Rabu, 19 Desember 2012

MANUSIA DAN LINGKUNGAN


MANUSIA DAN LINGKUNGAN
A.    Pengertian Manusia dan Lingkungan
1.      Pengertian Manusia
            Manusia adalah makhluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati, dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik positif maupun negatif.
            Manusia adalah makhluk yang terbukti berteknologi tinggi. Ini karena manusia memiliki perbandingan massa otak dengan massa tubuh terbesar diantara semua makhluk yang ada di bumi. Walaupun ini bukanlah pengukuran yang mutlak, namun perbandingan massa otak dengan tubuh manusia memang memberikan petunjuk dari segi intelektual relatif.
            Manusia atau orang dapat diartikan dari sudut pandang yang berbeda-beda, baik itu  menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai homo sapiens (bahasa latin untuk manusia) yang merupakan sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
            Manusia juga sebagai mahkluk individu memiliki pemikiran-pemikiran tentang apa yang menurutnya baik dan sesuai dengan tindakan-tindakan yang akan diambil. Manusia pun berlaku sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat tinggalnya.
2.      Pengertian Lingkungan
            Lingkungan adalah suatu media dimana makhuk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih kompleks.
            Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan. Pengertian lain dari lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. (http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/lingkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertian-kerusakan-linkungan-dan-pelestarian-.htm)
            Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kalian berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada disekitarnya. Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada disekitar.
            Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia)
B.     Pengaruh Manusia Pada Alam Lingkungan Hidupnya
            Manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada alam lingkungan hidupnya maupun komunitas biologis di tempat mereka hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak jelas di kota-kota, dibanding dengan pelosok dimana penduduknya masih sedikit dan primitif.
            Perubahan alam lingkungan hidup manusia akan berpengaruh baik secara positif ataupun negatif. Berpengaruh bagi manusia karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut, dan berpengaruh tidak baik karena dapat dapat mengurangi kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya.
            Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki kemampuan berfikir dan penalaran yang tinggi. Disamping itu manusia memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan serta teknologi yang makin berkembang. Peranan manusia dalam lingkungan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Peranan manusia yang bersifat negatif adalah peranan yang merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung atau pun tidak langsung timbul akibat kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, peranan manusia yang bersifat positif adalah peranan yang berakibat menguntungkan lingkungan karena dapat menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan.
            Peranan Manusia yang bersifat negatif terhadap lingkungan antara lain sebagai berikut:
1.      Eksploitasi yang melampaui batas sehingga persediaan  Sumber Daya Alam makin menciut (depletion)
2.      Punah atau merosotnya jumlah keanekaan jenis biota
3.      Berubahnya ekosistem alami yang mantap dan seimbang menjadi ekosistem binaan yang tidak mantap karena terus menerus memerlukan subsidi energi
4.      Berubahnya profil permukaan bumi yang dapat mengganggu kestabilan tanah hingga menimbulkan longsor
5.      Masuknya energi bahan atau senyawa tertentu ke dalam lingkungan yang menimbulkan pencemaran air, udara, dan tanah. hal ini berakibat menurunnya kualitas lingkungan hidup. Pencemaran dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan dan terhadap manusia itu sendiri;
Peranan Manusia yang menguntungkan lingkungan antara lain:
1.      Melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam secara tepat dan bijaksana terutama SDA yang tidak dapat diperbaharui
2.      Mengadakan penghijauan dan reboisasi untuk menjaga kelestarian keaneka jenis flora serta untuk mencegah terjadinya erosi dan banjir;
  1. Melakukan proses daur ulang serta pengolahan limbah agar kadar bahan pencemar yang terbuang ke dalam lingkungan tidak melampaui nilai ambang batasnya;
  2. Melakukan sistem pertanian secara tumpang sari atau multi kultur untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk tanah pertanian yang miring dibuat sengkedan guna mencegah derasnya erosi serta terhanyutnya lapisan tanah yang mengandung humus;
  3. Membuat peraturan, organisasi atau undang-undang untuk melindungi lingkungan dan keanekaan jenis makhluk hidup.
C.    Hubungan manusia dan lingkungan hidup
      Manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari lingkungan. Makin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah kebutuhan hidupnya berarti makin besar pula perhatian manusia terhadap lingkungannya.       Perhatian dan pengaruh manusia terhadap ligkungan makin meningkat pada zaman teknologi maju. Masa ini manusia mengubah lingkungan hidup alami menjadi lingkungan hidup binaan. Eksplotasi sumber daya alam makin meningkat untuk memenuhi bahan dasar industri. Sebaliknya hasil industri berupa asap dan limbah mulai menurunkan kualitas lingkungan hidup.
      Berdasarkan sifatnya, kebutuhan hidup manusia dapat dilihat dan dibagi menjadi 2, yaitu kebutuhan hidup materil antara lain adalah air, udara, sandang, pangan, papan, transportasi sera perlengkapan fisik lainnya. Dan kebutuhan nonmateril adalah rasa aman, kasih sayang, pengakuan atas eksistensinya, pendidikan dan sistem nilai dalam masyarakat. Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki daya fikir dan daya nalar tertinggi dibandingkan makluk lainnya. Di sini jelas terlihat bahwa manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang aktif. Hal ini disebabkan manusia dapat secara aktif mengelola dan mengubah ekosistem sesuai dengan apa yang dikehendaki. Kegiatan manusia ini dapat menimbulkan bermacam-macam gejala sebagai konsekuensinya.
D.    Lingkungan Hidup Manusia
            Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 Angka 1 mengartikan Lingkungan Hidup sebagai “kesatuan ruang dengan kesemua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya”.
(http://www.facebook.com/grup/smasyamtala/note/peranan-manusia-dalam-lingkungan-hidup)
            Manusia hidup, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan alam dan budayanya. Dalam lingkungan alamnya manusia hidup dalam sebuah ekosisten yakni, suatu unit atu satuan fungsional dari makhluk-makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam ekosisten terdapat komponen abiotik pada umumnya merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi makhluk-makhluk hidup diantaranya: tanah, udara atau gas-gas yang membentuk atmosfer, air, cahaya, suhu atau temperatur, Sedangkan komponen biotik diantaranya adalah: produsen, konsumen, pengurai.
E.     Pengaruh Manusia Pada Alam Lingkungan Hidupnya
            Manusia sedikit demi sedikit mulai menyesuaikan diri pada alam lingkungan hidupnya maupun komunitas biologis di tempat mereka hidup. Perubahan alam lingkungan hidup manusia tampak jelas di kota-kota, dibanding dengan pelosok dimana penduduknya masih sedikit dan primitif.
            Perubahan alam lingkungan hidup manusia akan berpengaruh baik secara positif ataupun negatif. Berpengaruh bagi manusia karena manusia mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut, dan berpengaruh tidak baik karena dapat dapat mengurangi kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong kehidupannya.
            Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki kemampuan berfikir dan penalaran yang tinggi. Disamping itu manusia memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan serta teknologi yang makin berkembang. Peranan manusia dalam lingkungan ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Peranan manusia yang bersifat negatif adalah peranan yang merugikan lingkungan. Kerugian ini secara langsung atau pun tidak langsung timbul akibat kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, peranan manusia yang bersifat positif adalah peranan yang berakibat menguntungkan lingkungan karena dapat menjaga dan melestarikan daya dukung lingkungan.

PERAN-PERAN ILMU SOSIAL DALAM “NASIONAL CHARACTER BUILDING”


PERAN-PERAN ILMU SOSIAL DALAM “NASIONAL CHARACTER BUILDING”

Mengikuti perkembangan dunia secara global peran serta setiap ilmu untuk turut andil dalam pembanguan kualitas sumber daya masyarakat secara keseluruhan haruslah lebih mengarah kepada suatu perubahan yang lebih baik dan berdasarkan fakta-fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat indonesia. Setiap bangsa yang melaksanakan pembangunan selalu menginginkan perubahan yang mengarah pada kemajuan bangsanya. Dan keberhasilan pembangunan tersebut tidak akan terlaksana tanpa adanya semangat juang dari seluruh komponen bangsa untuk maju bersama-sama. Seperti misalnya semangat perubahan Cina dan India yang dapat sukses membangun negaranya berdasarkan pada pembangunan nasional yang kuat. Cina dengan reformasi ekonomi gaya Deng Xiaoping, India dengan perpaduan serasi antara agama dengan kasta serta meritrokasi.
            Pembangunan karakter suatu bangsa tidak cukup dalam esensi pembangunan fisik saja tetapi dibutuhkan suatu orientasi yang lebih kuat yaitu suatu landasan dasar atau pondasi pembangunan karakter bangsa tersebut. Sehingga esensi fisik dari pembangunan berawal pada internalisasi nilai-nilai untuk menuju pada pembangunan tata nilai atau sebaliknya pembangunan yang berorientasi pada tatanan fisik tersebut dijiwai oleh semangat peningkatan tata nilai sosio-kemasyarakatan dan budaya.  Berikut adalah peran-peran ilmu sosial dalam pembangunan, diantaranya:
PERAN PANCASILA
            Pembinaan karakter bangsa Indonesia terus dilaksanakan secara terus-menerus demi terciptanya generasi muda penerus bangsa yang memiliki mental saing kuat dalam menghadapi globalisasi. Pembinaan karakter bangsa Indonesia juga dilandasi oleh nilai-nilai dasar pancasila. Pancasila sebagai landasan pembangunan berarti nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi logis terhadap pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia termasuk dalam melaksanakan pembangunan karakter bangsa. Nilai-nilai dasar Pancasila dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Sedangkan Pembangunan nasional Indonesia diarahkan pada upaya peningkattan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Sehingga, pembangunan nasional bangsa Indonesia dapat dimaknai sebagai upaya peningkatan harkat dan martabat manusia secara total atau menyeluruh berdasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam pancasila.
Dalam melaksanakan pembangunan sosial berdasarkan pancasila maka pembangunan sosial tersebut harus bertujuan untuk mengembangkan harkat dan martabat manusia secara total. Oleh karena itu, pembangunan yang berdasarkan pancasila harus dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan dengan berlandaskan pada pancasila tersebut meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
PERAN ILMU SEJARAH
            Merujuk dari pendapat Sartono Kartodidjo (1988) bahwa dalam rangka pembangunan bangsa, pengajaran sejarah tidak semata-mata berfungsi untuk memberikan pengetahuan sejarah sebagai kumpulan informasi fakta sejarah tetapi juga bertujuan menyadarkan anak didik atau membangkitkan kesadaran sejarahnya. Karena, seperti yang tertuang dalam Peraturam Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilainilaikearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap,watak dan kepribadian peserta didik.
            Berangkat dari landasan berpikir bahwa pendidikan sejarah pada dasarnya tidak untuk masa sekarang saja, tetapi juga untuk masa mendatang. Mengingat sejarah merupakan mata pelajaran yang pada dasarnya bertujuan untuk membangun karakter bangsa. Dengan kata lain, merujuk pada isi Permendiknas Nomor 22 Tahun 2003, mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi sejarah:
1.      Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme,nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari prosespembentukan watak dan kepribadian peserta didik.
2.      Memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradabanbangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yangmendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsaIndonesia di masa depan.
3.      Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untukmenjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa.
4.      Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisismultidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
5.      Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawabdalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
ILMU SOSIOLOGI
            Peranan ilmu sosiologi dalam pembangunan kualitas sumber daya masyarakat tentunya sangat penting dilihat dari segi pengertian dari sosiologi itu sendiri. Sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi merupakan cabang ilmu sosial yang mempelajari masyarakt dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Dalam buku August Comte yang pertama kalinya berjudul “Cours De Philosophie Positive” pada tahun (1798-1875), terdapat tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan tahap sebelumnya. Tiga tahapan itu adalah :
1.      Tahap teologis, adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
2.      Tahap metafisis, pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena itu adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realits tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
3.      Tahap positif, merupakan tahap dimana manusia mulai berfikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian terhadap perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.
            Dalam pembangunan kualitas sumber daya masyarakat indonesia tentunya tidak luput dari fakta sosial, tindakan sosial, Khayalan sosilogis, dan realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat indonesia secara umum ataupun khusus untuk membuat suatu pemecahan terhadap hal-hal yang dapat menurunkan kualitas sumber daya masyarakat. Perubahan masyarakat dapat dipelajari muali dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasrkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh.
ILMU ANTROPOLOGI
            Kekuatan antropologi dan sosiologi adalah dalam melakukan analisa terhadap berbagai krisis pembangunan. Di Indonesia sendiri antropologi memiliki peran sebagai konseptual dan teoretikal mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari masyarakat majemuk yang telah selama ini. Dengan pemahaman massyarakat yang majemuk ini sebagai masyarakat yang multiultural. Dengan demikian konsep-konsep antropologi seperti etnocentrisme yang melihat kebudayaan memiliki kekhasnya masing masing dan tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atupun rendah. Dengan demikian antropologi menjembatani banyaknya kemajemukan yang ada di indonesia.
            Selain itu kajian-kajian etnografi sangat dibutuhkan dalam perkembangan antropologi dewasa ini dan harus disesuaikan dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang terfokus dan mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang adai dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan dalam mendukung pembangunan yang bersifat nasional itu. Selain itu pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angkaangka statistiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku, karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya.

