpang dari hukum atau tidak.
  3. Kegunaan yang berarti bahwa dalam proses kerjanya hukum itu dapat memaksa masyarakat umumnya dan penegak hukum khususnya untuk melakukan segala aktifitasnya selalu berkaca mata pada hukum yang mengaturnya.
            Adapun beberapa tujuan supremasi hukum adalah sebagai berikut:
1.      Memberi keadilan bagi masyarakat, khususnya keadilan sosial. Dan perlindungan terhadap harkat martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum yang padahakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap rasa keadilan bagi rakyat Indonesia.
2.      Menempatkan kebebasan individu sebagai prinsip dasar dari organisasi sosial, untuk menjamin kemerdekaan individu.
3.      Menjamin terjaga dan terpeliharanya nilai-nilai moral bangsa Indonesia.
4.      Melindungi kepentingan warga.
5.      Menciptakan masyarakat yang demokratis
6.      Menjadikan tanggung jawab ahli hukum untuk dilaksanakan dan yang harus dikerjakan tidak hanya untuk melindungi dan mengembangkan hak-hak perdata dan politik perorangan dalam masyarakat bebas, tetapi juga untuk menyelenggarakan dan membina kondisi sosial, ekonomi, pendidikan dan kultural yang dapat mewujudkan aspirasi rakyat serta meningkatkan integritas Sumber Daya Manusianya.
7.      Memberikan jaminan terlindunginya hak-hak individu dalam bernegara dan bermasyarakat.

2.3 Fungsi Supremasi Hukum
            Eksistensi hukum pada hakikatnya untuk mengatur perhubungan hukum dalam pergaulan masyarakat, baik antara orang seorang, orang yang satu dengan orang lain, antara orang dengan Negara dan mengatur hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang ada pada UU Negara termasuk dalam pelaksanaan pemerintahannya secara keseluruhan, khususnya dalam hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh seluruh aparat penegak hukum dalam rangka kekuasaan yang dijalankan agar dalam setiap tindakannya dapat mencerminkan hakikat dari pada hukum itu sehingga dengan demikian perbuatan semena-mena yang menjauhkan cita-cita hukum dapat dihindarkan, maka untuk hal sedemikian cita-cita bernegara dan berbangsa yang dalam hubungan ini dapat mewujudkan keadilan sosial.
            Prof.Mr.W.F.de Gaay Fartman dalam bukunya Rechtdoen dalam terjemahan rahasia hukum oleh Dr.O.Notohamidjojo mengatakan bahwa fungsi hukum meliputi 5 hal yaitu:
a.       Hukum itu mengatur, menciptakan tata.
b.      Hukum menimbang kepastian yang satu dengan yang lain.
c.       Hukum memberikan kebebasan.
d.      Hukum menciptakan tanggungjawab.
e.       Hukum memidana.
            Iskandar mengatakan tentang fungsi hukum ialah sebagai sosial control (control social) juga berfungsi sebagai alat perubahan sosial (Social engenering) fungsi tersebut akan tidak tercipta dan akan menghambat terciptanya keadilan ekonomi maupun keadilan politik apabila hukum tidak digunakan dengan penggunaan kekuasaan tidak sesuai dengan hakikat sebab kalau hukum tidak  benar penggunaanya maka kekuasaanpun cenderung digunakan secara tidak benar.
            Pendapat Rudolf Von I Lering yang mengatakan fungsi hukum ialah “laws were on way achieve the end namely social control, selanjutnya menurut I lering ''an instrument for serving the needs of society where there is an inevitable conflict between the social needs individual's self interest" suatu alat untuk melayani kebutuhan masyarakat dimana konflik (pertikaian) tidak dapat diletakkan antara kebutuhan sosial dan kepentingan pribadi. Dari beberapa pendapat yang diuraikan di atas bahwa fungsi hukum pada dasarnya meliputi sebagai berikut :
a.       Hukum dalam proses kerjanya untuk mengatur perhubungan hukum masyarakat.
b.      Menciptakan rasa tanggungjawab terhadap suatu perbuatan masyarakat dan pemerintah.
c.       Sebagai alat yang menyelesaikan sengketa atau konflik dalam masyarakat.
d.      Sebagai instrumen pengendalian sosial.

