Pilar adalah tiang
penyangga suatu bangunan. Pilar memiliki peran yang sangat sentral dan
menentukan, karena bila pilar ini tidak kokoh atau rapuh akan berakibat
robohnya bangunan yang disangganya. Dalam bahasa Jawa tiang penyangga bangunan
atau rumah ini disebut ”soko”, bahkan bagi rumah jenis joglo,
yakni rumah yang atapnya menjulang tinggi terdapat empat soko di tengah
bangunan yang disebut soko guru. Soko guru ini sangat menentukan
kokoh dan kuatnya bangunan, terdiri atas batang kayu yang besar dan dari jenis
kayu yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian orang yang bertempat di
rumah tersebut akan merasa nyaman, aman dan selamat dari berbagai bencana dan
gangguan.
Sebagai salah satu dari empat pilar,
Bhinneka Tunggal Ika di sisi lain masih
dipertanyakan atau dipersoalkan maknanya oleh sebagian masyarakat dalam
kaitannya dengan implementasi Undang-undang No.32 tahun 2004, tentang
Pemerintah Daerah. Sejak awal telah begitu banyak pihak yang berusaha membahas
untuk memahami dan memberi makna Pancasila, serta bagaimana implementasinya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu pilar Bhinneka Tunggal
Ika masih kurang menarik bagi pihak-pihak untuk membahas dan memikirkan
bagaimana implementasinya, padahal Bhinneka Tunggal Ika memegang peran yang
sangat penting bagi negara-bangsa yang sangat pluralistik ini. Dengan bertitik
tolak dari pemikiran ini, dicoba untuk membahas makna Bhinneka Tunggal Ika dan
bagaimana implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
Bhinneka Tunggal Ika benar-benar dapat menjadi tiang penyangga yang kokoh dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia.
Dari latar belakang diatas dapat
diambil rumusan bahwa dalam makalah ini membahas tentang makna-makna yang
terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, konsep, prinsip-prinsip, implementasi,
demokrasi, multikulturalisme, tugas dan tujuan, ruang lingkup, dan penyebab
lunturnya Bhinneka Tunggal Ika.
Dari rumusan diatas pada makalah ini membahas
hal-hal yang berkaitan dengan Bhinneka Tunggal Ika, diantaranya tentang
makna-makna yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, konsep,
prinsip-prinsip, implementasi, demokrasi, multikulturalisme, tugas dan tujuan,
ruang lingkup, dan penyebab lunturnya Bhinneka Tunggal Ika.
2.1 Penemuan dan Makna Bhinneka Tunggal Ika Secara Istilah
Bhinneka
Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa
Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan
kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka
berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam
bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata
"aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti
"satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah
Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna
meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan
Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam
budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Sesanti atau
semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular,
pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja
Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam
karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan
hana dharma mangrwa,“ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada
pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam
kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya
keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu.
Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.
Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun
setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diungkap oleh Mpu
Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai semboyan resmi Negara
Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951. Peraturan
Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus 1950, Bhinneka Tunggal
Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam Lambang Negara Republik
Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,” kemudian dirangkai menjadi
satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang kedua, Bhinneka Tunggal Ika
dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat dalam Lambang Negara, dan
tercantum dalam pasal 36a UUD 1945. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mengacu
pada bahasa Sanskrit, hampir sama dengan semboyan e Pluribus Unum,
semboyan Bangsa Amerika Serikat yang maknanya diversity in unity,
perbedaan dalam kesatuan. Semboyan tersebut terungkap di abad ke XVIII, sekitar
empat abad setelah mpu Tantular mengemukakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Sangat mungkin tidak ada hubungannya, namun yang jelas konsep keanekaragaman
dalam kesatuan telah diungkap oleh MPu Tantular lebih dahulu.
Kutipan
tersebut berasal dari pupuh 139, bait 5, kekawin Sutasoma yang lengkapnya
sebagai berikut:
Jawa Kuna
|
Alih bahasa
Indonesia
|
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
|
Konon
Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
|
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
|
Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
|
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
|
Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
|
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
|
Terpecah
belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
|
Sasanti yang merupakan
karya Mpu Tantular, yang diharapkan dijadikan acuan bagi rakyat Majapahit dalam
berdharma, oleh bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya, dijadikan
semboyan dan pegangan bangsa dalam membawa diri dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Seperti halnya Pancasila, istilah Bhinneka Tunggal Ika juga tidak
tertera dalam UUD 1945 (asli), namun esensinya terdapat didalamnya, seperti
yang dinyatakan :” Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia, terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.”
2.2
MAKNA BHINNEKA
TUNGGAL BAGI BANGSA INDONESIA
Sebagai semboyan bangsa Indonesia, Bhineka
Tunggal Ika mengandung makna yang penting karena pengertian atau makna yang
terkandung dalam seloka tersebut itulah kiranya yang menuntun pemahaman bangsa
Indonesia bahwa walaupun kita memiliki keanekaragaman dalam banyak hal akan
tetapi tetap satu jua adanya.
Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam
suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman sejarah, adat istiadat, bahasa serta
kebudayaan sendiri-sendiri. Keanekaragaman tersebut tidak menjadi penghalang,
bahkan dianggap sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Hal itu diwujudkan di dalam
semboyan nasional Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” seperti yang terdapat pada
lambang negara Indonesia. Ungkapan Bhineka Tunggal Ika tersebut berasal dari
bahasa Sanskrit yang terdapat dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular pada zaman
Majapahit.
Semenjak masa-masa permulaan kemerdekaan bangsa
Indonesia semboyan tersebut senantiasa digunakan sebagai semboyan nasional
digunakan untuk mendorong semangat persatuan bangsa. Semboyan tersebut
memesankan keanekaragaman Indonesia yang senantiasa dipelihara dan dipandang
sebagai asset nasional Indonesia.