ILMU GEOGRAFI
            Pendidikan geografi, memiliki ‘kewajiban formal’ untuk mendukung pada tujuan pendidikan karakter bangsa juga mengandung potensi nilai yang besar dalam memaksimalkan fungsi geografi dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, ada lima sumbangan pedagogis yang diberikan oleh geografi. Yaitu wawasan dalam ruang, persepsi relasi antar gejala, pendidikan keindahan, kecintaan tanah air, dan saling pengertian internasional. Geografi itu memiliki lima nilai, yakni. Geografi memiliki nilai teoritis, yaitu geografi berusaha untuk membaca realitas geosfera yang terjadi dengan membicarakan, membahas, menelaah atau menganalisis fenomena geosfera. Pada sisi kedua, geografi juga memberikan nilai praktis, khususnya dalam memberikan teknik-teknik pembacaan peta, atau membaca medan. Nilai ketiga, geografi memiliki nilai edukatif, baik aspek kognitif, afektif-konatif dan juga psikomotor. Nilai edukasi dari geografi yaitu sebagai bagian dari strategi pengembangan sumber daya manusia dengan pendekatan atau strategi yang harus dilakukan yaitu perlu untuk memperhatikan konteks ruang dan kondisi sosial-budaya masyarakat. Pada konteks inilah, peran geografi menjadi sangat penting. Keempat, geografi memberikan peran dalam pengembangan nilai filsafat, misalnya dalam memahami hakikat hidup di lingkungan ini. Sistem ekologi, yang kian hari kian meluntur kualitasnya, perlu dipahami sebagai sesuatu hal yang bersifat filosofis. Keberadaan alam yang tidak abadi, aksi manusia dan alam, keberadaan manusia dalam alam adalah beberapa nilai filosofis yang bisa mengemuka sebagai bagian dari pendidikan filsafatnya. Kelima, geografi memiliki nilai Ketuhanan. Sebagai umat manusia, atau sebagai makhluk, yang dikaruniai budi atau akal fikiran, selain kita mengerti tantang apa yang kita pelajari, juga perlu untuk merenungi apa yang telah kita pelajari tersebut.
Sumber:

BHINNEKA TUNGGAL IKA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan. Pilar memiliki peran yang sangat sentral dan menentukan, karena bila pilar ini tidak kokoh atau rapuh akan berakibat robohnya bangunan yang disangganya. Dalam bahasa Jawa tiang penyangga bangunan atau rumah ini disebut ”soko”, bahkan bagi rumah jenis joglo, yakni rumah yang atapnya menjulang tinggi terdapat empat soko di tengah bangunan yang disebut soko guru. Soko guru ini sangat menentukan kokoh dan kuatnya bangunan, terdiri atas batang kayu yang besar dan dari jenis kayu yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian orang yang bertempat di rumah tersebut akan merasa nyaman, aman dan selamat dari berbagai bencana dan gangguan.
            Sebagai salah satu dari empat pilar, Bhinneka Tunggal Ika  di sisi lain masih dipertanyakan atau dipersoalkan maknanya oleh sebagian masyarakat dalam kaitannya dengan implementasi Undang-undang No.32 tahun  2004, tentang Pemerintah Daerah. Sejak awal telah begitu banyak pihak yang berusaha membahas untuk memahami dan memberi makna Pancasila, serta bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu pilar Bhinneka Tunggal Ika masih kurang menarik bagi pihak-pihak untuk membahas dan memikirkan bagaimana implementasinya, padahal Bhinneka Tunggal Ika memegang peran yang sangat penting bagi negara-bangsa yang sangat pluralistik ini. Dengan bertitik tolak dari pemikiran ini, dicoba untuk membahas makna Bhinneka Tunggal Ika dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dapat menjadi tiang penyangga yang kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.


1.2  Rumusan Masalah
            Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan bahwa dalam makalah ini membahas tentang makna-makna yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, konsep, prinsip-prinsip, implementasi, demokrasi, multikulturalisme, tugas dan tujuan, ruang lingkup, dan penyebab lunturnya Bhinneka Tunggal Ika.
1.3  Tujuan
            Dari rumusan diatas pada makalah ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Bhinneka Tunggal Ika, diantaranya tentang makna-makna yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, konsep, prinsip-prinsip, implementasi, demokrasi, multikulturalisme, tugas dan tujuan, ruang lingkup, dan penyebab lunturnya Bhinneka Tunggal Ika.











BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Penemuan dan Makna Bhinneka Tunggal Ika Secara Istilah
            Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa,“ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.
            Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengacu pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan e Pluribus Unum, semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity in unity, perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman dalam kesatuan telah diungkap oleh MPu Tantular lebih dahulu.
Kutipan tersebut berasal dari pupuh 139, bait 5, kekawin Sutasoma yang lengkapnya  sebagai berikut:
Jawa Kuna
Alih bahasa Indonesia
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
            Sasanti yang merupakan karya Mpu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat Majapahit dalam berdharma, oleh bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya, dijadikan semboyan dan pegangan bangsa dalam membawa diri dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah Bhinneka Tunggal Ika juga tidak tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya, seperti yang dinyatakan :” Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.”
2.2    MAKNA BHINNEKA TUNGGAL BAGI BANGSA INDONESIA
Sebagai semboyan bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika mengandung makna yang penting karena pengertian atau makna yang terkandung dalam seloka tersebut itulah kiranya yang menuntun pemahaman bangsa Indonesia bahwa walaupun kita memiliki keanekaragaman dalam banyak hal akan tetapi tetap satu jua adanya.
Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman sejarah, adat istiadat, bahasa serta kebudayaan sendiri-sendiri. Keanekaragaman tersebut tidak menjadi penghalang, bahkan dianggap sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Hal itu diwujudkan di dalam semboyan nasional Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” seperti yang terdapat pada lambang negara Indonesia. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika tersebut berasal dari bahasa Sanskrit yang terdapat dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular pada zaman Majapahit.
Semenjak masa-masa permulaan kemerdekaan bangsa Indonesia semboyan tersebut senantiasa digunakan sebagai semboyan nasional digunakan untuk mendorong semangat persatuan bangsa. Semboyan tersebut memesankan keanekaragaman Indonesia yang senantiasa dipelihara dan dipandang sebagai asset nasional Indonesia.
        Menurut perkiraan para ahli, bangsa Indonesia terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa atau golongan etnik (Depdikbud, 1984;149). Sebagai contoh dapat disebut sukubangsa Aceh, Gayo, Batak, Minagkabau, dan Melayu di Sumatera; Suku Bangsa Jawa dan Sunda di Jawa; Suku Bangsa Banjar dan Dayak di Kalimantan; Suku Bangsa Bugis, Mandar, Toraja, Makasar, Buton dan Minahasa di Sulawesi; Suku Bangsa Ambon, dan Kei di Maluku; Suku Bangsa Irian di Papua; Suku Bangsa Timor, Flores, dan Sumba di Nusa Tenggara Timur, Suku Bangsa Sasak dan Bima di Nusa Tenggara Barat serta Suku Bangsa Bali di Bali. Perkembangan sejarah dan kesatuannya dengan lingkungan alam yang didiami selama berabad-abad memberikan cirri khusus pada kebudayaan Suku Bangsa tersebut. Karena itulah setiap Suku Bangsa memiliki ciri tersendiri yang berbeda-beda dengan suku yang lainnya, contoh nyata adalah bahasa, tiap daerah di Indonesia memiliki bahasa yang berbeda-beda. Misalnya Orang Aceh berbahasa Aceh, orang Tapanuli berbahasa Batak, orang Sumatera Barat berbahasa Minang, orang Sulawesi Selatan berbahasa Bugis dan Ternate, dan orang Sunda berbahasa Sunda. Apa yang dikemukakan tersebut hanya sekedar contoh keanekaragaman dalam bahasa. S.J Esser mencatat 102 bahasa daerah di seluruh Nusantara, yang jika dirinci lagi dialeknya ,maka jumlahnya akan jauh lebih besar, di Papua saja terdapat 185 bahasa    lokal. Namun demikian bahasa Melayu (Melayu kuno) sudah digunakan sebagai bahasa pengantar di Nusantara sejak abad ke-13. Hal itulah yang mempermudah bangsa Indonesia menyepakati menetapkan bahasa Indonesia melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928 untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, untuk lengkapnya beberapa pengelompokan bahasa dapat dikemukakan sebagai berikut :
-          Kelompok Sumatera
-          Kelompok Kalimantan
-          Kelompok Jawa
-          Kelompok Bali-Sasak
-          Kelompok Gorontalo
-          Kelompok Tomini
-          Kelompok Toraja
-          Kelompok Loinang
-          Kelompok Banggai
-          Kelompok Bungku-Laki
-          Kelompok Sulawesi Selatan
-          Kelompok Muna-Butung
-          Kelompok Bima-Sumba
-          Kelompok Ambon-Timor
-          Kelompok Sula-Bacaan
-          Kelompok Halmahera Selatan dan Teluk Cendrawasih Papua
-          Kelompok Halmahera Utara
-          Bahasa-bahasa Papua Tengah dan Selatan
-          Bahasa-bahasa Papua pantai utara
-          Kelompok Sulawesi Utara
-          Melanesia (Bahasa Janefa, Sarmi, dan lain-lain)
 (Depdikbud,1984;h.158-160)



        Dalam kehidupan kemasyarakatan, dapat dilihat bahwa aspek yang menonjol adalah desa, kekerabatan dan kehidupan gotong royong. Hal-hal yang baik seperti yang sudah dilakukan secara turun temurun dan sangat bermanfaat itu haruslah dilestarikan dan dikembangkan secara terus menerus. Kesatuan hidup territorial yang disebut desa itu terdapat hampir diseluruh Indonesia dengan nama yang berbeda, sebagai contoh misalnya adalah benua di Nias, gamponng di Aceh, kuta di Karo, Nagari di Sumatera Barat, desa di Jawa, yang kesemuanya itu dikepalai oleh seorang kepala desa atau Lurah.
2.3 Konsep dasar Bhinneka Tunggal Ika
            Berikut disampaikan konsep dasar yang terdapat dalam Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian terjabar dalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika yang dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Dalam rangka memahami konsep dasar dimaksud ada baiknya kita renungkan lambang negara yang tidak terpisahkan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perlu kita mengadakan refleksi terhadap lambang negara tersebut.
            Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang terikat dalam suatu kesatuan. Pluralistik bukan pluralisme, suatu faham yang membiarkan keanekaragaman seperti apa adanya. Membiarkan setiap entitas yang menunjukkan ke-berbedaan tanpa peduli adanya common denominator pada keanekaragaman tersebut. Dengan faham pluralisme tidak perlu adanya konsep yang mensubstitusi keanekaragaman. Demikian pula halnya dengan faham multikulturalisme. Masyarakat yang menganut faham pluralisme dan multikulturalisme, ibarat onggokan material bangunan yang dibiarkan teronggok sendiri-sendiri, sehingga tidak akan membentuk suatu bangunan yang namanya rumah. Ada baiknya dalam rangka lebih memahami makna pluralistik bangsa difahami pengertian pluralisme, agar dalam penerapan konsep pluralistik tidak terjerumus ke dalam faham pluralisme. 
            Pluralisme  berasal dari kata plural yang berarti banyak, adalah suatu faham yang mengakui bahwa terdapat berbagai faham atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang lain. Masing-masing faham atau entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama lain, sehingga tidak perlu adanya substansi pengganti yang mensubstitusi faham-faham atau berbagai entitas tersebut. Salah satu contoh misal di Indonesia terdapat ratusan suku bangsa. Menurut faham pluralisme setiap suku bangsa dibiarkan berdiri sendiri lepas yang satu dari yang lain, tidak perlu adanya substansi lain, misal yang namanya bangsa, yang mereduksi eksistensi suku-suku bangsa tersebut. Faham pluralisme melahirkan faham individualisme yang mengakui bahwa setiap individu berdiri sendiri lepas dari individu yang lain. Faham individualisme ini mengakui adanya perbedaan individual atau yang biasa disebut individual differences. Setiap individu memiliki cirinya masing-masing yang harus dihormati dan dihargai seperti apa adanya. Faham individualisme ini yang melahirkan faham liberalisme, bahwa manusia terlahir di dunia dikaruniai kebebasan. Hanya dengan kebebasan ini maka harkat dan martabat individu dapat didudukkan dengan semestinya. Trilogi faham pluralisme, individualisme dan liberalisme inilah yang melahirkan sistem demokrasi dalam sistem pemerintahan utamanya di Negara Barat. Sebagai contoh berikut disampaikan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Hak Manusia dan Warganegara Perancis yang melandasi pelaksanaan sistem demokrasi di negara tersebut yang berdasar pada faham pluralisme, individualisme dan liberalisme.
            Pluralitas adalah sifat atau kualitas yang menggam-barkan keanekaragaman; suatu pengakuan bahwa alam semesta tercipta dalam keaneka ragaman. Sebagai contoh bangsa Indonesia mengakui bahwa Negara-bangsa Indonesia bersifat pluralistik, beraneka ragam ditinjau dari suku-bangsanya, adat budayanya, bahasa ibunya, agama yang dipeluknya, dan sebagainya. Hal ini merupakan suatu kenyataan atau keniscayaan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Keaneka ragaman ini harus didudukkan secara proporsional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus dinilai sebagai asset bangsa, bukan sebagai faktor penghalang kemajuan. Perlu kita cermati bahwa pluralitas ini merupakan sunnatullah.
            Seperti dikemukan di atas, pola sikap bangsa Indone-sia dalam menghadapi keaneka-ragaman ini berdasar pada suatu sasanti atau adagium “Bhinneka Tunggal Ika,” yang bermakna beraneka tetapi satu, yang hampir sama dengan motto  yang dipegang oleh bangsa Amerika, yakni “e pluribus unum.” Pluralitas atau pluralistik tidak merupakan suatu faham, isme atau keyakinan yang bersifat mutlak. Untuk itu tidak perlu dikembangkan ritual-ritual tertentu seperti halnya agama. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta  didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh  masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa.
2.4    Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru. Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
2.    Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan minoritas.
3.    Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
4.    Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu,  dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
     Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai: (1) inklusif, tidak bersifat eksklusif, (2) terbuka, (3) ko-eksistensi damai dan kebersamaan, (4) kesetaraan, (5) tidak merasa yang paling benar, (6) tolerans, (7) musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda. 

2.5    Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-cita Luhur bangsa
            Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.     Perilaku inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2.    Mengakomodasi sifat pluralistik. Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
3.    Tidak mencari menangnya sendiri. Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
4.    Musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.
5.    Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban. Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
6.    Toleran dalam perbedaan. Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
            Bila setiap warganegara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat dan benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.
2.6    Bhinneka Tunggal Ika dalam Demokrasi Indonesia
            Perbedaan suku, bahasa, agama, serta budaya, telah terbentuk menjadi satu kesatuan yang utuh (NKRI), yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Keragaman tersebut berdiri tegak dalam lingkaran persamaan, di bawah naungan satu bendera: bendera Merah Putih. Satu lagu kebangsaan: lagu Indonesia Raya. Satu bahasa: Bahasa Indonesia. Satu lambang negara, yakni seekor Garuda yang memiliki azas Pancasila, dan dipadu dengan seuntai kalimat bermakna agung “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai mottonya. Jika merujuk pada esensi atau inti dari motto “Bhinneka Tunggal Ika” yang hakekatnya mengandung nilai-nilai nasionalisme, yaitu persatuan, kesatuan, serta kebersamaan untuk satu niat dan tujuan (visi dan misi), yang dijalin erat oleh rasa persaudaraan. Sudah tentu, keragaman yang terikat dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah aset yang paling berharga bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita luhurnya, yakni menata dan membangun bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa bermartabat yang mampu berdiri sendiri: adil, makmur, damai, sentosa.
            Tapi, bagaimana mungkin, Garuda yang konotasi melambangkan eksistensi serta perjalanan bangsa Indonesia di era kemerdekaan, bisa mengepakkan sayap dan terbang mengangkasa, bila Pancasila hanya sebatas ruh yang pasif dalam jasadnya, dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi penggerak bagi ruh tersebut tidak dinamis, atau tidak bergerak efektif sesuai inti dari kandungan maknanya.
            Dalam demokrasi Indonesia, yang menginduk pada Pancasila dan berorientasi pada Undang-Undang Dasar 1945, serta mengacu pada Musyawarah Mufakat, nuansa kebebasan yang sudah diatur dan dilindungi norma-norma atau etika kebangsaan, telah melahirkan kembali berbagai perbedaan yang kongkrit sebagai bentuk apresiasi dari kedemokrasian tersebut, seperti partai-partai politik, organisasi massa, serta lembaga swadaya masyarakat. Dan maraknya keberadaan kelompok, perkumpulan atau organisasi-organisasi, baik yang bergerak di bidang politik, sosial kemasyarakatan ataupun yang lainnya, menunjukan bukti bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan kemajuan.
            Demokrasi Indonesia atau Demokrasi Pancasila yang berazas musyawarah mufakat, yang secara harfiah menyimpan makna dari nilai-nilai nasionalisme dalam Bhinneka Tunggal Ika, yaitu kebersamaan yang diikat oleh rasa persaudaraan, yang menjadi manifestasi dari kokohnya persatuan serta kesatuan untuk satu tujuan, dimana setiap keputusan adalah hasil kesepakatan yang intensif dari kebersamaan, yang disaring secara jujur dan adil, dan dikembalikan dengan jujur dan adil pula untuk kebersamaan.
            Perbedaan kelompok, perbedaan pendapat dan pemikiran, yang disebut keragaman dalam demokrasi Indonesia, bisa menjadi penyakit mematikan yang merongrong bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita luhurnya, dan akan menjadi bumerang yang memalukan bagi paham serta kedemokrasiannya, jika perbedaan atau keragaman tersebut telah saling berbenturan dan tidak lagi memprioritaskan kepentingan serta tujuan bersama atas nama kebersamaan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, seperti yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika.
            Sejarah panjang penderitaan bangsa Indonesia pun akan terus berlarut, dan Indonesia hanya akan menjadi bangsa yang didominasi konflik internal di atas kemerdekaanya, jika ruang demokrasi yang begitu luas memberi kebebasan untuk berekspresi dan beraspirasi, telah menumbuhkan sikap egois, individualis, apatis, serta sikap mementingkan kelompok atau golongan. Sikap-sikap tersebut adalah pembunuh kebenaran makna demokrasi, yang tegas menyatakan bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat, dan rakyatlah yang memegang kendali dalam sistem pemerintahan, yang kedudukannya berbentuk amanat.
            Sikap-sikap yang jelas bertentangan dengan hakekat Bhinneka Tunggal Ika, hanya akan membawa demokrasi Indonesia ke jurang kebablasan, dimana kedemokrasiannya bukan lagi media atau alat untuk menegakkan nilai-nilai nasionalisme yang menjadi subjek dari satu niat dan tujuan (visi dan misi) yang utuh. tetapi, menjadi ajang perseteruan dan menjadi kendaraan untuk memperebutkan kursi kehormatan yang disebut kekuasaan. Dan Pancasila yang menjadi ruh bangsa Indonesia, yang seharusnya menjadi tolak ukur bagi pola pikir dan tindakan bangsa Indonesia untuk merealisasikan tujuan bersama dalam wadah demokrasi, hanya menjadi objek yang mandul dalam kedemokrasiannya.
            Dalam hal ini, yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah kesadaran dari setiap individunya untuk bisa mengevaluasi dan merevisi diri, serta berevolusi untuk sebuah perubahan besar di dalam diri individunya atau revolusi diri, yang disebut pembinaan moral atau akhlak. karena moral atau akhlak, merupakan kerangka utama dalam demokrasi Indonesia atau Demokrasi Pancasila yang disistematikan oleh Bhinneka Tunggal Ika untuk menerapkan kejujuran dan keadilan dalam kebersamaan, demi menata dan membangun peradaban bangsa Indonesia dalam demokrasi yang berjiwa amanat: amanat dari amanat, amanat oleh amanat, amanat untuk amanat, tanpa harus dikotori oleh kebohongan. Sebab kebohongan adalah bentuk pengkhianatan yang tumbuh dari kemiskinan moral atau akhlak, yang menjadi titik awal dari kebobrokan atau kehancuran.
2.7    MULTIKULTURALISME BHINEKA TUNGGAL IKA
Konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam Konteks Wacana Multikulturalisme
Secara historis kontemporer dalam masyarakat Barat, (Wikipedia) multikulturalisme setidaknya menunjuk pada tigal hal. Pertama, sebagai bagian dari pragmatism movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat. Kedua, sebagai political and cultural pluralism pada abad ke 20 yang merupakan bentuk respon terhadap imperialisme Eropa di Afrika dan imigrasi besar-besaran orang Eropa ke Amerika Serikat dan Amerika Latin. Ketiga, sebagai official national policy yang dilakukan di Canada pada 1971 dan Australia tahun 1973 dan berikutnya di beberapa Negara Eropa. Secara konseptual tampaknya dinamika pemikiran tentang multikulturalisme tersebut merupakan pergumulan antara pilihan menjadi monocultural nation-state yang didasarkan pada prinsip …each nation is entitled to its own souvereign state and to engender, protect and preserve its own unique culture and history, atau menjadi multilingual and multi-ethnic empires yang dianggap sangat opresif, seperti Austro-Hungarian Empire dan Ottoman Empires. Namun demikian, dalam praksis kehidupan kenegaraaan yang berbasis pemikiran monoculturalism ternyata ideology nation-state dengan prinsip unity of disscent, unity of culture, unity of language and often unity of religion tidak mudah diwujudkan. Oleh karena itu, dalam kondisi tidak dicapainya cultural unity, karena dalam kenyataannya justru memiliki  cultural diversity, Negara melakukan berbagai kebijakan, yang salah satunya yang paling umum adalah melakukancompulsory primary education dalam satu bahasa. Walaupun demikian, hal tersebut potensial menimbulkan cultural conflict sebagai akibat dari pengabaian terhadap bahasa lokal/daerah.
Menarik untuk dicermati bagaimana modus kebijakan multikulturalisme yang ada selama ini.
1) Model Amerika Serikat yang memiliki kebijakan multikulturalime yang dikenal the Melting Pot’ ideal, yang pada dasarnya bahwa immigrant cultures are mixed and amalgamated without state intervention. Setiap individu imigran diharapkan mampu berasimilasi ke dalam kondisi masyarakat Amerikan menurut kecepatannya dalam beradaptasi. Pemikiran tentang melting pot ini dirancang untuk bergandengan secara harmonis dengan konsep Amerika sebagai suatu national unity.
2)  Model Australia, dengan multikulturalisme yang dikonsepsikan dalam format ethnic selection, di mana masyarakat Australia yang sebelum datanganya immigrant Eropa secara besar-besaran, sesungguhnya memiliki bayak indigenous cultures (aborigin) atau kebudayaan asli untuk diarahkan menjadi masyarakat Australia yang mencerminkan the British ethno-cultural identity.
3) Di lain pihak Canada menggunakan kebijakan multilkulturalisme dalam bentuk pembangunan national unity melalui konsepsi pluralistic and particularist multiculturalism yang kemudian dikenal sebagai Canada’s cultural mosaic yang pada dasarnya memandang bahwa setiap budaya atau sub-budaya  di dalam masyarakar Canada memberikan kontribusi keunikan dan nilai luhur terhadap keseluruhan kebudayaan dengan prinsip preserving the distinctions between cultures.
4) Model Argentina yang menerapkan kebijakan multikulturalisme untuk mengakomodasikan budaya immigrant dengan prinsip multikulturalisme sebagai cerminan dari social assortment of Argentine culture dengan menerapkan individual’s multiple citizenship.
5) Model Malaysia, yang menerap kebijakan multikulturalisme  dengan prinsip coexistence between the three ethnicities (Malays, Chinese, and Indian) dengan jaminan konstitusional …that immigrant groups are granted citizenship, and Malays’ special rights are guranted, yang kemudian dikenal dengan Bumiputera policy.
6) Model Indonesia, bahwa Indonesia  dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern. Dengan kata lain, Indonesia tidak dimaksudkan untuk dibangun dan dikembangkan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika konstitusional dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini.  yang mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Demikian pula dalam instrumentasi dan praksis kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi, serta dampak perkembangan internasional pada setiap zamannya.
2.8    Tugas Dan Tanggung Jawab Negara Dan Warga Negara Dalam Bhineka Tunggal Ika
a.        Tugas untuk menjunjung/mentaati hukum dan pemerintahan.
       Dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 UUD1945 : “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
       Jadi supaya tercipta kehidupan kebineka tunggal ikaan, yang pertama dilakukan adalah semua warga Negara harus mentaati hokum dan pemerintahan yang berdaulat. Karena jika disuatu Negara warganya tidak bisa mentaati hukum dan pemerintahan yang berlaku di Negara tersebut, maka tidak akan pernah tercipta kehidupan kebineka tunggal ikaan.
b.  Menjamin sistem hukum yang adil.
       Dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 : “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
       Negara selain meminta warga Negara untuk mematuhi hukum yang berlaku, juga mempunyai kewajiban untuk menjamin sistem hukum yang adil sehingga warga Negara merasa tidak dibeda-bedakan dihadapan hukum, seperti yang tertuang pada pasal 27 ayat 1 diatas. Dan diharapkan setelah pemerintah menjamin dan melaksanakan sistem hukum yang adil maka kehidupan yang berkeadilan dan bermartabat dapat terwujud.
c.      Memberi kebebasan beribadah.
       Dinyatakan dalam pasal 29 ayat 2 : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
       Karena Negara kita merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari bermacam-macam suku dan juga agama maupun kepercayaan, maka Negara memberi jaminan kebebasan untuk beribadah menurut kepercayaan masing-masing. Sehingga kehidupan kebineka tunggal ikaan tetap terjaga dan terpelihara. Dan juga asas keadilan tetap terwujud, karena tidak ada asas mayoritas untuk cuma membolehkan pemeluk agama mayoritas saja yang boleh beribadah, tetapi juga agama minoritas.
2.9    Ruang Lingkup dan Tata Urut
            Ruang lingkup pembahasan dan penulisan dibatasi pada pembahasan tentang aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam mewujudkan integrasi di Indonesia sebagai pilar nasionalisme. Untuk itu tata urut pembahasan dan penulisan meliputi (1) Pemahaman Nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an (2) Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam Perwujudan Integrasi Nasional (3) Integrasi Nasional dalam Masyarakat Multikultural/Majemuk sebagai Pilar Nasionalisme.
1.    Pemahaman Nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
            Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang majemuk, dalam membina dan membangun atau menyelenggarakan kehidupan nasional, baik pada aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan rakyat semestanya, selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam satu wadah/wilayah yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembinaan dan penyelenggaraan tata kehidupan bangsa dan negara Indonesia disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah Pancasila, cita-cita dan tujuan nasional, serta kondisi sosial budaya dan pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran tentang kemajemukan dan ke-Bhinneka Tunggal Ika-annya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan nasional.
2.     Perwujudan Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika Dalam Integrasi Nasional
            Dalam pembinaan  aspek kehidupan  nasional, aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika–an yang  termaktub dalam Pancasila harus menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku  di seluruh wilayah negara. Untuk itu, harus diimplementasikan ke dalam segenap pranata sosial yang berlaku di masyarakat dalam nuansa ke-Bhinekaan Tunggal Ika-an sehingga mendinamisasi kehidupan sosial yang akrab, peduli, toleran, hormat dan taat hukum. Semua itu menggambarkan sikap paham dan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi  sebagai identitas atau jati diri bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya oleh seluruh warga dengan tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam  mencapai dan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Untuk mengaktualisasikan  nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik warga maupun pemimpin terutama pelaksana pemerintahan harus dapat menjadikannya sebagai landasan visional yang terintegrasi dalam menyelenggarakan kehidupan nasional yang sinergis.
            Dengan mewujudkan dan mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, diharapkan setiap warga, pemerintah dan segenap komponen bangsa dapat mengintegrasikan seluruh kehidupan berkebangsaan dengan menjunjung tinggi nasioanalisme demi mempertahankan NKRI. Masih segar dalam ingatan, ketika berlangsung jejak pendapat tentang provinsi Timor Timur yang sekarang menjadi negara lain yaitu Timor Leste harus memisahkan diri dari  wilayah NKRI. Hal ini menunjukkan bahwa perwujudan pemahaman ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dan  pemahaman terhadap integrasi nasional dalam  kemajemukan masyarakat Indonesia masih sangat lemah. Oleh karena itu diharapkan kedepan peristiwa ini tidak terulang lagi, dengan mengupayakan aktualisasi pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinnneka Tunggal Ika-an yang terintegrasi secara nasional dalam kemajemukan sosial budaya masyarakat Indonesia yang terbungkus dalam bingkai NKRI. Hal ini akan wujud dengan membangun manusia secara utuh dan masyarakat secara menyeluruh yang berpedoman kepada aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an sebagai landasan visional secara signifikan.
3.    Integrasi Masyarakat Multikultural sebagai Pilar Nasionalisme
            Untuk mewujudkan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, peranan penyelenggara negara sangat diperlukan, disamping keikut sertaan seluruh warga.  Setiap pemimpin pemerintahan dari seluruh unsur, berkewajiban untuk mendorong setiap warga negara memiliki hak untuk memberikan kontribusinya dalam setiap keputusan pemerintah, baik secara langsung maupun melalui inter-mediasi institusi legislasi yang mewakili kepentingannya sesuai perundang-undangan. Partisipasi seperti ini harus dibangun oleh pemimpin atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Dengan partisipasi ini setiap unsur akan merasa ikut memiliki dan berperan serta bertanggung jawab atas keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Implementasinya bahwa hukum harus dijalankan secara adil tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. Untuk itu, seorang pemimpin pemerintahan harus berpegang teguh terhadap prinsip rule of law sehingga dapat menekan segala bentuk penyimpangan. Di samping itu, setiap informasi harus diterima oleh mereka yang membutuhkan karena transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi harus dapat dipahami serta dapat dimonitor warganya. Dengan keterbukaan ini maka akan lebih membuka wawasan masyarakat sehingga tidak akan menimbulkan tuntutan karena dapat memahami kesulitan atau permasalahan yang sedang dihadapi oleh pemerintah. Respon oleh masyarakat harus selalu disahuti sesuai kebutuhannya dalam rangka peningkatan pelayanan secara terus menerus. Para pemimpin harus dapat memastikan bahwa Lembaga-lembaga negara/badan usaha yang dipimpinnnya harus berusaha untuk melayani stakeholdernya serta responsive terhadap aspirasi masyarakat yang multikultural sehingga Lembaga-lembaga negara/badan usaha ini akan menerima timbal baliknya berupa kepercayaan masyarakat.

2.10 Makna Bhineka Tunggal Ika dalam Persatuan Indonesia
            Makna Bhineka Tunggal Ika dalam persatuan Indonesia bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang beraneka ragam, namun keseluruhannya merupakan suatu kesatuan. Penjelmaan persatuan bangsa dan wilayah negara Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No. 66 tahun 1951, 17 Oktober diundangkan tanggal 28 November 1951, dan termuat dalam Lembaran Negara No. II tahun 1951. Proses persatuan (nasionalisme) yang dikuasai oleh kekuasaan fisik akan tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang bersifat materialis. Sebaliknya proses persatuan (nasionalisme)  yang dalam pertumbuhannya dikuasai oleh kekuasaan idealis, maka akan tumbuh dan berkembang menjadi negara yang ideal yang jauh dari realitas bangsa dan negara. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia prinsip-prinsip nasionalisme itu tidak berat sebelah, namun justru merupakan suatu sintesa yang serasi dan harmonis baik hal-hal yang bersifat lahir maupun hal-hal yang bersifat batin.
Prinsip tersebut  adalah yang paling sesuai dengan hakikat manusia yang bersifat monopluralis yang terkandung dalam Pancasila. Di dalam perkembangan nasionalisme di dunia, terdapat berbagai macam teori antara lain Hans Kohn yang menyatakan bahwa :
“Nasionalisme terbentuk ke persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah negara dan kewarganegaraan”.
Bangsa tumbuh dan berkembang dari analisir-analisir akar-akar yang terbentuk melalui jalannya sejarah. Dalam masalah ini bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang memiliki adat-istiadat dan kebudayaan yang beraneka ragam serta wilayah negara Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu kepulauan. Oleh karena itu, keadaan yang beraneka ragam itu bukanlah merupakan suatu perbedaan yang saling bertentangan, namun perbedaan itu justru merupakan daya penarik kearah resultan sehingga seluruh keanekaragaman itu terwujud dalam suatu kerjasama yang luhur yaitu Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia.
Dalam praktek tumbuh dan berkembangnya persatuan suatu bangsa (nasionalisme) terdapat dua aspek yang mempengaruhi yaitu kekuasaan fisik (lahir), atau yang disebut juga kekuasaan material yang berupa kekerasan, paksaan. Dan kekuasaan idealis (batin) yang berupa nafsu psikis, ide-ide dan kepercayaan-kepercayaan.
Prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia (Persatuan Indonesia) tersusun dalam kesatuan majemuk tunggal yaitu :
a.       Kesatuan Sejarah
Yaitu bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dalam suatu proses sejarah.
b.      Kesatuan Nasib
Yaitu berada dalam satu proses sejarah yang sama dan mengalami nasib yang sama yaitu dalam penderitaan penjajah dan kebahagiaan nasional.
c.       Kesatuan Kebudayaan
Yaitu Keanekaragaman kebudayaan tumbuh menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional.
d.      Kesatuan Asas Kerohanian
Yaitu  adanya ide, cita-cita dan nilai-nilai kerohanian yang secara keseluruhan tersimpul dalam Pancasila
            Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Indonesia, dimana kita haruslah dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat, warna kulit, dan lain-lain. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dimana setiap daerah memiliki adat-istiadat, bahasa, aturan, kebiasaan, dan lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tanpa adanya sikap untuk menjaga Bhineka Tunggal Ika pastinya akan terjadi berbagai kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap orang hanya mementingkan dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa peduli kepentingan bersama. Bila hal tersebut tejadi, pastinya negara kita ini akan terpecah belah. Oleh sebab itu, Bhineka Tunggal Ika harus dijaga dengan sebaik-baiknya agar persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga, dan kitapun haruslah sadar bahwa menyatukan bangsa ini memerlukan perjuangan yang panjang yang dilakukan oleh para pendahulu kita dalam menyatukan wilayah Republik Indonesia menjadi negara kesatuan
2.11 Tujuan Bhinneka Tunggal Ika
            Manusia itu (secara khusus masyrakat NKRI) diumpakan sebagai tubuh manusia. Tubuh manusia itu terdiri dari begitu banyak bagian-bagian dan organ-organ sendiri-sendiri dengan tujuannya masing-masing untuk membentuk tubuh manusia yang sempurna. Setiap bagian-bagian itu unik dan diberi fungsi sesuai dengan tujuan masing-masing. Mata tidak boleh berkata telinga engkau tidak berguna, karena kalau semua tubuh mata, dimana pendengaran. Tangan tidak boleh berkata kaki kamu tidak beguna karena kalau semua tubuh tangan, tidak akan biasa berjalan. Demikianlah masyarakat NKRI. Semua orang unik dengan telenta dan kemampuan masing-masing. Semua juga unik denga agama, budaya dan kesenian masing-masing. Itulah yang membuat tubuh NKRI sehat dan sempurna. Oleh karena itu, Kristen tidak boleh berkata kepada Islam, kami yang paling hebat. Islam tidak boleh berkata kepada Hindu, enyahlah dari sini, karena kami paling banyak. Orang Betawi tidak boleh berkata kepada orang Papua, jangan buat kami malu dengan ketelanjanganmu. Orang Batak tidak boleh berkata kepada orang Jawa, dasar orang lambat. Atau orang Jawa berkata kepada orang Makasar, ke laut saja orang-orang kasar. Karena kalau ini terjadi, dijamin tubuh NKRI ini tidak akan sehat, sakit terus. Dan seperti halnya tubuh, satu bagian kecil saja yang terluka, maka seluruh tubuh akan merasakannya dan ikut menderita. Begitulah seharusnya kita. Ketika satu bagian dari tubuh NKRI kita ini terluka, dicuri, dirampas haknya, diperkosa, didiskriminasi, dianiaya, maka kita harus ikut merasakannya. Ikut merasakanya dengan saling memberi dukungan, saling membantu dengan tidak memecah belah. Karena tubuh tidak pernah melakukannya. Ketika jari terluka, mata ikut menangis. Sel darah putih datang membantu melawan kuman, sari makanan disalurkan darah ke bagian terluka dengan lebih intensif untuk mempercepat penyembuhan, dll.
2.12 Penyebab Lunturnya Bhineka Tunggal Ika
Berikut ini beberapa penyebab lunturnya makna Bhineka Tunggal Ika :
  1. Diskriminasi
            Bahwa ada masa ketika istilah SARA demikian popular, merupakan pengakuan tidak Iangsung (sekurang-kurangnya) ada masa dimana terjadi diskriminasi ras-etnik di negeri ini.Dalam praktik, pemenuhan hak-hak sipil yang merupakan bagian masyarakat ditandai dengan keturunan Tionghoa, bahkan sampai detik inipun masih terjadi diskriminasi.Pembedaan perlakuan ketika mengurus dokumen paspor, dengan keharusan melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan, merupakan salah satu contoh praktik diskriminasi ras.
            Atas praktik semacam itu, Hamid Awaludin dalam acara Dialog Kewarganegaraan dan Persatuan tersebut dengan lantang mengatakan, "Tidak usah mendebat (pejabat imigrasi yang bersangkutan).Catat namanya dan laporkan kepada saya."
            Diskriminasi ras-etnik, khususnya terhadap orang-orang Indonesia suku Tionghoa sudah menjadi kisah panjang. Masih segar di ingatan kita, peragaan sikap alergi penguasa terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan suku Tionghoa. Aksara, musik, bahasa, praktik kepercayaan, bahkan ciri-ciri fisikpun dipermasalahkan.
            Sebagian orang sekarang menghubungkannya dengan perang dingin yang mempengaruhi hubungan antarnegara saat itu. Tapi jauh sebelum itu, sudah terjadi PP 10 yang membatasi ruang gerak suku Tionghoa yang tinggal di desa-desa sehingga kemudian berlanjut dengan arus "pulang" ke Tiangkok. Sudah terjadi pula imbauan untuk mengganti nama tiga suku dengan ''nama Indonesia''. Sudah terjadi pembatasan pilihan pekerjaan/profesi bagi orang-orang Tionghoa, juga pembatasan masuk universitas-universitas negeri.
            Diskriminasi terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintahpemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita.Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi.Dan juga psikologi dan folklornya.
2.      Konflik
            Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
            Konflik bertentangan dengan integrasi.Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
3.      Egoisme
            Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois".Lawan dari egoisme adalah altruisme.
            Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang ia memberikan kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaatkan altruismeirasionalitas dan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu.
            Egoisme berbeda dari altruisme, atau bertindak untuk mendapatkan nilai kurang dari yang diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih didapatkan dari yang boleh diberikan. Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan egoisme, selama nilai manfaat individu diri sendirinya masih dianggap sempurna.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Para founding fathers dengan arief bijaksana mengantisipasi kemajemukan bangsa ini dengan suatu rumusan sangat indah yang tertera dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai berikut:
1.      Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya.
2.      Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
3.      Rumusan yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945 adalah sebagai prinsip dalam kita mengantisipasi keanekaragaman budaya bangsa dan dalam mengantisipasi globalisasi yang mengusung nilai-nilai yang mungkin saja bertentangan dengan nilai yang diemban oleh bangsa sendiri. Semoga dengan berpegang teguh pada konsep dan prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia makin kokoh dan makin berkibar.
3.2              Saran
1.      Lebih mencintai Tanah Air
2.      Menghargai Perjuangan agar kita bisa lebih mengetahui arti berbeda-beda tetapi tetap satu
3.      Belajar akan pentingnya persatuan.
4.      Mempelajari dan melaksanakan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika.


DAFTAR PUSTAKA
http://amrizalfile.blogspot.com/2012/04/lunturnya-makna-bhineka-tunggal-ika.html#!/