2.4 Pelaksanaan Supremasi Hukum di Indonesia
            Bagaimana pelaksanaan supremasi hukum di indonesia?
            Seperti yang kita tahu hukum di indonesia di letakkan pada tingkatan yang peling tinggi, tetapi dalam pelaksanaannya Penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan secara tepat sesuai dengan apa yang ingin diwujudkan didalam pancasili sila ke-lima yaitu “keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia”. Ini di buktikan dengan masih belum jelasnya penyelesain kasus-kasus yang merugikan masyarakat Indonesia seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Seperti penyelesaian kasus korupsi Bank Century dan kasus pajak. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dirasa belum sesuai dengan apa yang telah diatur oleh Undang-undang.
            Juga masih banyak lagi kasus-kasus yamg lainnya, sehingga banyak orang-orang indonesia yang beranggapan hukum di Indonesia itu yang menang yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindak pencurian kecil langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran milik negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Banyak yang menilai bahwa perkembangan penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan. Sejak Indonesia merdeka sampai pemerintahan Gus Dur pasti terdapat kekurangan- kekurangan dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia.
Dengan adanya fakta- fakta tersebut kita sebagai masyarakat yang peduli keadilan diajak untuk lebih mengkritisi kasus-kasus pelanggaran kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan aturan hukum yang menanganinya. Masalah pencabutan perundang- undangan yang tak demokratik dibahas mengenai Pengamandemenan UUD 45 pasal 6 ayat (1) yang memang perlu dilakukan. Karena pasal tersebut tidak mencerminkan penegakan hukum secara demokratik Dan itu terbukti menjadi solusi karena dalam UUD 45 pasal 6 ayat (1) Amandemen keempat telah berubah bunyinya menjadi “ Capres dan cawapres harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaran lain karena kehendaknya sendiri….” Masalah impunity dalam kaitannya dengan amandemen kedua UUD 45 Pasal 28I ayat (1) memang belum jelas apakah pasal tersebut berlaku sama terhadap tindak kejahatan- kejahatan kemanusiaan
Penegakan supremasi hukum memiliki keterkaitan erat dengan pelapisan sosial di masyarakat. Lawrence M. Friedman melihat bahwa adanya pelapisan sosial dalam masysrakat memberi pengaruh pada terbentuknya watak hukum yang diskriminatif, baik pada peraturan-peraturan itu sendiri, maupun melalui praktek penegaknya.
Lawrence M. Friedman juga mengatakan adanya hambatan dalam mewujudkan supremasi hukum yaitu dari sistem hukum, menurutnya bahwa sistem hukum dalam arti luas terdiri dari tiga komponen yaitu komponen substansi hukum (legal substance), komponen struktur hukum (legal structure), dan komponen budaya hukum (legal culture). Substansi hukum (legal substance) adalah aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem dengan wujud utamanya adalah lembaga-lembaga pembentuk dan penegak hukum berikut sumber daya manusianya. Budaya hukum (legal culture) merupaan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Dalam perkembangannya Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact) yaitu dampak dari suatu keputusan hakim. Komponen dampak ini terutama berkaitan dengan kondisi-kondisi yang ingin diwujudkan atau dicapai melalui pembentukan dan pemberlakuan suatu produk hukum, terkait dengan fungsionalisasi hukum sebagai sarana rekayasa sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Rescue Pound.
Sealin itu Ada juga lima faktor yag memberikan kontribusi pengaruh pada proses penegakan hokum menurut Soerjono Soekanto :
  1. faktor hukum atau peraturan perundang-undangan,
  2. faktor aparat penegak hukumnya,
  3. faktor sarana dan fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum,
  4. faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat,
  5. faktor kebudayaan, yani hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu menurut Satjipto Rahardjo, membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum :
  1. unsur pembuat undang-undang,
  2. unsur aparat penegak hukum,
  3. unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.
Persoalan penegakan hukum di Indonesia merupakan sebuah persoalan yang sudah bersifat struktural. Untuk itu, upaya penegakan hukum harus dapat dilakukan dengan format yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu melalui produk-produk hukum yang dibuat oleh pemerintah. Produk-produk hukum yang dibuat oleh pemerintah diharapkan dapat menjamin tercapainya penegakan hukum secara menyeluruh dan nyata dalam tatanan masyarakat Indonesia. Produk-produk hukum yang di buat oleh pemerintah tersebut tidak akan berarti apa-apa, apabila tdak mampu menjalankan hukum dan tidak dapat diimpelementasikan. (Bambang, 1992:77).