Menurut perkiraan para ahli, bangsa Indonesia terdiri atas lebih dari
300 suku bangsa atau golongan etnik (Depdikbud, 1984;149). Sebagai contoh dapat
disebut sukubangsa Aceh, Gayo, Batak, Minagkabau, dan Melayu di Sumatera; Suku
Bangsa Jawa dan Sunda di Jawa; Suku Bangsa Banjar dan Dayak di Kalimantan; Suku
Bangsa Bugis, Mandar, Toraja, Makasar, Buton dan Minahasa di Sulawesi; Suku
Bangsa Ambon, dan Kei di Maluku; Suku Bangsa Irian di Papua; Suku Bangsa Timor,
Flores, dan Sumba di Nusa Tenggara Timur, Suku Bangsa Sasak dan Bima di Nusa
Tenggara Barat serta Suku Bangsa Bali di Bali. Perkembangan sejarah dan
kesatuannya dengan lingkungan alam yang didiami selama berabad-abad memberikan
cirri khusus pada kebudayaan Suku Bangsa tersebut. Karena itulah setiap Suku
Bangsa memiliki ciri tersendiri yang berbeda-beda dengan suku yang lainnya,
contoh nyata adalah bahasa, tiap daerah di Indonesia memiliki bahasa yang
berbeda-beda. Misalnya Orang Aceh berbahasa Aceh, orang Tapanuli berbahasa
Batak, orang Sumatera Barat berbahasa Minang, orang Sulawesi Selatan berbahasa
Bugis dan Ternate, dan orang Sunda berbahasa Sunda. Apa yang dikemukakan
tersebut hanya sekedar contoh keanekaragaman dalam bahasa. S.J Esser mencatat
102 bahasa daerah di seluruh Nusantara, yang jika dirinci lagi dialeknya ,maka
jumlahnya akan jauh lebih besar, di Papua saja terdapat 185 bahasa lokal. Namun demikian bahasa Melayu (Melayu
kuno) sudah digunakan sebagai bahasa pengantar di Nusantara sejak abad ke-13.
Hal itulah yang mempermudah bangsa Indonesia menyepakati menetapkan bahasa
Indonesia melalui Sumpah Pemuda pada tahun 1928 untuk menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan, untuk lengkapnya beberapa pengelompokan bahasa
dapat dikemukakan sebagai berikut :
-
Kelompok Sumatera
-
Kelompok Kalimantan
-
Kelompok Jawa
-
Kelompok Bali-Sasak
-
Kelompok Gorontalo
-
Kelompok Tomini
-
Kelompok Toraja
|
-
Kelompok Loinang
-
Kelompok Banggai
-
Kelompok Bungku-Laki
-
Kelompok Sulawesi Selatan
-
Kelompok Muna-Butung
-
Kelompok Bima-Sumba
-
Kelompok Ambon-Timor
|
-
Kelompok Sula-Bacaan
-
Kelompok Halmahera Selatan dan
Teluk Cendrawasih Papua
-
Kelompok Halmahera Utara
-
Bahasa-bahasa Papua Tengah dan
Selatan
-
Bahasa-bahasa Papua pantai utara
-
Kelompok Sulawesi Utara
-
Melanesia (Bahasa Janefa, Sarmi,
dan lain-lain)
|
(Depdikbud,1984;h.158-160)
Dalam kehidupan kemasyarakatan,
dapat dilihat bahwa aspek yang menonjol adalah desa, kekerabatan dan kehidupan
gotong royong. Hal-hal yang baik seperti yang sudah dilakukan secara turun
temurun dan sangat bermanfaat itu haruslah dilestarikan dan dikembangkan secara
terus menerus. Kesatuan hidup territorial yang disebut desa itu terdapat hampir
diseluruh Indonesia dengan nama yang berbeda, sebagai contoh misalnya adalah benua
di Nias, gamponng di Aceh, kuta di Karo, Nagari di Sumatera Barat, desa di
Jawa, yang kesemuanya itu dikepalai oleh seorang kepala desa atau Lurah.
2.3 Konsep
dasar Bhinneka Tunggal Ika
Berikut disampaikan konsep dasar
yang terdapat dalam Bhinneka Tunggal Ika yang kemudian terjabar dalam
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika yang dijadikan acuan
bagi bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Dalam rangka memahami
konsep dasar dimaksud ada baiknya kita renungkan lambang negara yang tidak
terpisahkan dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perlu kita mengadakan refleksi
terhadap lambang negara tersebut.
Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep
pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan yang terikat dalam suatu
kesatuan. Pluralistik bukan pluralisme, suatu faham yang membiarkan
keanekaragaman seperti apa adanya. Membiarkan setiap entitas yang menunjukkan
ke-berbedaan tanpa peduli adanya common denominator pada
keanekaragaman tersebut. Dengan faham pluralisme tidak perlu adanya konsep yang
mensubstitusi keanekaragaman. Demikian pula halnya dengan faham
multikulturalisme. Masyarakat yang menganut faham pluralisme dan
multikulturalisme, ibarat onggokan material bangunan yang dibiarkan teronggok
sendiri-sendiri, sehingga tidak akan membentuk suatu bangunan yang namanya
rumah. Ada baiknya dalam rangka lebih memahami makna pluralistik bangsa
difahami pengertian pluralisme, agar dalam penerapan konsep pluralistik tidak
terjerumus ke dalam faham pluralisme.
Pluralisme berasal dari
kata plural yang berarti banyak, adalah suatu faham yang mengakui bahwa
terdapat berbagai faham atau entitas yang tidak tergantung yang satu dari yang
lain. Masing-masing faham atau entitas berdiri sendiri tidak terikat satu sama
lain, sehingga tidak perlu adanya substansi pengganti yang mensubstitusi
faham-faham atau berbagai entitas tersebut. Salah satu contoh misal di
Indonesia terdapat ratusan suku bangsa. Menurut faham pluralisme setiap suku
bangsa dibiarkan berdiri sendiri lepas yang satu dari yang lain, tidak perlu
adanya substansi lain, misal yang namanya bangsa, yang mereduksi eksistensi
suku-suku bangsa tersebut. Faham pluralisme melahirkan faham individualisme
yang mengakui bahwa setiap individu berdiri sendiri lepas dari individu yang
lain. Faham individualisme ini mengakui adanya perbedaan individual atau yang
biasa disebut individual differences. Setiap individu memiliki cirinya
masing-masing yang harus dihormati dan dihargai seperti apa adanya. Faham
individualisme ini yang melahirkan faham liberalisme, bahwa manusia terlahir di
dunia dikaruniai kebebasan. Hanya dengan kebebasan ini maka harkat dan martabat
individu dapat didudukkan dengan semestinya. Trilogi faham pluralisme,
individualisme dan liberalisme inilah yang melahirkan sistem demokrasi dalam
sistem pemerintahan utamanya di Negara Barat. Sebagai contoh berikut
disampaikan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Hak Manusia dan
Warganegara Perancis yang melandasi pelaksanaan sistem demokrasi di negara
tersebut yang berdasar pada faham pluralisme, individualisme dan liberalisme.
Pluralitas adalah sifat atau
kualitas yang menggam-barkan keanekaragaman; suatu pengakuan bahwa alam semesta
tercipta dalam keaneka ragaman. Sebagai contoh bangsa Indonesia mengakui bahwa
Negara-bangsa Indonesia bersifat pluralistik, beraneka ragam ditinjau dari
suku-bangsanya, adat budayanya, bahasa ibunya, agama yang dipeluknya, dan
sebagainya. Hal ini merupakan suatu kenyataan atau keniscayaan dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Keaneka ragaman ini harus didudukkan secara proporsional
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harus dinilai sebagai asset
bangsa, bukan sebagai faktor penghalang kemajuan. Perlu kita cermati bahwa
pluralitas ini merupakan sunnatullah.
Seperti dikemukan di atas, pola sikap
bangsa Indone-sia dalam menghadapi keaneka-ragaman ini berdasar pada suatu
sasanti atau adagium “Bhinneka Tunggal Ika,” yang bermakna beraneka tetapi
satu, yang hampir sama dengan motto yang dipegang oleh bangsa Amerika,
yakni “e pluribus unum.” Pluralitas atau pluralistik tidak merupakan suatu
faham, isme atau keyakinan yang bersifat mutlak. Untuk itu tidak perlu
dikembangkan ritual-ritual tertentu seperti halnya agama. Prinsip pluralistik
dan multikulturalistik adalah asas yang mengakui adanya kemajemukan bangsa
dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah,
dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta didudukkan
dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan
yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong menjadi faktor pemecah
bangsa, tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing
komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang
luar biasa untuk dimanfaatkan dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan
bangsa.
2.4
Prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika
Untuk dapat
mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka
ragaman tidak terjadi pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep
yang terdapat pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara
tercinta ini terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan
ke-tunggalan Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru.
Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di
Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui
dari setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang
kita pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan
dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat budaya
daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang oleh Ir Sujamto
disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme, yang mencoba untuk
mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan unsur yang datang dari luar.
2.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian
dan eksklusif; hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
tidak dibenarkan merasa dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak
mengakui harkat dan martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini
akan memicu terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang
memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan persaingan
yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan mayoritas
dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya pada golongan
minoritas.
3.
Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis
yang hanya menunjukkan perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap
saling percaya mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai
dan rukun. Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat
dipersatukan.
4.
Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak
divergen, yang bermakna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk
dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan
bersama. Hal ini akan terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non
sektarian, inklusif, akomodatif, dan rukun.
Prinsip
atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika mendukung nilai:
(1) inklusif, tidak bersifat eksklusif, (2) terbuka, (3) ko-eksistensi damai
dan kebersamaan, (4) kesetaraan, (5) tidak merasa yang paling benar, (6)
tolerans, (7) musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang
berbeda.
2.5
Implementasi
Bhineka Tunggal Ika dan Cita-cita Luhur bangsa
Setelah kita fahami beberapa prinsip
yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka langkah selanjutnya adalah
bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.
Perilaku inklusif. Dalam kehidupan
bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya,
baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya
merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar
dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan
menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat
diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
2.
Mengakomodasi
sifat pluralistik. Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau
dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang
berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati
ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari
pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan
persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi
bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing
pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang
remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan
bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan
hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi
reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela
gandong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada
agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk
berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang
tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam
di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang
mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah
tergerus arus reformasi.
3.
Tidak mencari
menangnya sendiri. Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak
beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau
kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal
Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang
dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan,
tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus
diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk
itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
4.
Musyawarah
untuk mencapai mufakat. Dalam rangka membentuk kesatuan dalam
keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawa-rah untuk mencapai mufakat.”
Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common
denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama.
Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepa-katan.
Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win
win solution.
5.
Dilandasi rasa
kasih sayang dan rela berkorban. Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang.
Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai
harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal
Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika
menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing
gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk
memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan
golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya
mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
6.
Toleran dalam
perbedaan.
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan
adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama
dengan agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan.
Pandangan semacam ini akan menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan
semangat kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap
individu.
Bila setiap warganegara memahami
makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan
berbangsa dan bernegara, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat
dan benar, Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya.
2.6
Bhinneka
Tunggal Ika dalam Demokrasi Indonesia
Perbedaan suku, bahasa, agama, serta
budaya, telah terbentuk menjadi satu kesatuan yang utuh (NKRI), yang membentang
dari Sabang sampai Merauke. Keragaman tersebut berdiri tegak dalam lingkaran
persamaan, di bawah naungan satu bendera: bendera Merah Putih. Satu lagu
kebangsaan: lagu Indonesia Raya. Satu bahasa: Bahasa Indonesia. Satu lambang
negara, yakni seekor Garuda yang memiliki azas Pancasila, dan dipadu dengan
seuntai kalimat bermakna agung “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai mottonya. Jika
merujuk pada esensi atau inti dari motto “Bhinneka Tunggal Ika” yang hakekatnya
mengandung nilai-nilai nasionalisme, yaitu persatuan, kesatuan, serta
kebersamaan untuk satu niat dan tujuan (visi dan misi), yang dijalin erat oleh
rasa persaudaraan. Sudah tentu, keragaman yang terikat dalam Bhinneka Tunggal
Ika adalah aset yang paling berharga bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan
cita-cita luhurnya, yakni menata dan membangun bangsa Indonesia untuk menjadi
bangsa bermartabat yang mampu berdiri sendiri: adil, makmur, damai, sentosa.
Tapi, bagaimana mungkin, Garuda yang
konotasi melambangkan eksistensi serta perjalanan bangsa Indonesia di era
kemerdekaan, bisa mengepakkan sayap dan terbang mengangkasa, bila Pancasila
hanya sebatas ruh yang pasif dalam jasadnya, dan Bhinneka Tunggal Ika yang
menjadi penggerak bagi ruh tersebut tidak dinamis, atau tidak bergerak efektif
sesuai inti dari kandungan maknanya.
Dalam demokrasi Indonesia, yang
menginduk pada Pancasila dan berorientasi pada Undang-Undang Dasar 1945, serta
mengacu pada Musyawarah Mufakat, nuansa kebebasan yang sudah diatur dan
dilindungi norma-norma atau etika kebangsaan, telah melahirkan kembali berbagai
perbedaan yang kongkrit sebagai bentuk apresiasi dari kedemokrasian tersebut,
seperti partai-partai politik, organisasi massa, serta lembaga swadaya masyarakat.
Dan maraknya keberadaan kelompok, perkumpulan atau organisasi-organisasi, baik
yang bergerak di bidang politik, sosial kemasyarakatan ataupun yang lainnya,
menunjukan bukti bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami banyak perubahan
dan kemajuan.
Demokrasi Indonesia atau Demokrasi
Pancasila yang berazas musyawarah mufakat, yang secara harfiah menyimpan makna
dari nilai-nilai nasionalisme dalam Bhinneka Tunggal Ika, yaitu kebersamaan
yang diikat oleh rasa persaudaraan, yang menjadi manifestasi dari kokohnya
persatuan serta kesatuan untuk satu tujuan, dimana setiap keputusan adalah
hasil kesepakatan yang intensif dari kebersamaan, yang disaring secara jujur
dan adil, dan dikembalikan dengan jujur dan adil pula untuk kebersamaan.
Perbedaan kelompok, perbedaan
pendapat dan pemikiran, yang disebut keragaman dalam demokrasi Indonesia, bisa
menjadi penyakit mematikan yang merongrong bangsa Indonesia dalam mewujudkan
cita-cita luhurnya, dan akan menjadi bumerang yang memalukan bagi paham serta
kedemokrasiannya, jika perbedaan atau keragaman tersebut telah saling
berbenturan dan tidak lagi memprioritaskan kepentingan serta tujuan bersama
atas nama kebersamaan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan, seperti yang
terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Sejarah panjang penderitaan bangsa
Indonesia pun akan terus berlarut, dan Indonesia hanya akan menjadi bangsa yang
didominasi konflik internal di atas kemerdekaanya, jika ruang demokrasi yang
begitu luas memberi kebebasan untuk berekspresi dan beraspirasi, telah menumbuhkan
sikap egois, individualis, apatis, serta sikap mementingkan kelompok atau
golongan. Sikap-sikap tersebut adalah pembunuh kebenaran makna demokrasi, yang
tegas menyatakan bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat, dan
rakyatlah yang memegang kendali dalam sistem pemerintahan, yang kedudukannya
berbentuk amanat.
Sikap-sikap yang jelas bertentangan
dengan hakekat Bhinneka Tunggal Ika, hanya akan membawa demokrasi Indonesia ke
jurang kebablasan, dimana kedemokrasiannya bukan lagi media atau alat untuk
menegakkan nilai-nilai nasionalisme yang menjadi subjek dari satu niat dan
tujuan (visi dan misi) yang utuh. tetapi, menjadi ajang perseteruan dan menjadi
kendaraan untuk memperebutkan kursi kehormatan yang disebut kekuasaan. Dan
Pancasila yang menjadi ruh bangsa Indonesia, yang seharusnya menjadi tolak ukur
bagi pola pikir dan tindakan bangsa Indonesia untuk merealisasikan tujuan
bersama dalam wadah demokrasi, hanya menjadi objek yang mandul dalam
kedemokrasiannya.
Dalam hal ini, yang dibutuhkan bangsa
Indonesia adalah kesadaran dari setiap individunya untuk bisa mengevaluasi dan
merevisi diri, serta berevolusi untuk sebuah perubahan besar di dalam diri
individunya atau revolusi diri, yang disebut pembinaan moral atau akhlak.
karena moral atau akhlak, merupakan kerangka utama dalam demokrasi Indonesia
atau Demokrasi Pancasila yang disistematikan oleh Bhinneka Tunggal Ika untuk
menerapkan kejujuran dan keadilan dalam kebersamaan, demi menata dan membangun
peradaban bangsa Indonesia dalam demokrasi yang berjiwa amanat: amanat dari
amanat, amanat oleh amanat, amanat untuk amanat, tanpa harus dikotori oleh
kebohongan. Sebab kebohongan adalah bentuk pengkhianatan yang tumbuh dari
kemiskinan moral atau akhlak, yang menjadi titik awal dari kebobrokan atau kehancuran.
2.7
MULTIKULTURALISME
BHINEKA TUNGGAL IKA
Konsep
Bhinneka Tunggal Ika dalam Konteks Wacana Multikulturalisme
Secara historis
kontemporer dalam masyarakat Barat, (Wikipedia) multikulturalisme
setidaknya menunjuk pada tigal hal. Pertama, sebagai bagian dari pragmatism
movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat. Kedua,
sebagai political and cultural pluralism pada abad ke 20 yang
merupakan bentuk respon terhadap imperialisme Eropa di Afrika dan imigrasi
besar-besaran orang Eropa ke Amerika Serikat dan Amerika Latin. Ketiga,
sebagai official national policy yang dilakukan di Canada pada
1971 dan Australia tahun 1973 dan berikutnya di beberapa Negara Eropa. Secara
konseptual tampaknya dinamika pemikiran tentang multikulturalisme tersebut
merupakan pergumulan antara pilihan menjadi monocultural nation-state yang
didasarkan pada prinsip …each nation is entitled to its own souvereign state
and to engender, protect and preserve its own unique culture and history, atau
menjadi multilingual and multi-ethnic empires yang dianggap
sangat opresif, seperti Austro-Hungarian Empire dan Ottoman
Empires. Namun demikian, dalam praksis kehidupan kenegaraaan yang berbasis
pemikiran monoculturalism ternyata ideology nation-state dengan
prinsip unity of disscent, unity of culture, unity of language and
often unity of religion tidak mudah diwujudkan. Oleh karena itu, dalam
kondisi tidak dicapainya cultural unity, karena dalam kenyataannya
justru memiliki cultural diversity,
Negara melakukan berbagai kebijakan, yang salah satunya yang paling umum adalah
melakukancompulsory primary education dalam satu bahasa. Walaupun
demikian, hal tersebut potensial menimbulkan cultural conflict sebagai
akibat dari pengabaian terhadap bahasa lokal/daerah.
Menarik untuk dicermati
bagaimana modus kebijakan multikulturalisme yang ada selama ini.
1) Model Amerika Serikat yang memiliki
kebijakan multikulturalime yang dikenal the Melting Pot’ ideal,
yang pada dasarnya bahwa immigrant cultures are mixed and amalgamated
without state intervention. Setiap individu imigran diharapkan mampu
berasimilasi ke dalam kondisi masyarakat Amerikan menurut kecepatannya dalam
beradaptasi. Pemikiran tentang melting pot ini dirancang
untuk bergandengan secara harmonis dengan konsep Amerika sebagai suatu national
unity.
2) Model
Australia, dengan multikulturalisme yang dikonsepsikan dalam format ethnic
selection, di mana masyarakat Australia yang sebelum datanganya immigrant Eropa
secara besar-besaran, sesungguhnya memiliki bayak indigenous cultures (aborigin)
atau kebudayaan asli untuk diarahkan menjadi masyarakat Australia yang
mencerminkan the British ethno-cultural identity.
3) Di lain pihak Canada menggunakan kebijakan
multilkulturalisme dalam bentuk pembangunan national unity melalui
konsepsi pluralistic and particularist multiculturalism yang
kemudian dikenal sebagai Canada’s cultural mosaic yang pada
dasarnya memandang bahwa setiap budaya atau sub-budaya di dalam
masyarakar Canada memberikan kontribusi keunikan dan nilai luhur terhadap keseluruhan
kebudayaan dengan prinsip preserving the distinctions between cultures.
4) Model Argentina yang menerapkan kebijakan
multikulturalisme untuk mengakomodasikan budaya immigrant dengan prinsip
multikulturalisme sebagai cerminan dari social assortment of Argentine
culture dengan menerapkan individual’s multiple citizenship.
5) Model Malaysia, yang menerap kebijakan
multikulturalisme dengan prinsip coexistence between the
three ethnicities (Malays, Chinese, and Indian) dengan jaminan
konstitusional …that immigrant groups are granted citizenship, and Malays’
special rights are guranted, yang kemudian dikenal dengan Bumiputera
policy.
6) Model Indonesia, bahwa
Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural
nation-state dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia modern. Dengan
kata lain, Indonesia tidak dimaksudkan untuk dibangun dan dikembangkan
sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati
dari dinamika konstitusional dan praksis kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945 sampai saat ini. yang mengacu pada konstitusi yang
pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950.
Demikian pula dalam instrumentasi dan praksis kehidupan berbangsa dan bernegara
serta bermasyarakat yang menjadi dampak langsung dan dampak pengiring dari
berlakunya setiap konstitusi, serta dampak perkembangan internasional pada
setiap zamannya.
2.8
Tugas Dan
Tanggung Jawab Negara Dan Warga Negara Dalam Bhineka Tunggal Ika
a.
Tugas untuk
menjunjung/mentaati hukum dan pemerintahan.
Dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 UUD1945
: “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Jadi supaya tercipta kehidupan kebineka
tunggal ikaan, yang pertama dilakukan adalah semua warga Negara harus mentaati
hokum dan pemerintahan yang berdaulat. Karena jika disuatu Negara warganya
tidak bisa mentaati hukum dan pemerintahan yang berlaku di Negara tersebut,
maka tidak akan pernah tercipta kehidupan kebineka tunggal ikaan.
b. Menjamin sistem hukum yang adil.
Dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 :
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Negara selain meminta warga Negara untuk
mematuhi hukum yang berlaku, juga mempunyai kewajiban untuk menjamin sistem
hukum yang adil sehingga warga Negara merasa tidak dibeda-bedakan dihadapan
hukum, seperti yang tertuang pada pasal 27 ayat 1 diatas. Dan diharapkan
setelah pemerintah menjamin dan melaksanakan sistem hukum yang adil maka
kehidupan yang berkeadilan dan bermartabat dapat terwujud.
c. Memberi
kebebasan beribadah.
Dinyatakan dalam pasal 29 ayat 2 :
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Karena Negara kita merupakan Negara
kepulauan yang terdiri dari bermacam-macam suku dan juga agama maupun
kepercayaan, maka Negara memberi jaminan kebebasan untuk beribadah menurut
kepercayaan masing-masing. Sehingga kehidupan kebineka tunggal ikaan tetap
terjaga dan terpelihara. Dan juga asas keadilan tetap terwujud, karena tidak ada
asas mayoritas untuk cuma membolehkan pemeluk agama mayoritas saja yang boleh
beribadah, tetapi juga agama minoritas.
2.9
Ruang Lingkup
dan Tata Urut
Ruang
lingkup pembahasan dan penulisan dibatasi pada pembahasan tentang aktualisasi
pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam mewujudkan integrasi di
Indonesia sebagai pilar nasionalisme. Untuk itu tata urut pembahasan dan
penulisan meliputi (1) Pemahaman Nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an (2)
Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam Perwujudan Integrasi Nasional (3) Integrasi
Nasional dalam Masyarakat Multikultural/Majemuk sebagai Pilar Nasionalisme.
1. Pemahaman Nilai-nilai
Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
Indonesia
yang dikenal sebagai bangsa yang majemuk, dalam membina dan membangun atau
menyelenggarakan kehidupan nasional, baik pada aspek politik, ekonomi, sosial
budaya dan pertahanan keamanan rakyat semestanya, selalu mengutamakan persatuan
dan kesatuan bangsa dalam satu wadah/wilayah yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pembinaan dan penyelenggaraan tata kehidupan bangsa dan
negara Indonesia disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah
Pancasila, cita-cita dan tujuan nasional, serta kondisi sosial budaya dan
pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran tentang kemajemukan dan
ke-Bhinneka Tunggal Ika-annya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan
nasional.
2. Perwujudan
Nilai-Nilai Bhineka Tunggal Ika Dalam Integrasi Nasional
Dalam
pembinaan aspek kehidupan nasional, aktualisasi pemahaman
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika–an yang termaktub dalam Pancasila
harus menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di seluruh wilayah negara. Untuk itu, harus diimplementasikan ke
dalam segenap pranata sosial yang berlaku di masyarakat dalam nuansa
ke-Bhinekaan Tunggal Ika-an sehingga mendinamisasi kehidupan sosial yang akrab,
peduli, toleran, hormat dan taat hukum. Semua itu menggambarkan sikap paham dan
semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi sebagai identitas atau
jati diri bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya oleh seluruh warga dengan
tujuan agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam mencapai dan mewujudkan
cita-cita dan tujuan nasional. Untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik warga maupun pemimpin terutama pelaksana
pemerintahan harus dapat menjadikannya sebagai landasan visional yang
terintegrasi dalam menyelenggarakan kehidupan nasional yang sinergis.
Dengan
mewujudkan dan mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal
Ika-an, diharapkan setiap warga, pemerintah dan segenap komponen bangsa dapat
mengintegrasikan seluruh kehidupan berkebangsaan dengan menjunjung tinggi
nasioanalisme demi mempertahankan NKRI. Masih segar dalam ingatan, ketika
berlangsung jejak pendapat tentang provinsi Timor Timur yang sekarang menjadi
negara lain yaitu Timor Leste harus memisahkan diri dari wilayah NKRI.
Hal ini menunjukkan bahwa perwujudan pemahaman ke-Bhinneka Tunggal Ika-an
dan pemahaman terhadap integrasi nasional dalam kemajemukan
masyarakat Indonesia masih sangat lemah. Oleh karena itu diharapkan kedepan
peristiwa ini tidak terulang lagi, dengan mengupayakan aktualisasi pemahaman
terhadap nilai-nilai ke-Bhinnneka Tunggal Ika-an yang terintegrasi secara
nasional dalam kemajemukan sosial budaya masyarakat Indonesia yang terbungkus
dalam bingkai NKRI. Hal ini akan wujud dengan membangun manusia secara utuh dan
masyarakat secara menyeluruh yang berpedoman kepada aktualisasi pemahaman
nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an sebagai landasan visional secara
signifikan.
3. Integrasi Masyarakat
Multikultural sebagai Pilar Nasionalisme
Untuk
mewujudkan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, peranan
penyelenggara negara sangat diperlukan, disamping keikut sertaan seluruh
warga. Setiap pemimpin pemerintahan dari seluruh unsur, berkewajiban
untuk mendorong setiap warga negara memiliki hak untuk memberikan kontribusinya
dalam setiap keputusan pemerintah, baik secara langsung maupun melalui
inter-mediasi institusi legislasi yang mewakili kepentingannya sesuai
perundang-undangan. Partisipasi seperti ini harus dibangun oleh pemimpin atas
dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif. Dengan partisipasi ini setiap unsur akan merasa ikut memiliki dan
berperan serta bertanggung jawab atas keputusan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Implementasinya bahwa hukum harus dijalankan secara adil tanpa pandang
bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. Untuk itu, seorang pemimpin
pemerintahan harus berpegang teguh terhadap prinsip rule of law sehingga dapat
menekan segala bentuk penyimpangan. Di samping itu, setiap informasi harus
diterima oleh mereka yang membutuhkan karena transparansi yang dibangun atas
dasar kebebasan arus informasi harus dapat dipahami serta dapat dimonitor
warganya. Dengan keterbukaan ini maka akan lebih membuka wawasan masyarakat
sehingga tidak akan menimbulkan tuntutan karena dapat memahami kesulitan atau
permasalahan yang sedang dihadapi oleh pemerintah. Respon oleh masyarakat harus
selalu disahuti sesuai kebutuhannya dalam rangka peningkatan pelayanan secara
terus menerus. Para pemimpin harus dapat memastikan bahwa Lembaga-lembaga
negara/badan usaha yang dipimpinnnya harus berusaha untuk melayani
stakeholdernya serta responsive terhadap aspirasi masyarakat yang multikultural
sehingga Lembaga-lembaga negara/badan usaha ini akan menerima timbal baliknya
berupa kepercayaan masyarakat.
2.10 Makna Bhineka Tunggal Ika dalam Persatuan Indonesia
Makna Bhineka Tunggal Ika dalam
persatuan Indonesia bahwa walaupun bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam
suku bangsa yang memiliki kebudayaan dan adat-istiadat yang beraneka ragam,
namun keseluruhannya merupakan suatu kesatuan. Penjelmaan persatuan bangsa dan
wilayah negara Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No. 66 tahun 1951, 17
Oktober diundangkan tanggal 28 November 1951, dan termuat dalam Lembaran Negara
No. II tahun 1951. Proses persatuan (nasionalisme) yang dikuasai oleh kekuasaan
fisik akan tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang bersifat materialis.
Sebaliknya proses persatuan (nasionalisme)
yang dalam pertumbuhannya dikuasai oleh kekuasaan idealis, maka akan
tumbuh dan berkembang menjadi negara yang ideal yang jauh dari realitas bangsa
dan negara. Oleh karena itu, bagi bangsa Indonesia prinsip-prinsip nasionalisme
itu tidak berat sebelah, namun justru merupakan suatu sintesa yang serasi dan
harmonis baik hal-hal yang bersifat lahir maupun hal-hal yang bersifat batin.
Prinsip tersebut adalah yang
paling sesuai dengan hakikat manusia yang bersifat monopluralis yang terkandung
dalam Pancasila. Di dalam perkembangan nasionalisme di dunia, terdapat berbagai
macam teori antara lain Hans Kohn yang menyatakan bahwa :
“Nasionalisme
terbentuk ke persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah negara dan
kewarganegaraan”.
Bangsa tumbuh dan berkembang dari analisir-analisir akar-akar yang
terbentuk melalui jalannya sejarah. Dalam masalah ini bangsa Indonesia terdiri
atas berbagai macam suku bangsa yang memiliki adat-istiadat dan kebudayaan yang
beraneka ragam serta wilayah negara Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu
kepulauan. Oleh karena itu, keadaan yang beraneka ragam itu bukanlah merupakan
suatu perbedaan yang saling bertentangan, namun perbedaan itu justru merupakan
daya penarik kearah resultan sehingga seluruh keanekaragaman itu terwujud dalam
suatu kerjasama yang luhur yaitu Persatuan
dan Kesatuan Bangsa Indonesia.
Dalam praktek tumbuh dan berkembangnya persatuan suatu bangsa
(nasionalisme) terdapat dua aspek yang mempengaruhi yaitu kekuasaan fisik
(lahir), atau yang disebut juga kekuasaan material yang berupa kekerasan,
paksaan. Dan kekuasaan idealis (batin) yang berupa nafsu psikis, ide-ide dan
kepercayaan-kepercayaan.
Prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia (Persatuan Indonesia)
tersusun dalam kesatuan majemuk tunggal yaitu :
Yaitu bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dalam suatu proses
sejarah.
Yaitu berada dalam satu proses sejarah yang sama dan mengalami
nasib yang sama yaitu dalam penderitaan penjajah dan kebahagiaan nasional.
Yaitu Keanekaragaman kebudayaan tumbuh menjadi suatu bentuk
kebudayaan nasional.
d.
Kesatuan
Asas Kerohanian
Yaitu adanya ide, cita-cita
dan nilai-nilai kerohanian yang secara keseluruhan tersimpul dalam Pancasila
Bhineka Tunggal Ika merupakan
semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan Persatuan dan Kesatuan
Indonesia, dimana kita haruslah dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya
tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat, warna kulit, dan
lain-lain. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu
pulau dimana setiap daerah memiliki adat-istiadat, bahasa, aturan, kebiasaan,
dan lain-lain yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya tanpa adanya
sikap untuk menjaga Bhineka Tunggal Ika pastinya akan terjadi berbagai
kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap orang hanya
mementingkan dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa peduli kepentingan
bersama. Bila hal tersebut tejadi, pastinya negara kita ini akan terpecah
belah. Oleh sebab itu, Bhineka Tunggal Ika harus dijaga dengan sebaik-baiknya
agar persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga, dan kitapun haruslah
sadar bahwa menyatukan bangsa ini memerlukan perjuangan yang panjang yang
dilakukan oleh para pendahulu kita dalam menyatukan wilayah Republik Indonesia
menjadi negara kesatuan
2.11 Tujuan Bhinneka Tunggal
Ika
Manusia itu (secara khusus masyrakat
NKRI) diumpakan sebagai tubuh manusia. Tubuh manusia itu terdiri dari begitu
banyak bagian-bagian dan organ-organ sendiri-sendiri dengan tujuannya
masing-masing untuk membentuk tubuh manusia yang sempurna. Setiap bagian-bagian
itu unik dan diberi fungsi sesuai dengan tujuan masing-masing. Mata tidak boleh
berkata telinga engkau tidak berguna, karena kalau semua tubuh mata, dimana
pendengaran. Tangan tidak boleh berkata kaki kamu tidak beguna karena kalau
semua tubuh tangan, tidak akan biasa berjalan. Demikianlah masyarakat NKRI.
Semua orang unik dengan telenta dan kemampuan masing-masing. Semua juga unik
denga agama, budaya dan kesenian masing-masing. Itulah yang membuat tubuh NKRI
sehat dan sempurna. Oleh karena itu, Kristen tidak boleh berkata kepada Islam,
kami yang paling hebat. Islam tidak boleh berkata kepada Hindu, enyahlah dari
sini, karena kami paling banyak. Orang Betawi tidak boleh berkata kepada orang
Papua, jangan buat kami malu dengan ketelanjanganmu. Orang Batak tidak boleh
berkata kepada orang Jawa, dasar orang lambat. Atau orang Jawa berkata kepada
orang Makasar, ke laut saja orang-orang kasar. Karena kalau ini terjadi, dijamin
tubuh NKRI ini tidak akan sehat, sakit terus. Dan seperti halnya tubuh, satu
bagian kecil saja yang terluka, maka seluruh tubuh akan merasakannya dan ikut
menderita. Begitulah seharusnya kita. Ketika satu bagian dari tubuh NKRI kita
ini terluka, dicuri, dirampas haknya, diperkosa, didiskriminasi, dianiaya, maka
kita harus ikut merasakannya. Ikut merasakanya dengan saling memberi dukungan,
saling membantu dengan tidak memecah belah. Karena tubuh tidak pernah
melakukannya. Ketika jari terluka, mata ikut menangis. Sel darah putih datang
membantu melawan kuman, sari makanan disalurkan darah ke bagian terluka dengan
lebih intensif untuk mempercepat penyembuhan, dll.
2.12 Penyebab Lunturnya Bhineka Tunggal Ika
Berikut ini beberapa penyebab
lunturnya makna Bhineka Tunggal Ika :
- Diskriminasi
Bahwa ada masa ketika istilah SARA
demikian popular, merupakan pengakuan tidak Iangsung (sekurang-kurangnya) ada
masa dimana terjadi diskriminasi ras-etnik di negeri ini.Dalam praktik,
pemenuhan hak-hak sipil yang merupakan bagian masyarakat ditandai dengan
keturunan Tionghoa, bahkan sampai detik inipun masih terjadi
diskriminasi.Pembedaan perlakuan ketika mengurus dokumen paspor, dengan
keharusan melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan, merupakan salah satu contoh
praktik diskriminasi ras.
Atas
praktik semacam itu, Hamid Awaludin dalam acara Dialog Kewarganegaraan dan
Persatuan tersebut dengan lantang mengatakan, "Tidak usah mendebat
(pejabat imigrasi yang bersangkutan).Catat namanya dan laporkan kepada
saya."
Diskriminasi
ras-etnik, khususnya terhadap orang-orang Indonesia suku Tionghoa sudah menjadi
kisah panjang. Masih segar di ingatan kita, peragaan sikap alergi penguasa
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan suku Tionghoa. Aksara, musik,
bahasa, praktik kepercayaan, bahkan ciri-ciri fisikpun dipermasalahkan.
Sebagian
orang sekarang menghubungkannya dengan perang dingin yang mempengaruhi hubungan
antarnegara saat itu. Tapi jauh sebelum itu, sudah terjadi PP 10 yang membatasi
ruang gerak suku Tionghoa yang tinggal di desa-desa sehingga kemudian berlanjut
dengan arus "pulang" ke Tiangkok. Sudah terjadi pula imbauan untuk
mengganti nama tiga suku dengan ''nama Indonesia''. Sudah terjadi pembatasan
pilihan pekerjaan/profesi bagi orang-orang Tionghoa, juga pembatasan masuk
universitas-universitas negeri.
Diskriminasi
terhadap kaum minoritas di Indonesia masih merupakan masalah aktual. Hal ini
seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintahpemerintah
sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan
beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya
khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas,
dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah
air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah
tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita.Untuk menjawab ini,
tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari
beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi.Dan juga psikologi dan
folklornya.
Konflik dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi.perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik
merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami
konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya
akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik
bertentangan dengan integrasi.Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di
masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya,
integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan
pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan
diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain,
termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah
lainnya adalah "egois".Lawan dari egoisme adalah altruisme.
Hal
ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan
mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong
dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya
sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang ia memberikan
kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaatkan altruisme, irasionalitas dan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri
sendiri dan / atau kecerdikan untuk menipu.
Egoisme
berbeda dari altruisme, atau bertindak untuk mendapatkan nilai kurang dari yang
diberikan, dan egoisme, keyakinan bahwa nilai-nilai lebih didapatkan dari yang
boleh diberikan. Berbagai bentuk "egoisme empiris" bisa sama dengan
egoisme, selama nilai manfaat individu diri sendirinya masih dianggap sempurna.
Para founding
fathers dengan arief bijaksana mengantisipasi kemajemukan bangsa ini dengan
suatu rumusan sangat indah yang tertera dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai
berikut:
1.
Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul
sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya.
2.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai
kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya,
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang
dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
3.
Rumusan yang terdapat dalam Penjelasan UUD 1945
adalah sebagai prinsip dalam kita mengantisipasi keanekaragaman budaya bangsa
dan dalam mengantisipasi globalisasi yang mengusung nilai-nilai yang mungkin
saja bertentangan dengan nilai yang diemban oleh bangsa sendiri. Semoga dengan
berpegang teguh pada konsep dan prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal
Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia makin kokoh dan makin berkibar.
1.
Lebih
mencintai Tanah Air
2.
Menghargai
Perjuangan agar kita bisa lebih mengetahui arti berbeda-beda tetapi tetap satu
3.
Belajar
akan pentingnya persatuan.
4.
Mempelajari
dan melaksanakan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika.
http://amrizalfile.blogspot.com/2012/04/lunturnya-makna-bhineka-tunggal-ika.html#!/