2.5 Hubungan Antara Supremasi Hukum, HAM dan Demokrasi
Supremasi hukum telah mati seiring dengan berjalannya sistem demokrasi di Indonesia. Hal yang paling mendasari adalah besarnya pergesekan kekuatan kepentingan kekuasaan dari beberapa titik pemegang kekuasaan negara. Dalam pelaksanaan demokrasi sangat diperlukan adanya supremasi hukum yaitu menjunjung tinggi peraturan–peraturan yang berlaku untuk mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat demi terciptanya kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Selain dari pada itu juga diperlukan sistem pemerintahan yang demokrasi yaitu sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat yaitu adanya asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Terakhir adalah HAM (Hak Asasi Manusia), hal ini sangat penting terhadap pelaksanaan supremasi hukum karena berkaitan dengan hak dasar manusia sebagai mahluk Tuhan. Demikianlah hal–hal yang patut diperhatikan dalam pelaksanaan supremasi hukum di Indonesia karena sangat sesuai dan patut pula diperhatikan dalam skala nasional yang bertitik tolak dari UUD 1945 baik Pembukaan, pasal-pasal beserta penjelasannya.
Hubungan antara negara hukum dan demokrasi dapat dinyatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum. Namun, negara hukum belum tentu negara demokrasi. Negara hukum hanyalah satu ciri dari negara demokrasi. Demokrasi baik sebagai bentuk pemerintahan maupun suatu sistem politik berjalan di atas dan tunduk pada koridor hukum yang disepakati bersama sebagai aturan main demokrasi. Adapun demokrasi sebagai sikap hidup ditunjukkan dengan adanya perilaku yang taat pada aturan main yang telah disepakati bersama pula. Aturan main itu umumnya dituangkan dalam bentuk norma hukum. Dengan demikian di negara demokrasi, hukum menjadi sangat dibutuhkan sebagi aturan dan prosedur demokrasi. Tanpa aturan hukum, kebebasan dan kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Jadi, negara demokrasi sangat membutuhkan hukum. (Winarno, 2007: 128)
Hubungan antara demokrasi dan hukum sangat erat, dapat dikatakan bahwa kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya. Artinya negara-negara yang demokratis akan melahirkan pula hukum-hukum yang berwatak demokratis, sedangkan di negara-negara yang otoriter aatau non demokratis akan lahir hukum-hukum yang non demokratis.  (Moh.Mahfud, 1999: 53)
Dewasa ini kehidupan ekonomi jauh lebih baik daripada periode-periode sebelumnya berkat pemerintahan yang kuat dan otoritarian sesuai dengan pilihan yang telah dilakukan secara sadar sebagai pecinta hukum. Lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif tanpa mengorbankan persatuan dan kesatuan serta kebutuhan ekonomi dapat lahir di dalam konfigurasi politik yang demokratis untuk melahirkan hukum-hukum yang renponsif itu, diperlihatkan demokratisasi di dalam kehidupan politik. Alasan-alasan untuk melakukan demokratisasi ini sudah cukup jika kesadaran politik masyarakat membaik, Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas oleh orpol dan ormas, dan kehidupan ekonomi masyarakat dan pertumbuhannya sudah memadai. Dengan modal itu, proses demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas apalagi persatuan kesatuan bangsa. (Moh.Mahfud, 1999:84)
             Peranan supremasi hukum, demokrasi, dan HAM terhadap pelaksanaan pemerintahan sangat penting karena supremasi hukum harus ada,  sebab  negara Indonesia adalah negara hukum atau negara yang sangat menjunjung tinggi hukum ini dapat terlihat juga dari sistem demokrasi yang dianut negara kita yaitu Republik Konstitusi, maka pemerintahan juga harus menjunjung tinggi hukum dalam menggunakan wewenangnya. Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan aspirasi rakyat dalam membuat keputusan bagi rakyatnya karena bagaimanapun juga negara kita adalah negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat, jadi keinginan rakyat tidak bisa dikesampingkan begitu saja oleh pemerintah. Oleh karena itu, badan eksekutif dan badan legislatif dalam melaksanakan tugasnya tidak bisa bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat yang bisa melanggar atau membatasi HAM dari pada itu rakyat itu sendiri.

BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
      Supremasi hukum dan penegakan hukum bagi suatu Negara yang memilih sebagai Negara hukum rechtsstaat / rule of law atau apapun istilahnya, merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar. Demikian pulalah halnya Indonesia. Sejak semula bangsa ini mendirikan Negara the founding fathers telah memilih menjadi suatu Negara hukum, maka konsekuensi dari pada itu hukum harus menjadi fondasi dalam tatanan kehidupan kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan. Namun tidak berhenti sampai disitu saja, akan tetapi berkelanjutan dengan pembangunan elemen-elemen hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai bangunan hukum yang dapat menaungi kepentingan segenap elemen bangsa dan dilakukan penegakan untuk menciptakan suasana yang kondusif dan memulihkan gangguan-gangguan yang timbul.
      Untuk itu semua, maka komitmen dari segenap elemen bangsa mutlak diperlukan untuk mendukung supremasi hukum dan penegakan hukum di negeri ini, agar kita tidak menjadi bangsa yang mengingkari dan bahkan menghianati pilihannya sendiri untuk bernegara dalam sebuah Negara hukum.
      Hubungan supremasi hukum, demokrasi, dan HAM adalah hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Supremasi hukum dapat tercipta jika hukum dilaksanakan dengan berdasar pada keadilan. Negara yang demokratis akan akan mewujudkan watak hukum yang demokratis. Tanpa aturan hukum, kebebasan dan kompetisi sebagai ciri demokrasi akan liar tidak terkendali. Dengan adanya demokrasi, maka Hak Asasi Manusia pun akan dijunjung sebagai wujud negara demokrasi yang tertib hukum.

3.2  Saran
     





























DAFTAR RUJUKAN

[1] Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, P.T Alumni Bandung, Bandung, 2008, hlm.165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar